Jika kau kehilangan Chihuahua di antara German Shepherd, maka dengan cepat kau akan menemukan Chihuahua itu karena dia sangat berbeda dari German Shepherd. Tentu saja. Dan itulah yang dirasakan Aston saat dia tidak mendapati Arion di belakangnya. Meskipun Aston cukup tinggi dan mudah ditemukan dalam kerumunan, sebaliknya, Arion tidak. Anak itu pendek, dan Aston harus mencari tempat yang lebih tinggi untuk melihat lebih jelas. Dengan gerakan gesit yang hampir tidak sesuai dengan usianya, Aston melompat ke atas tangga melingkar di sisi kanan. Hanya dalam lima detik, matanya menemukan Arion di antara para siswa The Classeirs—terutama karena anak itu masih mengenakan piyama biru muram di antara siswa lain yang memakai seragam retro putih.
Aston menarik napas panjang, menahan tawa yang hampir pecah. Tentu saja, Arion mudah ditemukan. Dengan langkah ringan, dia segera menghampiri anak itu dan menuntunnya ke sebuah lorong yang tampak sepi, tanpa seorang pun siswa di sekitarnya. Kesunyian lorong itu membuat setiap langkah kaki telanjang Arion terdengar beriringan dengan suara sandal Aston yang mantap.
Arion mendongak, menatap Aston yang masih mengemut lolipop di mulutnya, dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “Kita mau ke mana?” dia bertanya dengan sopan.
“Kita seharusnya langsung ke asrama,” jawab Aston sambil mengedipkan sebelah mata dengan genit, “tapi aku pikir, hari ini kita akan sedikit bersantai. Aku akan mengenalkanmu pada tujuh anak lainnya yang sama sepertimu. Percayalah, mereka semua menyenangkan... menyenangkan dengan caranya masing-masing.”
“Sama sepertiku?” Arion mengerutkan dahi, pandangannya berpindah ke ujung lorong yang tampak sangat jauh.
“Mereka belum menjadi murid resmi. Jadi, ya, sama sepertimu,” kata Aston sambil memutar-mutar lolipop di mulutnya. “Anggap saja ini sesi perkenalan yang sedikit... tidak resmi.”
“Ohh...” Arion mengangguk, sedikit lega namun juga cemas.
Aston berhenti di depan pintu bercat merah bata. Dengan gerakan hati-hati namun tidak kehilangan kesan santainya, dia membuka pintu itu. Ketika Arion hendak menyembulkan kepalanya untuk mengintip ke dalam, sepuluh benda mirip anak panah melesat keluar dari dalam ruangan. Arion bisa merasakan tebasan udara di kulitnya saat garis-garis panjang itu berkelebat di depan wajahnya, nyaris melubangi kepalanya jika dia berada satu milimeter ke depan.
Aston terdorong ke belakang, punggungnya menabrak lukisan lanskap besar di dinding. Benda-benda yang tampak seperti anak panah itu ternyata adalah pensil yang diraut tajam, menancap di beberapa bagian pakaiannya, mengunci Aston di tempat. Alih-alih marah atau kesal, Aston hanya mendesah pelan, ekspresinya seolah berkata, “Oh, Parveen lagi.”
Seorang anak laki-laki yang lebih tua sekitar dua tahun dari Arion keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, matanya penuh kebosanan. Dia melangkah pelan, tetapi pasti, menuju Aston, berhenti beberapa sentimeter di depannya. Tatapannya tak beranjak dari Aston, penuh dengan sikap angkuh yang jelas terlihat.
Di belakangnya, terdengar suara seorang perempuan yang frustrasi bergumam, “Ya Tuhan, Parveen! Tak bisakah kau berhenti bersikap gila? Kau seperti KUDA yang lepas dari kandangnya! Aretha, tolong hentikan dia!”
“Aku tidak bisa menghentikannya, Adella,” jawab suara lain yang lembut dan panik.
“Helena, gunakan kemampuan prekognisimu,” perintah suara yang lebih berat dan tegas.
“Uh, kurasa... Aku tidak bisa melihat masa depan. Prekognisiku terganggu,” jawab suara itu dengan nada dewasa dan sedikit terkejut.
“Seriusan? Barangkali kau harus berlangganan premium supaya lancar dan tanpa iklan,” suara berat tadi terdengar sarkastis, seolah menikmati kekacauan yang terjadi.
“Jika berlangganan premium bisa membuatku menghajarmu, maka tentu saja, Zain, tentu saja,” jawab Helena dengan nada jengkel.
“Sial, kita akan mati! Pak Aston pasti akan membuat kita menjadi makanan Marchioly!” kata si suara yang lebih ringan.