Kellion terus berjalan sambil memperhatikan semua itu. “Bumi… jika ini benar-benar Bumi… sudah berubah menjadi dunia asing. Seperti planet lain yang dipenuhi makhluk-makhluk mutasi.”
Tubuhnya lengket dan bau setelah pertarungan. Lendir monster menempel di pakaian dan rambutnya, darah hitam mengering di kulit. Ia memegang hidung, muak dengan bau busuk yang masih menempel.
“Aku harus… mencari air. Kalau tidak, aku akan gila dengan bau ini.”
Ia melanjutkan langkahnya, kali ini lebih fokus mencari suara gemericik atau tanda adanya aliran air. Langkah-langkah Kellion berat, meninggalkan jejak lumpur di tanah retak yang dipenuhi lumut asing berwarna biru kehijauan. Bau amis darah monster yang menempel di tubuhnya masih menusuk hidung, membuat setiap tarikan napas seperti membawa kembali aroma pertempuran yang baru saja dilalui. Ia ingin sekali menemukan air, sesuatu yang bisa membersihkan tubuhnya dari cairan kental yang menempel di rambut, wajah, dan pakaiannya.
Namun semakin jauh ia melangkah, semakin jelas bahwa dunia ini bukan lagi dunia yang ia kenal—jika memang ini benar Bumi.
Tanah bergetar pelan ketika makhluk-makhluk raksasa melintas jauh di kejauhan. Monster-monster dengan tubuh seperti reptil, kulit mereka bersisik tebal berwarna keperakan, berjalan dengan langkah berat yang membuat tanah seolah berdenyut. Beberapa di antaranya bahkan menjulang setinggi gedung-gedung pencakar langit yang kini hanya tersisa reruntuhan, bangunan roboh ditutupi sulur-sulur tanaman asing.
Di sisi lain, monster-monster kecil bertebaran. Ada yang mirip kadal, panjang tak lebih dari setengah meter. Mereka bergerak lincah di antara reruntuhan beton, lidah mereka menjulur cepat, berburu serangga berkilau yang beterbangan. Sekali injak, Kellion bisa meremukkan mereka dengan mudah. Namun, ia segera menyadari bahwa membunuh yang kecil pun bukan tanpa risiko—darah mereka
Kellion berhenti sejenak di puncak reruntuhan sebuah gedung runtuh. Dari sana ia bisa melihat hamparan luas—hutan asing dengan pepohonan raksasa menjulang, bayangan makhluk-makhluk kolosal yang bergerak di bawahnya.
Langkah-langkah Kellion menimbulkan suara berderak di atas permukaan tanah yang retak-retak, bercampur dengan lumut kehitaman yang memantulkan kilau samar di bawah cahaya langit. Tubuhnya masih berlumuran debu dan noda darah monster yang menempel, kering di kulitnya dan menyisakan bau yang menusuk hidung.
Air. Itu yang dia butuhkan.
Pikirannya terasa lebih jernih bila tubuhnya bersih, setidaknya itulah yang diyakininya. Namun, sepanjang perjalanan, alih-alih menemukan sungai atau genangan, ia justru lebih banyak disambut oleh pemandangan yang semakin asing. Genangan yang diharapkan adalah air bersih, selalu didapati adalah air kotor berbagai warna dan kondisi.
Kellion mengalihkan pandangan pada sekawanan makhluk berbentuk menyerupai anjing, tubuh mereka memiliki banyak duri-duri runcing dan tulang luar seperti cangkang yang melindungi tubuh seperti armor. Mereka berlari cepat, lidahnya menjulur panjang meneteskan cairan asam yang mampu melubangi tanah. Ada juga serangga raksasa sebesar kuda, dengan sayap bergemeretak keras seolah memanggil kawanan lain untuk ikut menyerbu. Kellion terpaksa mengayunkan pedangnya, menyalakan api yang menghanguskan makhluk itu dalam sekali tebas, meninggalkan bau daging gosong bercampur zat kimia yang begitu menusuk.
“Dasar serangga,” gumam Kellion ketus tatkala melihat monster-monster itu terbakar.
Dari kejauhan, menjulang seekor monster setinggi gedung pencakar langit. Tingginya mendekati dua ratus meter, kulitnya tampak seperti gabungan baja dan batu, dengan mata merah menyala, monster itu ukurannya sedikit lebih besar dari monster yang sebelumnya telah dirinya ledakan. Setiap langkahnya menghancurkan bangunan yang tersisa. Karena tak ada gunanya melawan monster itu, Kellion memutuskan melanjutkan langkahnya, pergi dari sana.