The Chronicles of Porkah

Avtor I Rezysior
Chapter #2

02. Distrik Nor

Cakra terbangun dengan rasa sakit di pergelangan kaki dan tangannya, ia mendapati dirinya tengah terbaring di atas tanah berbatu halus dengan tangan dan kaki yang terbelenggu rantai. Samar ia seperti mendapati dirinya berada di bak mandi, namun anehnya ia tidak merasa kebasahan, tapi di satu waktu ia merasa seperti ditenggelamkan. 

Ia juga tidak merasa kedinginan namun di lain waktu tulangnya seperti ditusuk seribu jarum kecil, jarum yang pernah ia rasakan dulu sewaktu kecil.

Sakit

Ia berpendapat mungkin inilah rasa sakit kematian, tiada yang lebih menakutkan dari pada kematian itu sendiri. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya berusaha membuka diri dari belenggu, menarik tangan dan kakinya agar dapat keluar dari lubang rantai yang terlingkar ketat. Sekuat apapun ia mencoba, sekuat itu pula seribu jarim kecil menusuk penopang badannya, tak ada yang terlewati, bahkan tengkoraknya ikut nyeri.

Ia pun berteriak.

Ia mengangkat badannya setegak mungkin, namun ia hanya berhasil mengangkat kepala dan sedikit bandannya, membentuk sudut kurang dari tiga puluh derajat. Kemudian Cakra berkedip-kedip mengharapkan ada cahaya yang dapat membantunya melihat, namun ia sangsi apakah gelap yang membutakannya atau memang dirinya dibuat buta oleh kematian.

Akan tetapi semenit kemudian asanya tercapai. 

Entah bagaimana caranya, ia dapat melihat, walaupun pandangannya kabur.

Bukan!

Melainkan gelap, gelap yang bisa ia liat, yang secara teori ilmu fisika tentu takkan terjadi, karena harusnya manusia dapat melihat berkat adanya rambatan radiasi elektromagnetik yang kasat mata. Tapi yang ia alami menyalahi hukum fisika yang selama ini ia dapat. 

Ia mencoba memutar lehernya ke kanan dan ke kiri berharap dapat menemukan petunjuk di mana ia sebenarnya berada. Namun pandangan gelap itu hanya memberikan sedikit sketsa, ia menebak dirinya berada di ruangan kecil, berdinding tanah layaknya goa penghuni manusia purba yang pernah ia liat di film dokumenter. 

Namun anehnya goa itu terpahat rapi, bahkan seperti dibuat bukan terbentuk, kemudian Cakra mencoba mengayunkan kepalanya ke sebelah kiri bawah, dan yang ia temui, seperti jurang, begitu juga dengan sebelah kanannya. Ia sedang berada di sebidang tanah kecil seukuran tubuhnya, dan ia dikelilingi jurang yang tak berujung.

Sontak ia menjerit ketakutan, memanggil segala macam nama tuhan yang pernah ia tahu, berharap salah satu diantaranya dapat menariknya dari entah apa namanya ini, mungkinkah semacam tempat persinggahan sebelum akhirnya ia diputuskan akan mendapatkan kehidupan yang abadi di neraka ataupun surga. 

Karena yang ia tahu hanya dua itu saja, dan keadaan di sini bukanlah neraka, apalagi surga.

Namun usahanya sia-sia, ia memutuskan untuk kembali menyenderkan kepala, belum sempat tulang parietal-nyal* menyentuh tanah tempat ia telentang, perlahan-lahan matanya dapat melihat secara sempurna, dengan mudah ia mengenali ruangan tersebut. 

Seketika Cakra kalut, bingung, dan merasa aneh. 

Bukan karena ia sedang berada di jeruji besi, melainkan ia dapat melihat dengan jelas bahwa ruangan itu tak disinari oleh cahaya apapun. Ia juga melihat bahwa ruangan tempatnya terbelenggu memiliki pintu yang terletak tiga meter di depannya, dan pintu itu terbuat dari besi. Jurang yang tadi ia lihat ternyata hanyalah ubin besi hitam, dan yang semula ia kira ia terbaring di atas tanah, ternyata itu adalah meja, meja yang dipakai oleh manusia pada zaman Megalitikum. 

Bukan itu saja yang aneh, karena kecurigaannya terbukti. 

Ia berada di dalam ruangan yang penuh dengan air, namun ia dapat bernafas dengan mudah. I

a juga tidak merasa air tersebut membasahinya, bahkan saat ia teriak, tak ada satupun air masuk ke dalam mulutnya.

Terbesit untuk menjerit kembali namun terhentikan, pintu besi tiba-tiba berderit, kemudian bergerak ke atas, masuk kelangit-langit. Cakra kembali menyipitkan matanya, memusatkan perhatian penuh terhadap pintu besi hitam pekat tanpa ornamen apapun, sekali lagi ia berusaha untuk melepaskan belenggu tersebut, namun usahanya masih belum menghasilkan. 

Pikirnya Tuhan sedang bersenda gurau, teringat potongan adegan serial thriller yang sering ia tonton, adegannya persis seperti yang sekaran ia alami. 

Di mana seorang sandra berusaha lari sekencang-kencangnya saat ruangan yang menguncinya tiba-tiba terbuka, tanpa curiga sang sandra lari dengan kencang, berharap ia dapat bebas. 

Namun yang terjadi sebaliknya, sang pembunuh memang sengaja memancing korban, ia bermain dengan ketakutan korban, bersenang-senang atas depresi yang dialami korban, mengolok-olok harapan korban. Sejurus kemudian ia membunuhnya. 

Cakra tak ingin gegabah, lagipula keadaanya memang tak memungkinkan untuknya kabur dari ruangan tersebut. 

Malah ia berharap kematian ini tak membuat dirinya merasakan apapun.

Tak lama Cakra mendengar suara kaki, melangkah pelan dengan entakan tegas, setiap bunyi langkah beriringan dengan jantung Cakra yang bergedup, oh saatnya penghakiman! 

Cakra terbaring pasrah, mengupayakan dirinya agar terlihat tidur lelap, berharap apapun yang ia lakukan semasa hidup tak membuat dirinya berada pada kesengsaraan. 

Alunan langkah kaki terdengar semakin mendekat membuat roma tengkuknya bergetar tajam, ingin sekali Cakra menolehkan kepalanya ke sumber suara, mengintip mahluk apa yang berhasil membuatnya berada pada taraf ketakutan level atas. 

Lihat selengkapnya