Aston mendesah dalam saat akhirnya mencapai puncak menara Utara, menara ini menjulang di sisi utara The Classeirs, menawarkan pemandangan paling indah dari puncaknya. Menara ini dikenal sebagai tempat di mana para Esper Gravitasi menguji dan mengasah kemampuan mereka. Di sini, mereka melompat dari atap, melayang dengan anggun di udara, seolah-olah menguasai gravitasi itu sendiri. Struktur kuno ini tetap dibiarkan seperti awal dibangun—tanpa lift, tanpa modernisasi—sebagai simbol kekuatan dan ketahanan, membuat Aston harus mendaki ribuan anak tangga.
Setibanya di puncak, Aston terengah-engah, keringat membasahi dahinya. Ia berhenti sejenak, menghirup udara segar yang dingin, membiarkan angin malam yang sejuk menenangkan keletihan tubuhnya. Langit di atasnya penuh dengan bintang yang berkilauan, memberikan kedamaian yang hanya bisa ditemukan di tempat ini. Sebuah sofa tua yang tampak nyaman menunggu di dekat pagar pembatas. Aston menyeret kakinya yang terasa berat, tubuhnya terasa lelah setelah perjalanan panjang itu, dan dengan rasa lega ia menjatuhkan diri ke atas sofa tersebut.
Menara ini telah menjadi markas tidak resmi para Esper Gravitasi, dan karena itu, sebuah sofa dan meja sederhana telah ditempatkan di sana untuk mereka yang ingin beristirahat atau berbincang. Aston membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan sofa, menatap langit yang penuh dengan titik-titik cahaya yang terasa hampir tak terjangkau. Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya tenang. Ada sesuatu yang mengganggunya—sebuah kekhawatiran yang mendalam yang dia tahu harus dibahas malam ini.
Valhalla, di sisi lain, baru saja menyelesaikan tugasnya mengawasi upacara para Esper Cahaya, dan sekarang harus menempuh perjalanan yang cukup jauh menuju Menara Utara. Pria itu kelelahan, lebih dari yang bisa dia akui. Kelelahan itu terukir jelas di wajahnya, terutama di lingkaran hitam ringan di bawah matanya. Setelah upacara, Valhalla harus melapor ke Dewan Pimpinan, sebuah tugas yang tak bisa ditunda. Dan meskipun dia tahu bahwa dia harus bertemu dengan Aston, pikirannya masih dipenuhi dengan daftar panjang tugas yang harus diselesaikan, termasuk persiapan inisiasi lusa.
Valhalla mendesah pelan saat dia akhirnya tiba di depan pintu menara. Mendorong pintu kayu yang besar itu dengan perlahan, dia memulai pendakian yang tampak tak berujung. Setiap anak tangga yang dilewatinya terasa seperti beban tambahan yang harus dia pikul, tetapi Valhalla terus maju, langkah demi langkah, sampai akhirnya dia mencapai puncak menara.
Setibanya di atas, Valhalla menemukan Aston sedang duduk bersandar di sofa, menatap hamparan bintang yang indah. Namun, keindahan langit malam itu tampaknya tidak mampu mengusir awan gelap yang menghantui pikiran Aston.
Aston menoleh saat mendengar langkah Valhalla yang semakin mendekat. “Kau akhirnya datang,” ucapnya dengan nada lega.
Valhalla hanya tersenyum tipis sebelum mengambil tempat di depannya. Wajahnya serius, mengisyaratkan bahwa pertemuan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. “Tempatnya harus agak jauh agar tidak ada siapa pun yang bisa mendengar pembicaraan kita. Maaf aku menyita waktumu untuk pertemuan ini, Mr. Hex,” ucap Valhalla dengan nada yang tiba-tiba menjadi formal.
Aston mengerutkan dahinya, heran dengan sikap sahabatnya yang mendadak resmi. “Kau berbicara begitu rendah hati, Val. Padahal kaulah yang waktunya disita di sini. Aku merasa terhormat bisa bertemu denganmu di tengah kesibukanmu yang gila.”
Valhalla terkekeh, tetapi tawanya terasa hambar. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya. “Insiden di hutan tadi,” ia memulai, “Arion memicu pertumbuhan bunga cahaya. Pada awalnya, aku mengira ada entitas berbahaya yang berhasil melewati portal, tetapi ternyata aku salah. Kita semua salah. Itu hanyalah Arion yang secara tidak sengaja menginjak bunga tersebut.”
Aston menatap Valhalla dengan serius, mencoba memahami maksud dari kata-katanya. “Kau ingin mengatakan bahwa Arion memiliki energi berbahaya yang memicu pertumbuhan bunga itu?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Benar,” jawab Valhalla tegas. “Tapi aku akan merahasiakannya untuk diriku sendiri.”
“Tapi bisa saja bunga itu menangkap energi yang salah atau ada semacam error yang terjadi. Kau lebih tahu soal ini, Val. Kau sudah lebih lama berada di sini daripada aku,” balas Aston, mencoba mencari penjelasan yang lebih masuk akal.
Valhalla menggelengkan kepalanya perlahan, ekspresi wajahnya tegas. “Ini pertama kalinya aku menjumpai kasus seperti ini. Bunga-bunga itu tidak mungkin mengalami error. Selain Arion, dulu sekali, Garett juga memicu pertumbungan bunga-bunga itu saat dia menyentuhnya.”
Mendengar nama itu, Aston terdiam. Masa lalu yang menyakitkan perlahan mengemuka di benaknya. “Kita berdua mengenal Garett dengan sangat baik. Dia pria kikuk yang cerdas,” lanjut Valhalla, memandang jauh ke masa lalu. “Esper dengan kemampuan omnikinesis yang sangat langka. Arlyn...,” dia berhenti sejenak, mencari reaksi di wajah Aston saat nama itu disebut.
Namun, wajah Aston tetap netral, meskipun ada sedikit kegelapan yang melintas di matanya. “Tapi Garett tidak berbahaya, dia hanya Esper Omnikinesis yang menjadi Kepala Dewan Pimpinan yang kelelahan dan kebetulan Arlyn ada di sana.”
Aston melanjutkan, suaranya bergetar sedikit saat mengingat masa-masa kelam itu. “Arlyn hanya... tidak tahu hal itu akan terjadi dan dia tidak mempersiapkan diri, kita juga tidak...”
Kedua mata Aston terbuka lebar, seakan trauma lama kembali menghantamnya dengan keras. Valhalla melihat rasa sakit yang berusaha disembunyikan oleh sahabatnya. Dia ingat betul bagaimana Aston benar-benar hancur pada saat itu. Arlyn adalah cinta pertamanya, yang dengan berat hati dia relakan untuk Garett. Aston telah menyaksikan kematian Arlyn dengan cara yang paling tragis, Aston yang mengamuk bertarung sampai titik darah penghabisan dengan Marchioly yang merenggut nyawa Arlyn. Marchioly itu berhasil melarikan diri dengan luka yang fatal, sementara Aston jatuh koma berhari-hari setelah kejadian itu.
“Sudahlah,” Valhalla berusaha mengubah topik, “untuk apa kita membahas masa lalu? Yang lebih penting sekarang adalah Arion. Apa kemampuannya?”
Aston terlempar keluar dari lamunannya. Dia mengerjapkan mata, mencoba fokus pada pertanyaan Valhalla. “Belum diketahui,” jawabnya pelan.
“Aneh sekali,” gumam Valhalla. “Tapi kenapa bunga cahaya itu membesar?”
“Mungkin dia punya,” balas Aston, “tetapi dia membutuhkan waktu lebih lama untuk menemukannya.”
Valhalla menatap Aston tajam. “Kemampuannya mungkin saja berbahaya,” ceplosnya dengan nada dingin.
Aston menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya untuk tetap tenang. “Tidak mungkin, Val. Anak itu adalah putra Arlyn, dia tidak berbahaya. Aku bisa menjaminnya.”
Valhalla mendesah, tatapan matanya melembut sejenak. “Tapi, Dewan Pimpinan tidak mungkin mengizinkan non-Esper mengikuti inisiasi.”
Aston berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku tahu, tapi aku akan mengusahakannya.”
Valhalla mengubah posisi duduknya, bersandar ke sofa sambil menghela napas panjang. Menatap sahabatnya dengan penuh pertimbangan. “Pikirkan caranya matang-matang, besok pagi temui aku di ruanganku dan bawa berkas siswa rekomendasi darimu. Dan satu lagi, Aston... tolong jangan terlalu dekat dengan murid-muridmu. Kau harus menciptakan jarak agar mereka tidak bertingkah seenaknya padamu.”
Aston menatap Valhalla yang mulai bangkit berdiri. “Kau sudah mau pergi? Seberapa banyak tugas yang mereka berikan padamu sampai tak ada waktu untuk dirimu sendiri, Valhalla?”
Valhalla tersenyum tipis, dan Aston bisa melihat kelelahan yang terpahat dalam senyum itu. “Mungkin karena aku non-Esper, jadi tugasku yang paling banyak. Nah, aku akan kembali ke ruanganku. Terima kasih atas waktumu, Mr. Hex.”
Dengan langkah yang tenang tapi penuh beban, Valhalla berjalan menjauh, meninggalkan Aston sendirian di puncak menara dengan pikirannya yang semakin berat. Aston menatap pintu yang ditutup oleh Valhalla, dia mendengus dan merebahkan tubuhnya kembali. “Non-Esper, huh?” gumam Aston.
***
“Omong-omong kemana perginya si newbie?” tanya Zain penasaran.
Kini mereka semua berada di asrama khusus laki-laki, di Gedung Nyx, satu kamar dapat dihuni oleh empat orang dan terdapat dua ranjang bertingkat. Kamar ini dihuni oleh Parveen, Zain, Calvin dan Ozky. Meskipun tak jarang Parveen membuat masalah dengan ketiganya.
Ozky menatap Zain yang tiduran dengan kaki bertumpu ke kaki lainnya di ranjang bawah di seberangnya, sedangkan Ozky mendapat ranjang di tingkat kedua, sama seperti Parveen. Calvin duduk di tepian ranjang di bawahnya, Ozky bisa melihat kulit kepalanya dari atas sini. “Pak Aston akan membawanya ke rumahnya,” balas Calvin.
“Serius?” tanya Zain.
“Iya, itu benar. Arion diantar Mbak Cello ke rumah Pak Aston,” ujar Calvin.
Ozky mengalihkan pandangannya ke Parveen yang tidur menyamping, memunggunginya. Namun, tampaknya Parveen mendengarkan semua percakapan itu dengan rahang yang mengeras. Kenapa harus anak itu? Parveen tidak bisa menerimanya.
“Sebegitu pedulinya Pak Aston dengan anak yang belum memiliki kemampuan khusus, apa yang spesial darinya?” kata Zain dengan seringainya yang khas.
“Kudengar, cinta pertama Pak Aston adalah ibunya Arion.”
“Dari mana kau dengar gosip itu?” tanya Ozky dingin.
Calvin mendongak, menemukan tatapan kosong Ozky yang mengarah padanya. “Gosip itu sudah menyebar sejak kita dibawa kesini minggu lalu, aku dengar, ayah Arion adalah Esper Omnikinesis. Dia merebut cinta pertama Pak Aston dan menikahinya,” jelas Calvin.
Zain beringsut duduk dengan minat yang tinggi pada topik ini. “Jadi, ayahnya Arion merebut kekasih Pak Aston?”
“Bukan kekasih, tapi cinta pertama. Mereka tadinya berteman baik dengan Pak Aston.”
“Dikhianati karena cewek?” pungkas Zain.