The Chain Of Youth

Haidee
Chapter #22

Pohon Harapan

Samuel sangat mahir dalam mengemudi perjalanan jauh. Tekad mereka sudah bulat untuk ke tempat yang masih belum diketahui oleh mereka.

Selama perjalanan menuju Pohon Harapan, mereka saling bersenda gurau.

“Kita benar-benar modal nekad. Nggak ada anak SMA yang mau ujian dua minggu lagi malah pergi melakukan perjalanan sejauh ini untuk menulis keinginan. Hanya kita!” pungkas Jefry. “Bagaimana kalau sampai di sana, ternyata pohon harapannya sudah ditebang atau roboh diterpa angin.”

Yudha membalas ucapan sahabatnya. “Tidak mungkin, yang begitu selalu ada penjaganya. Itu sudah ada dari jaman dulu, orang-orang masih ada yang ke sana.”

“Gara-gara buru-buru aku sampai enggak sempat pakai softlens-ku,” kata Gisel duduk diapit Yudha dan Nadia.

Nadia mengomentarinya. “Kita mau pergi ketempat keramat, Sel. Siapa juga yang mau godain kamu di sana.”

“Emang aku nggak cukup yakk?” semprot dari Yudha didekatnya.

Detik berganti menit berganti jam....

Tiga insan duduk di kursi belakang saling mengobrol. sementara Samuel tak berbicara sedikitpun, ia hanya menyimak dan fokus menyetir. Sedangkan Jefry sudah tertidur disampingnya.

“Jefry harusnya nggak usah ikut, dia cuman tidur dari tadi,” protes Gisel.

“Dia mungkin lelah. Dia kerja paruh waktu hampir tiap hari. Dia kurang tidur bahkan sampai lupa belajar.”

“Jangan-jangan dia sudah membuat pulau di mulutnya.”

Beberapa jam yang ditempuh kemudian.

Mobil berhenti di suatu tempat yang sepi. Sebelumnya ada papan penunjuk jalan bertuliskan arah ke Pohon Harapan.

“Tempat ini jauh banget. Punggungku rasanya sakit semua kelamaan duduk.”

Sekarang mereka telah sampai di depan lokasi. Karena duduk lama membuat otot-otot kaku. Semuanya melakukan peregangan.

Sinar matahari yang panas itu mengenai kepala, wajah mulai gosong terkena sinar matahari seperti seekor kera. Sementara Gisel mulai memamerkan wajahnya yang bersinar.

Gisel berseru semangat. “Sebelah sini, sebelah sini!”

“Wah! Aku baru pertama kali datang ke tempat seperti ini.”

“Auranya memang beda.”

“Kita langsung masuk aja? Pasti ada penjaganya di dalam.”

Jefry menyahut bertanya. “Makhluk nyata atau halus?”

Tiba-tiba muncul sosok pria tua berjanggut putih. “Kalian mau kemana?” tanya pria tua itu nya suara parau.

Huwaaa... Semua terkejut.

“Kakekk... bikin kami kaget aja”

Mereka memandangi wajah keriput terlihat seperti kakek umur tujuh puluhan, rambut beruban, janggut putih, tingginya sekitar seratus enam puluh lima senti.

“Maaf, Kalian dari mana?”

“Ka-kami dari tadi,” jawab Yudha.

Sontok Nadia menepuknya. “Maaf, kami datang ke sini untuk melihat pohon harapan,” jawab Nadia benar.

“Kalian sudah di tempat yang benar,” kata pria Tua. “Kalian masuk saja. Tapi ingat, jaga kebersihan dan jangan bersuara terlalu keras.”

Semuanya mengangguk.

“Siap.”

“Oia Kakek. Kalau mengambil gambar, boleh?”

“Boleh.”

Gisel menunjuk-nunjuk ke arah bangunan kayu yang sudah rusak dan tampak kosong. Rumah kayu yang sudah tidak asing bagi masyarakat di daerah itu. Letak Pohon Harapan sendiri berada tidak jauh dari halaman rumah kayu.

Lihat selengkapnya