The Classeirs

L. Blue
Chapter #1

CHAPTER 1

Suara dari TV baru saja mengatakan bahwa sekarang di bagian Vancouver, Kanada, sedang terjadi hujan badai yang mengakibatkan beberapa pohon tumbang ke jalanan serta kerusakan lain yang mungkin ditimbulkan dari tiupan angin topan.

Sebuah pohon besar bahkan menimpa satu gardu listrik hingga memutus aliran listrik ke rumah-rumah warga, sebagian besar area menjadi suram di tengah-tengah amukan badai. Suasananya terasa begitu menekan dan menakutkan, apalagi guntur terus menggelegar dan kilatan cahaya menyebar di langit.

Cantik. Satu kata itu terlintas di kepala seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun yang menyaksikan cuaca mengamuk dari balik jendela kamar berbingkai kayu. Arion Gazelle Dauger, nama itu terpampang jelas dari lukisan abstrak di kamarnya yang membentuk tiga kata dengan berbagai warna mencolok. Garis matanya sangat jelas, hidungnya ramping, kulit pucat, rambut sehitam arang dan pupil mata berwarna hitam besar membuatnya tampak menarik untuk diperhatikan.

Begitu suara petir kembali terdengar, Arion membuka matanya lebar-lebar untuk melihat kilatan cahaya yang merambat di langit, baginya itu sangat indah, lukisan cantik yang sempurna. Namun sayangnya hanya sepersekian detik.

Arion memakai piyama berwarna biru muram, hanya menopang dagu di antara kedua lengannya yang dilipat di dekat jendela, mengamati badai yang tampaknya tidak juga mereda. Bibirnya perlahan terangkat membentuk senyuman tulus saat meresapi suara hujan, kedua matanya terpejam dan Arion memilih untuk melupakan semuanya. Hujan adalah obat baginya, obat bagi segala keresahan yang dialami Arion selama ini. Suara hujan yang keras beribu-ribu kali lebih baik daripada teriakan kakak tertuanya, Arion tak memiliki siapapun selain kedua kakak laki-lakinya, kedua orang tua Arion meninggal dalam kecelakaan pesawat beberapa tahun silam. Semenjak hari itu, hidup Arion mulai serasa seperti neraka.

Aren, kakak kedua Arion, berusia 20 tahun, memang tak terlalu buruk, ia tipe orang yang cuek dan tak peduli apa yang terjadi pada Arion. Itu adalah hal yang baik, karena Arion tak suka ada orang yang ikut campur dalam hidupnya. Namun, Rayee berbeda, dia akan mencampuri semua urusan Arion dan cerewet. Meski tak diminta, Rayee akan senantiasa memberi saran pada Arion, seringkali juga Arion tidak pernah mendengar saran Rayee.

Arion menyukai Aren yang tak banyak menanggapi dirinya saat bercerita, sementara Rayee menanti cerita Arion setiap harinya walaupun anak itu tak pernah memberitahu Rayee apa pun mengenai kehidupannya di sekolah. Hanya saja, Arion tak memahami kasih sayang yang ingin Rayee berikan sebagai ganti kasih sayang kedua orang tuanya.

Tak terasa, saking terbuai dalam suasananya, badai telah berlalu dan hujan di malam itu perlahan pergi ke tempat lain. Arion baru menyadarinya saat keheningan terasa menguat di sekitar dirinya.

Arion beringsut menjauh dari jendela dan merebahkan diri di atas ranjang empuknya, saat sang adik bungsu nyaris terlelap dalam tidur, Rayee baru saja memarkirkan motor tuanya di garasi, dia tak membawa jas hujan dan berakhir hujan-hujanan. Seluruh pakaiannya basah tak terkecuali sepatu kumalnya, Rayee tampaknya mengeluarkan sesuatu dari bagasi motor, sebuah kantung kresek, dari aromanya, Rayee membawa pizza. Pria berusia akhir 27 tahun tersebut menampilkan wajah lelah sehabis kerja seharian, saat mendengar suara pintu diketuk, Aren bergegas membukakan pintu untuk Rayee dan mengambilkan handuk.

“Kakak tak perlu repot-repot membawa makanan,” ucap Aren sambil menerima kresek pizza itu dan meletakkannya di atas meja ruang tengah.

Rayee yang tadinya berwajah lesu kini mulai semringah, “Apa pun untuk kedua adik kecilku.” Tangan besar Rayee terulur mengusap kepala Aren.

Aren tak menepis tangan Rayee seperti yang biasa dilakukan adik bungsu mereka pada Rayee, Aren cukup dewasa untuk memahami kasih sayang Rayee. Toh, Rayee juga sedang berjuang melawan depresinya sendiri, tak adil jika Aren merasa dirinyalah yang patut dimengerti. Karena Rayee, keluarga kecil mereka bisa bertahan sejauh ini.

“Arion sudah tidur?” tanya Rayee seusai berganti pakaian.

“Tidak, dia sedang mengintip dari tangga.” Aren membalas acuh tak acuh sambil memakan pizza dan menonton TV.

Arion mengerutkan dahi, merasa sebal karena Aren selalu merasakan kehadirannya setiap waktu. Sesungguhnya, anak itu telah mengintip sejak Rayee masuk ke dalam rumah.

“Hei, kakak membawakan sesuatu untukmu. Ini jaket yang kau inginkan, bukan? Kemarilah dan ambil,” kata Rayee, menatap Arion yang bersembunyi di balik bayangan batang-batang kayu pembatas tangga.

Anak itu berdiri, membalas dengan nada ketus. “Aku tak meminta kau untuk membelikannya.” Arion membalas. Dia berjalan menuruni anak tangga dan menghampiri Rayee secara ogah-ogahan.

Rayee terlihat sakit hati dengan ucapan adiknya, namun sebuah senyum tulus menjadi balasan bagi ucapan Arion. “Karena kakak menyayangimu.”

Arion sontak memutar bola matanya malas. “Kau bertingkah menjijikkan lagi.” Sesaat setelah mengatakan itu, Arion terdiam untuk sesaat. Menyadari bahwa dia baru saja menyakiti Rayee.

“Jangan begitu, kakakmu ini juga punya hati. Jadilah anak baik, Arion.” Rayee mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Arion namun Arion dengan sengaja menghindar. Arion merasa bersalah, tapi dengan egonya yang tinggi, menganggap bahwa semua ini salah Rayee.

Rayee tak bicara apa-apa, ia cuma memperhatikan Arion yang mengambil duduk di sebelah Aren, walau begitu, sudut bibir Rayee sedikit terangkat karena Arion terlihat memeriksa jaket yang diberikan Rayee. “Arion, kenapa kau sangat membenci aku?” Satu pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Rayee.

Arion yang awalnya sibuk memeriksa jaket kini atensinya beralih pada wajah tampan Rayee. Kedua pasang mata itu bersirobok cukup lama, hatinya berkelahi dengan egonya sendiri, pada akhirnya, ego yang berbicara. “Karena kau, ibu dan ayah harus mengalami kejadian buruk itu,” ceplos Arion.

Aren yang sejak tadi duduk dengan tenang mulai menoleh pada Arion dengan ekspresi kaget, rahangnya tampak mengeras menahan amarah. Sementara Rayee sama terkejutnya dengan Aren hingga kedua matanya perlahan melebar, kata-kata itu berubah menjadi anak panah yang menusuk hatinya.

“Semuanya karena kau.” Arion kini menatap tajam ke arah Rayee, tetap membiarkan egonya menguasai.

“Apa?” Rayee bertanya lirih dengan perasaan campur aduk.

Tidak, tidak, Arion tidak bisa berhenti membenci Rayee, meskipun hatinya sangat ingin berhenti. “Seandainya waktu itu kau tidak menelepon mereka untuk cepat sampai ke rumah dan memesankan tiket pesawat untuk mereka, maka hal itu takkan terjadi!” Arion berteriak dan meninggalkan keheningan yang kuat. Rayee hanya diam, tak membalas satu kata pun. Merasakan denyut ngilu yang meremas hatinya.

Ekspresi Rayee membuat Arion merasa semakin jahat, dia adalah manusia paling buruk. Tapi anehnya, ada dorongan kuat yang membuat Arion terus menyalahkan Rayee. Dorongan bawah sadar yang membuat Arion ingin menyakiti Rayee, terus dan terus, tanpa ingin berhenti. “Kau tidak sadar bahwa kaulah yang menghancurkan keluarga ini?! Kau penyebabnya!” Arion meneriaki Rayee, menumpahkan semua kekesalannya sampai napasnya hampir habis.

Pada saat Arion hendak berucap lagi, Aren telah menamparnya dengan keras, gerakannya sangat cepat sehingga mata mereka tidak mampu mengikutinya. Tamparan itu membuat telinga Arion berdenging singkat, meninggalkan rasa panas di permukaan kulitnya. Perlahan dengan pasti, Arion menatap Aren, seolah-olah Aren telah melemparkan beberapa batang kayu ke perapian dan membuat api kebencian Arion semakin membara.

Lihat selengkapnya