The Classeirs

L. Blue
Chapter #9

CHAPTER 6

Arion terperangah saat mereka mulai memasuki wilayah hutan sekolah. Pohon-pohon menjulang tinggi di sekitar mereka, menciptakan kanopi alami yang hanya ditembus oleh sinar bulan yang redup. Cahaya bulan itu menari-nari di antara dedaunan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di tanah. Di tengah kegelapan, hutan tampak hidup dengan keajaiban tersembunyi.

Di sekitar mereka, bunga-bunga bercahaya mulai bermekaran, memancarkan kilauan lembut yang menerangi jalan setapak. Bunga-bunga itu bukan seperti bunga biasa—kelopaknya tampak seperti terbuat dari kristal halus, setiap kelopak mengeluarkan sinar keemasan yang perlahan berubah warna menjadi biru, hijau, dan ungu. Bunga-bunga ini seolah-olah menghirup energi magis dari tanah di bawahnya, tumbuh dan berubah seiring dengan detak jantung hutan itu sendiri.

Arion memandang sekelilingnya dengan mata terbelalak, merasakan campuran antara rasa kagum dan penasaran. Suara gemerisik dedaunan, ditambah dengan cahaya yang memantul dari bunga-bunga itu, menciptakan atmosfer yang mistis dan memukau. Para Esper Cahaya bergerak di sekitar mereka, sebagian berjongkok dengan anggun menempatkan tangan mereka di atas tanah, menyalurkan energi mereka ke bumi.

Sebagian lagi berdiri, membuka telapak tangannya. Dari telapak tangan mereka, seberkas cahaya perlahan turun, seolah-olah menari di udara sebelum menyerap ke dalam tanah. Sesaat kemudian, bunga baru bermekaran, kelopaknya berwarna putih keemasan yang memancar dengan indah.

Sementara itu, suasana yang diciptakan oleh kegiatan tersebut membuat Arion setengah merinding, takjub akan keindahan yang tengah ia saksikan. Namun, rasa kagum itu segera tergantikan oleh perasaan waspada ketika Helena tiba-tiba merunduk, mencoba memfokuskan pikirannya yang tampak terganggu. “Helena, kau baik-baik saja?” tanya Adella, matanya memantau temannya dengan penuh kekhawatiran.

“Aku... aku melihat sesuatu,” gumam Helena dengan suara yang bergetar halus, matanya terpejam erat saat dia mencoba menangkap visi dari prekognisinya. “Ada bunga raksasa dan... sedikit keributan. Aku tidak yakin.”

“Bunga raksasa? Sedikit keributan?” Adella mengulang dengan nada gelisah, matanya mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. Cahaya lembut dari bunga-bunga kini terasa lebih menakutkan, seolah-olah hutan ini menyembunyikan rahasia yang lebih gelap di balik keindahannya.

Arion, yang sempat mendengar percakapan itu, menoleh ke belakang untuk melihat Helena dan Adella. Saat dia kembali melangkah, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang aneh di bawah kakinya. Sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, salah satu kakinya menginjak kelopak bunga kecil yang tampaknya tidak berbahaya. Dalam sekejap, tanah di bawahnya bergetar hebat, dan bunga itu tumbuh dengan kecepatan yang mustahil.

Batang bunga tersebut melesat ke atas, membesar dengan cepat hingga menjadi sebuah bunga raksasa yang menjulang setinggi sepuluh meter. Kelopak-kelopaknya terbuka dengan suara berderak, mengeluarkan cahaya yang semakin terang dan menghangatkan udara di sekitarnya. Suara gemeretak tanah dan batang yang tumbuh besar menggema di seluruh hutan, membuat semua orang berhenti sejenak, merasakan getaran yang menjalar di bawah kaki mereka.

Mata semua orang tertuju pada bunga raksasa yang baru saja tumbuh itu, terperangah melihat Arion yang kini tergantung di salah satu kelopaknya. Tangannya mencengkeram erat ujung mahkota bunga yang besar, sementara tubuhnya terayun lembut di udara. Wajahnya mencerminkan campuran antara ketakutan dan ketidakpercayaan, terutama ketika dia menyadari tingginya bunga tersebut. Jika dia jatuh, dia pasti akan terluka parah.

Para Esper yang semula bersiaga dengan kemampuan mereka mulai merelaksasikan kuda-kuda mereka. Namun, kesigapan mereka tetap terjaga. Aston, yang sempat mengarahkan tangannya ke arah bunga raksasa itu, siap mengeluarkan energinya, kini menurunkan tangannya dengan senyum yang tertahan di wajahnya. Di sisi lain, Valhalla, yang matanya berkilat waspada, menahan diri dari mengaktifkan domain Netralisasinya, menyadari bahwa ancaman yang mereka duga hanyalah ulah ceroboh Arion.

Keheningan yang tegang mendominasi selama beberapa saat, hingga Zain, dengan nada sarkastisnya, berkomentar, “Astaga, newbie, kau hampir membuat kami mati kena serangan jantung.” Matanya tetap menatap Arion yang menggantung di udara dengan senyum miring di wajahnya.

Valhalla dan Aston saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya menghela napas lega. Aston tampak berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah, sementara Valhalla menggelengkan kepala perlahan, merasa lega bahwa yang mereka khawatirkan hanyalah alarm palsu. Dalam hatinya, Valhalla mengakui bahwa dia nyaris mengaktifkan kekuatan penuh domainnya, menyangka bahwa sebuah entitas asing telah menerobos masuk ke wilayah sekolah.

Mata semua orang kini tertuju pada Arion, yang masih bergantung di udara dengan tangan yang mulai bergetar kelelahan. Wajahnya memerah karena malu dan ketakutan, sementara pandangannya beralih ke bawah, menyadari betapa jauh jaraknya dari tanah. Melompat jelas bukan pilihan yang bijaksana.

“Aku tak akan bertahan lama di sini...” Arion merenung dengan putus asa.

Aston memandang Parveen dengan tatapan mendesak. “Parveen, tolong bantu Arion turun,” ucapnya, suaranya penuh dengan nada perintah yang lembut.

“Apa? Kenapa harus aku?” Parveen menjawab dengan nada kesal, kedua alisnya mengerut menunjukkan ketidaksenangannya.

“Ayolah, kau temannya,” balas Aston, menambahkan sedikit nada menggoda dalam suaranya.

Parveen mendengus, menatap Arion yang menggantung di udara dengan tatapan penuh antipati. “Bahkan jika dunia ini di ujung tanduk, aku takkan pernah jadi temannya,” jawabnya dengan nada dingin yang khas.

Lihat selengkapnya