Aston, yang merasakan ketegangan di antara Parveen dan Arion semakin memuncak, segera bergerak untuk merangkul kedua anak itu. “Hei, ayo kita lihat upacara para Esper Cahaya di lapangan,” ajaknya, dengan nada ringan, sambil menyeret keduanya tanpa perlawanan.
“Kalian juga,” katanya sambil melirik yang lainnya.
Mereka mengangguk dan mulai mengikuti Aston, meninggalkan ruangan itu. Zain adalah yang terakhir keluar, mengunci pintu sebelum mengikuti dari belakang, tetap menjaga jarak yang tidak terlalu jauh. Adella dan Helena berjalan beriringan, tampak sangat dekat saat mereka mengobrol tentang betapa kompleksnya kemampuan Esper Cahaya. Di sisi lain, Aretha berjalan di dekat Parveen—tidak bisa jauh dari teman pertamanya, satu-satunya orang yang selalu membuatnya merasa aman dan terlindungi.
Ozky dan Calvin berada di belakang Adella dan Helena. Ozky, seperti biasanya, tidak banyak bicara, sementara Calvin sesekali ikut menambahkan pendapat dalam obrolan kedua perempuan di depannya. “Kau tahu, Esper Cahaya itu Esper paling keren yang pernah aku tahu,” kata Adella dengan mata berbinar-binar penuh kekaguman.
“Ya, itu benar. Tapi aku lebih suka Esper Juggernaut. Maksudku, mereka punya kekuatan fisik yang luar biasa, tubuh kekar, dan daya tahan yang tak tertandingi. Mereka bisa memanipulasi kekuatan fisik mereka hingga mencapai level supranatural—alias BADASS!” Helena berapi-api sambil menegangkan otot tangannya, membentuk pose flamingo, meskipun jelas-jelas dia tidak punya otot besar. Calvin mengangguk bangga mendukung ungkapan Helena, sementara Zain menyembunyikan senyum gelinya.
Dinding di sisi kiri mereka berubah dari tembok menjadi deretan jendela patri warna-warni. Meskipun samar, mereka bisa melihat pemandangan luar yang diterangi cahaya malam. Setelah beberapa menit berjalan, Arion akhirnya melihat ujung lorong yang temaram, namun semakin terang ketika mereka mendekat dan mengambil jalan ke kanan. Di sana ada beberapa anak tangga yang harus mereka lewati untuk naik ke atas. Setelah melewatinya, mereka masuk ke lorong lain yang tampak membosankan, dengan beberapa pintu merah bata di kedua sisi.
Tiba-tiba, seolah-olah itu hanya ilusi, batu-batu yang membentuk tembok di kedua sisi mulai terlepas satu per satu. Awalnya pelan, tetapi kemudian dengan cepat terlepas seperti bangunan yang akan runtuh. Arion memejamkan mata, mengira bangunan itu benar-benar akan runtuh, namun Aston tetap berjalan dengan santai, matanya fokus lurus ke depan. Suara batu-batu yang jatuh menggema di sepanjang lorong, mengisi kesunyian yang sempat menyelimuti mereka. Atap dan lantai seolah digulung oleh raksasa yang tidak terlihat.
Kegelapan mulai merayap seiring dengan berjalannya waktu. Arion membuka matanya lagi, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan pekat. Kepanikan mulai merayapi kelompok itu, masing-masing mencari satu sama lain di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka. Arion menoleh ke belakang, dan mendapati lorong yang ada di sana telah berubah menjadi kegelapan total.
“Arveen, aku tidak bisa menemukanmu,” kata Aretha cemas, suaranya bergetar.
Parveen, yang masih dirangkul Aston, melirik ke belakang. Dia bisa merasakan kehadiran Aretha di dekatnya. Dengan psikokinesisnya, Parveen menarik tangan Aretha ke dalam genggamannya, membawa perempuan itu lebih dekat dan memastikan bahwa Aretha tidak akan terpisah darinya.
“Oh, astaga. Calvin, kau menginjak kakiku!” keluh Adella tiba-tiba.
Calvin terkekeh singkat dengan nada bersalah. “Maaf, Adel. Gelap sekali sampai aku tidak bisa melihat ke mana kakiku melangkah.”
“Pak Aston?” tanya Helena, suaranya agak gemetar, dia berjalan sangat pelan, kini berada di samping Zain.
“Aku di sini, tetaplah melihat ke depan dan terus berjalan,” jawab Aston dengan nada yang menenangkan. “Kalian akan baik-baik saja.”
“Gunakan prekognisimu untuk menuntun langkahmu, Helen,” bisik Zain tegas.
“Aku sudah melakukannya.” Helena menjawab, suaranya semakin pelan. “Tapi aku takut gelap.”
Zain mencoba menemukan Helena dalam kegelapan itu. “Tidak ada monster di sini.”
“Kau mana tahu makhluk apa yang menghuni kegelapan ini.” Suara perempuan itu berada di sisi kiri Zain, membuatnya mengetahui keberadaan Helena.
“Ya Tuhan! Ada sesuatu di sini, aku menyentuh sesuatu yang hangat!” jerit Helena tiba-tiba.
“Kau menyentuh tanganku,” kata Zain datar.
“Oh, maaf,” sahut Helena, sementara Zain menahan tawanya.