The Chain Of Youth

Haidee
Chapter #21

Friend or Heart

Sinar matahari hangat di cuaca yang mendukung, tepat ketika kedamaian tampaknya telah pulih. Hari yang sempurna, ditambah dengan pelukan tangan Samuel yang dipenuhi aroma madu bercampur tepung itu membuat Nadia menjadi berpikir tentang...

Samuel melepas pelukannya dari pundak Nadia. Dia memandangi Nadia, seolah akan mengatakan sesuatu.

“Ada apa, Sam? Semua baik-baik saja?”

“Pokoknya makasih yah,” katanya kemilau. “Ibuku memberitahuku soal syaratmu. Aku nggak nyangka Ayahku yang keras bisa luluh sama kata-katamu.”

Nadia terkesan. Dia juga tak menyangka bahwa Pak Okto yang keras akan mengambil semua nasihatnya.

“Aku ikut senang mendengarnya.”

“Terima kasih juga atas nasihatmu.”

“Well, aku hanya ingin kamu bergaul baik dengan orang tuamu.”

“Oia Ibuku mengundangmu makan siang di rumah.”

“Wah! Undangan spesial.”

“Kamu harus datang!”

“Apa itu harus? Sam, aku malu sebenarnya.”

“Kamu malu? Lalu kemarin kamu nggak malu ngasi syarat ke orang tuaku.” Keduanya tertawa renyah.

“Kalau kamu nggak datang, itu sama saja kamu nggak hargai undangan orang tuaku.”

“Baiklah baiklah.”

“Aku juga punya sesuatu untukmu.”

“Apa?”

“Rahasia.”

Pipi Nadia berubah merah semerah udang rebus. “Kok aku merasa seperti martabak spesial yah....”

“Bukan martabak spesial tapi martabak istimewa.”

Anak laki-laki yang memiliki bola mata yang bisa berbicara itu benar-benar hangat seperti cokelat dan menyebarkan aura hangat.

Dari kejauhan sosok pemuda sedang mengamati perayaan kecil di antara Samuel dan Nadia.

Perasaannya campur aduk. Kesal, cemburu, pasrah, semua menjadi satu. Tangannya mengepal kencang lalu pergi melangkah jauh.

**-**

Pemuda itu membenturkan sekali kepalanya di atas meja, pikirannya bergelud. Dia sudah memutuskan untuk tidak menyukainya, tetapi itu bukan sesuatu yang bisa dia kendalikan. Ini terlalu kejam.

Yudha sangat peka dengan kesengsaraan sahabatnya.

“Kamu harus bicara dengan Nadia sebelum terlambat! Kamu harus mengungkapkan isi hatimu.” Yudha terus mendorongnya. “Lebih baik kamu katakan atau tidak sama sekali. Nanti kamu baru menyesal.”

“Yud, masalah ini nggak semudah yang aku bayangkan.”

“Makanya jangan bayangkan!” Timpal Yudha. “Kamu juga nggak bisa mengendalikan perasaanmu. Entah itu perasaan cemburu atau perasaan suka.”

Seharusnya dia tidak mengikuti kata-kata hatinya, akhirnya hubungan mereka hanya tersisa kata-kata.

Jefry mendongak. Menatap langit-langit kelas. “Haha kamu tahu apa yang lucu...? Masalahnya adalah aku nggak mau menyakiti perasaan Sam... aku masih merasa....”

“Tapi kamu munafik.” Yudha memotong. “Kamu melakukan kebalikan dari itu.”

“Aku...” Jefry tak punya kata-kata untuk menepis perkataan Yudha. Dia menggepalkan jari-jarinya.

Dalam benaknya. ‘Dia ingin menjelaskan situasinya kepada mereka. Tapi itu mungkin hanya membuatnya terkesan seperti dia membuat alasan. Tapi jika dia tidak melakukan apapun....’

“Heh. Tidak... aku akan menjadi teman yang baik dan menghilangkan perasaanku.”

“Kamu yakin mau mundur?” Yudha terus menghasut Jefry. “Kalau kamu benar-benar suka sama dia, kamu harus taklukkan. Jangan menyerah begitu saja. Bagaimana bisa Samuel lebih cepat melangkah dari kamu. Sedangkan dari sudut pandangku, kamu yang paling tulus dan cocok untuk Nadia.”

“Aku... aku tidak bisa di andalkan.”

“Kenapa kamu jadi pasrah begini?”

“Kadang ada hal di mana aku tidak sesuai ekspetasinya,” lirihnya. “Kamu mengerti kan maksudnya itu?”

“Kalau kamu mau tetap pada komitmen menyerahmu. Bersikap biasalah di depan Nadia dan jangan jealous kalau Sam di dekatnya.” Yudha berbicara lugas. “Kamu akan lebih menyesal kalau kamu tidak manfaatkan satu kesempatanmu.”

Kepala Jefry sedikit lagi meledak, pusing mendengar setiap perkataan Yudha. Tapi melihat teman sebangkunya yang begitu antusias, membuat hatinya terpacu lagi mencoba satu peluang.

“Pertimbangkan lagi!”

“Kamu nyuruh aku mempertimbangkan lagi? Adduh... itu membuatku jadi ambigu.”

“Selalu ada harapan. Tetap optimis!”

“Harapan palsu.”

“Sam itu agak aneh. Aku rasa dia tahu perasaan kamu ke Nadia. Tapi dia cuman pura-pura polos dan tidak menganggapmu sebagai saingannya.”

“Dari mana kamu dapat simpulkan itu.”

“Aku hanya menebak.”

**-**

Lihat selengkapnya