The Classeirs

L. Blue
Chapter #4

CHAPTER 3

Aston sudah siap untuk menghadapi perlawanan dari makhluk itu. Tangannya masih terangkat, siap menggunakan kekuatan penuh jikalau dibutuhkan. Namun, yang mengejutkan, sang Marchioly hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Tidak ada serangan balik, tidak ada aura mengancam yang terpancar. Aston merasakan kehadiran makhluk itu, tapi tidak merasakan bahaya apa pun darinya. Seolah-olah Marchioly tahu betul soal Gerbang Hexagon milik Aston—semua perlawanan akan sia-sia.

Aston menurunkan tangannya perlahan, memandang makhluk itu dengan mata setengah tertutup, ekspresinya datar. “Kalau begitu, kau kutinggalkan saja di sini. Anggap rumah sendiri,” ucapnya sambil berbalik, melenggang pergi dengan santai. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan, seakan dia sudah terbiasa menghadapi makhluk-makhluk aneh yang tidak masuk akal ini.

Sebagai salah satu pengajar di Classeirs, Aston sudah sering berhadapan dengan entitas-entitas seperti Marchioly.

Sebelum benar-benar meninggalkan domainnya, Aston menoleh ke Arion yang terduduk di tanah, matanya terbelalak dengan ekspresi penuh kengerian. Tubuh anak itu gemetar hebat, terlalu lama menahan ketegangan yang melampaui batas kemampuannya. Perlahan, Aston melihat Arion kehilangan kesadarannya, tubuhnya akhirnya menyerah pada tekanan yang tak tertahankan. Seluruh saraf di tubuhnya menegang pada level maksimal, dan semua itu membuatnya pingsan.

Aston menghela napas panjang, merasa lega karena dia tiba tepat waktu untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi. Jika dia terlambat sedikit saja, Marchioly mungkin sudah memakan Arion hidup-hidup dan mengambil kemampuannya.

“Kau hampir membuat jantungku copot, Nak,” gumam Aston sambil berlutut, mengangkat tubuh Arion dengan hati-hati. Dia menggendong anak itu keluar dari domain tekniknya. Gerbang besar yang sebelumnya tertutup rapat mulai bergerak dengan berat, membuka perlahan untuk memberi jalan bagi Aston. Cahaya ungu samar yang memancar dari ukiran-ukiran di dinding gerbang memudar saat mereka melewati batas domain.

Setelah keluar dari domain, Aston berjalan menuju mobil pribadinya yang diparkir di pinggir jalan. Dia membuka pintu belakang dan dengan lembut meletakkan Arion yang pingsan di kursi belakang, memastikan anak itu nyaman sebelum menutup pintu dengan hati-hati.

Saat Aston duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin, pikirannya kembali teringat pada The Classeirs. Sekolah itu adalah satu-satunya tempat dimana Arion akan aman, tempat dimana dia bisa mempelajari tentang kekuatannya dan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. The Classeirs, dengan menara-menara tingginya yang tersembunyi di balik pepohonan kuno, danau yang memantulkan bintang-bintang, dan jalan setapak berbatu yang dipenuhi dengan cahaya lembut dari bunga bercahaya, adalah tempat di mana Esper seperti Aston mengasah kemampuan mereka. Kini, Arion adalah bagian dari dunia itu.

Mobil melaju dengan tenang, membelah kegelapan malam yang terasa semakin pekat. Jalan yang dilalui oleh mobil Aston tampak aneh dan asing, meskipun berada di tengah kota. Bangunan-bangunan di sekitarnya terlihat semakin samar, seolah-olah mereka sedang melewati batas antara dua dunia yang berbeda.

Ketika mereka mendekati Stanley Park, Aston bisa merasakan perubahan di udara. Suasana di sekitar mulai berubah—lebih sunyi, lebih damai, namun penuh dengan energi tak kasat mata yang hanya bisa dirasakan oleh Esper. Udara malam yang sejuk terasa berat, seolah ada kekuatan lain yang bersembunyi di balik pepohonan raksasa yang mengelilingi mereka. Inilah saat di mana dunia nyata dan dunia magis mulai bercampur, membawa mereka lebih dekat ke gerbang tersembunyi yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tahu di mana mencarinya.

Aston tetap fokus pada jalan di depannya, meskipun pikirannya berputar, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tahu bahwa membawa Arion ke The Classeirs adalah satu-satunya cara untuk melindungi anak itu dari bahaya yang baru saja dia hadapi. Namun, di sudut pikirannya, Aston juga merasakan bahwa perjalanan ini baru akan dimulai, dan tantangan yang lebih besar mungkin sedang menunggu mereka di depan.

Lelaki itu menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Dengan tangan yang masih memegang kemudi, dia mencubit kulit di antara matanya, bergumam rendah, “Kurasa, aku tidak seharusnya berpikir berlebihan.” Pandangannya tertuju pada Arion yang masih pingsan di kursi belakang. “Anak itu akan baik-baik saja, Arlyn. Sekarang dia bersamaku.”

Lihat selengkapnya