"Sayang... bangun yuk!" gelombang sinyal getar yang merambat melalui udara mendobrak paksa organ dengar Cakra, sistem saraf yang menempel di dalam telinga Cakra langsung menstimulus aliran frekuensi kedalam otaknya, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan bahwa suara wanita dengan tingkat ambitus rendah pada nada F, menyerupai suara bunda Cakra yang mengingkannya segera bangkit.
Mata Cakra bekerja layaknya pintu otomatis silih buka-tutup dalam jarak waktu seperkian detik. Samar, ia melihat kontur pahatah tubuh bundanya dalam balutan siluet. Ia berupaya, memaksakan diri untuk memusatkan kesadaran penuh, dan menjalankan perintah.
Garis kerutan pada kelopak dan pucuk matanya hilang-timbul, sesekali kulit yang melapisi organ penglihatannya saling menarik menandakan Cakra menolak untuk kembali pada lelah yang memaksanya memenjamkan mata.
Usahanya berhasil, seiring terbukanya kelopak mata, cahaya silau menyerang pandangannya, menciptakan hambatan lain, dengan pelan Cakra mengangkat tangannya lalu mengucek-ucek mata kanan dan kirinya secara bergantian, sepanjang yang ia tahu, orang-orang akan melakukan itu untuk menajamkan penglihatan, dan membuat matanya dapat bekerja dengan maksimal.
Lagipula, ia tidak mempunya riwayat penyakit pada matanya. Cakra berpuas hati karena apa yang ia lakukan nyatanya berhasil, kini ia dapat melihat jelas didepannya terpampang tubuh bundanya dengan ukuran close up.
Wanita dengan bentuk fisik memasuki umur empat puluh tahun, wajah oval dengan pipi yang sedikit mengembang semakin mengembang begitu Cakra membelalak, mulut dengan bibir tebal pada keduanya, menggariskan senyum saat mendapati anaknya berhasil ia bangunkan, mata kecil cenderung sipit, memancarkan roma kasih sayang secara jujur dan tulus, hidung kecil lancip mengeluarkan udara dari dua buah lubang yang disebut Nasal Vestibule seiring desahan lembut memanjatkan syukur.
Wanita itu duduk di celah kecil pada pinggiran ranjang tidur Cakra, pinggulnya berusaha mengambil ruang lebih agar dapat menopang penuh tanpa menggoyahkan kedudukannya. Sesekali ia membetulkan posisinya yang tidak nyaman, sambil tetap fokus pada pekerjaannya menjadi seorang Ibu di pagi hari, yaitu membangunkan anaknya.
Cakra bergerak menaikkan badannya, kemudian menggeser tubuhnya agar wanita itu dapat duduk lebih nyaman.
"Yuk, nanti kamu terlambat!" bibir Bunda kembali terbuka dan menghasilkan suara yang lebih nyaring, kemudian, ia beranjak meninggalkan Cakra dalam keheranan.
"Ini dimana Bun? Nanti terlambat untuk apa?" ucap Cakra seraya padangannya mengikuti gerakan bunda yang melangkah menuju lorong sebelah kiri berjarak tiga meter dari ranjang Cakra.
Celah lorong tersebut berukuran satu meter sehingga dua orang sekaligus dapat berjalan melewatinya, terbentang sepanjang tiga meter, dan terdapat lubang tanpa pintu pada sisi kanan-kiri ujung lorong tersebut.
Fungsinya untuk memasuki dua ruangan kecil di balik tembok kanan-kiri lorong. Lubang pintu sebelah kanan menuju ke kamar mandi, sedangkan lubang pintu sebelah kiri menuju pada tempat penyimpanan pakaian dan perlengkapan sekolah Cakra.
Cakra belum penuh menyadari bahwa ia sedang berada di dalam kamar tidurnya, awalnya ia tidak dapat mengenali panorama yang ia lihat, namun setelah ia menelusuri ruangan, neuron pada otaknya mengantarkan memori-memori pada pantulan objek yang ditangkap oleh lensa matanya.
Ia ingat jam besar berdiameter lima meter yang tertempel pada dinding sebelah kanan lorong yang di masuki oleh bunda Cakra. Jam tersebut penuh dengan ukiran-ukiran tokoh marvel favoritnya sebagai angka, serta pedang dan panah sebagai jarumnya.
Benda yang berfunsgi sebagai penanda waktu tersebut berada di antara dua buah lemari kaca setinggi tiga meter dengan ujung atasnya menempel pada langit-langit kamar yang terbagi pagai lima tingkat.
Lemari kaca satu berada pada pojok dengan berisi figur aksi anime Jepang. Sedangkan lemari lainnya bersebelahan dengan lorong yang dimasuki oleh bunda Cakra, berdiri megah figur aksi karakter kartun superhero Hollywood di dalamnya.
Kemudian, ia mengarahkan pandangannya persis ke sebelah kirinya, dinding disebelah kiri lorong tersebut terdapat tumpukan foto yang tegantung, foto masa kecil Cakra hingga ia dewasa, di bawahnya tedapat meja belajar besar, dengan dua rak tergantung tanpa sangga dengan lebar lima puluh sentimeter pada kedua ujung kanan dan kiri meja belajar cakra, rak itu berisi buku-buku pelajaran Cakra.
Ia kemudian mengalihkan pandangan ke hadapan tubuhnya, satu set lemari buku dengan layar datar televisi berukuran lima puluh inci di tengahnya menggantikan tebok pada bagian kamar tersebut.
Lemari itu tersisi buku penuh sesak tak menyisakan satu celah pun, bahkan cicak butuh usaha lebih untuk menerobos masuk.
Ia juga menoleh pada sebelah kanannya, terdapat dua buah buah sofa yang memuat satu orang saja untuk duduk, dan satu sofa panjang yang memuat hingga lima orang berwarna senada dengan dinding pada kamarnya, gading redup.
Di belakang sofa-sofa itu terdapat tembok kaca dibalut tirai tipis, tembok tersebut menyuguhkan pemandagan hijau dari pepohonan, dan juga biru dari pantulan air yang tertampung pada wadah besar berukuran lima kali dua belas meter.
Tembok kaca itu juga merupakan pintu akses menuju kamar tidurnya.
Cakra masih tidak percaya di mana ia berada, sedetik lalu seingatnya, ia terikat rantai pada kedua tangan dan kakinya, dan sekarang ia terbangun di kamar megahnya. Bibirnya tiba-tiba bergerak, menggariskan senyuman pada wajah ovalnya.
"Lho kok kamu masih di atas kasur, mandi sana!" tiba-tiba ia tertegun begitu mendengar suara teguran bundanya.
"Kok Cakra di sini Bun?" tanya Cakra tanpa ada niatan untuk beranjak.
"Kamu lupa kita udah tiga hari di Jakarta? Hari ini hari pertama kali kamu sekolah lho... makanya buruan mandi terus siap-siap" ujar bunda sambil meletakkan semua keperluan sekolah Cakra di atas ranjang, Cakra melirik pada seragam sekolahnya.