Aston bergegas menyusuri koridor menuju pintu keluar gedung utama, langkahnya cepat dan penuh kegelisahan. Cello sudah menunggunya cukup lama, dan meski tak menunjukkan kemarahan, dia tahu Cello pasti akan tetap kesal. Saat mendekati pintu keluar, Aston memperlambat langkahnya, matanya segera menangkap sosok Cello berdiri di dekat pintu, diam seperti patung, tapi auranya memancarkan ketenangan yang menenangkan siapa pun di sekitarnya.
Rambut keperakan Cello diikat rapi ke belakang, memperlihatkan tengkuk lehernya yang anggun di bawah cahaya pagi yang lembut. Aston berhenti sejenak, membiarkan dirinya menikmati pemandangan itu. Ada sesuatu yang berbeda dari Cello saat dia tidak berada di tengah hiruk-pikuk pekerjaannya—ketenangan dan kecantikan yang natural, jauh dari suasana serius dalam ruangan penyembuhannya.
Tapi kemudian, seolah sadar dari lamunan, Cello menoleh. Matanya menangkap tatapan Aston, alisnya sedikit berkerut dengan senyum tipis di wajahnya. “Aston?” Dia memanggilnya dengan nada yang biasa, tapi penuh perhatian.
Aston segera mengangkat tangan, tersenyum iseng, seperti seorang anak kecil yang ketahuan sedang mengintip sesuatu. “Ya, ya... maaf membuatmu menunggu,” katanya sambil berjalan mendekat, menyelipkan seulas senyum kikuk.
“Jadi?” tanya Cello, sedikit menaikkan alis. “Kita tetap jadi pergi keluar, kan?”
Aston menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengalihkan pandangannya sesaat ke arah langit yang cerah. “Sebenarnya… sepertinya aku tidak bisa. Valhalla menyeretku ke beberapa urusan tambahan. Kau tahu bagaimana dia, selalu tenggelam dalam pekerjaannya. Mungkin kita lakukan lain kali, ya? Dengan Valhalla sekalian.”
Seperti yang Aston duga, Cello hanya tersenyum lembut. Meskipun Aston melihat sedikit kekecewaan dalam tatapan Cello, perempuan itu segera menutupi perasaannya dengan ekspresi penuh pengertian. Dia menarik napas pelan, lalu tersenyum simpul, “Aku sudah menduganya. Valhalla memang tak pernah tahu kapan harus berhenti.” Dia menghela napas ringan, lalu menambahkan dengan senyum penuh kasih, “Jangan lupa beritahu dia untuk minum air putih, ya?”
Aston mengerutkan dahi, berpura-pura tersinggung. “Oh, jadi kau hanya khawatir soal Valhalla?” katanya sambil memasang ekspresi merajuk yang jelas dibuat-buat. “Bagaimana dengan aku? Apakah aku tidak penting?”
Cello tertawa kecil, suara lembutnya seperti lonceng perak di tengah kesunyian. Dia menepuk lengan Aston dengan ringan, sikapnya yang hangat membuat Aston sedikit tersipu. “Kau juga, tentu saja. Kau dan Valhalla sangat berarti bagiku. Jangan coba-coba membuat masalah, atau aku yang akan turun tangan,” katanya dengan senyum jenaka.
Aston menatapnya sejenak, senyum kecil mengembang di wajahnya, hangat dan penuh rasa terima kasih. Dia mengangguk pelan, dan tanpa berkata apa pun, hanya mengamati Cello saat perempuan itu berbalik dan berjalan pergi. Setiap langkahnya tenang, meninggalkan jejak yang tak terlihat tapi terasa di udara.
Aston tetap berdiri di sana, membiarkan pandangannya melekat pada sosok Cello yang perlahan menghilang di balik dinding. Udara terasa sedikit lebih sepi tanpa kehadirannya. Dia menghela napas panjang, seolah mencoba melepaskan perasaan yang menggantung di hatinya.
“Oh, aku tak enak hati,” gumam Aston pelan pada dirinya sendiri sebelum melangkah lagi. Dia mengarahkan langkahnya kembali ke lantai empat, menuju ruangan Valhalla.
***
Arion terbangun dengan napas yang masih tersengal-sengal. Kedua matanya terbuka lebar, pandangannya mengabur oleh keringat yang membanjiri wajahnya. Rasa lelah menjalari seluruh tubuhnya seolah-olah ia baru saja berlari jauh dan lama sekali. “Kak Rayee? Kak Aren?” gumamnya, setengah berharap sosok-sosok itu berada di sana. Namun yang ia temukan hanyalah keheningan yang menindih seperti kenyataan pahit.
Arion mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencoba menyelaraskan pikirannya dengan tempat ini. Semua yang baru saja ia alami terasa begitu nyata, terlalu nyata untuk disebut mimpi. Desahan panjang keluar dari mulutnya, tangannya terulur menyeka keringat di dahinya, lalu pandangannya tak sengaja jatuh ke arah ujung ranjangnya. Di sana, sebuah setelan pakaian terlipat rapi menanti.
“Jadi ini bukan mimpi...” desah Arion, menatap kedua telapak tangannya yang dingin dan berkeringat. Tiba-tiba saja, rasa asing itu mengalir kembali—perasaan bahwa ia benar-benar berada di tempat yang berbeda sekarang.
Pintu kamar berderit pelan saat seseorang membukanya, membuyarkan lamunannya. Arion mendongak, terkejut melihat Ferus melangkah masuk dengan senyum ramah, handuk putih melingkar di lehernya. “Oh, kau sudah bangun? Bagus,” kata Ferus dengan nada ceria, menghampiri lemarinya untuk mencari pakaian. “Kamar mandi ada di ujung lorong kalau kau mau mandi dulu.”
Arion masih menatap Ferus, seakan belum benar-benar terjaga dari pikirannya. Ferus mengeluarkan pakaian dari lemarinya dan mengenakannya dengan cepat. “Oh, tadi Pak Aston datang. Dia membawa pakaian untukmu, Pak Valhalla juga sempat mampir. Aku tak menyangka mereka benar-benar datang ke kamarku,” Ferus terkekeh kecil, memasang kemeja dan merapikan rompinya. “Mereka langsung pergi. Tampaknya sibuk mempersiapkan domain inisiasi untuk besok.”
“Benarkah?” Arion menatap pakaian yang ditinggalkan untuknya di sudut tempat tidur, lalu kembali melihat keluar jendela. “Aku harus berterima kasih kalau begitu.”
“Ya, sebagai rasa terima kasihku karena kau telah menemukan cincin ibuku. Aku akan mengajakmu berkeliling sekolah.” Ferus tersenyum penuh antusiasme.
Arion mengangguk pelan, bangkit dari tempat tidur. Dia mengambil pakaian yang disediakan oleh Aston. Handuk baru yang terselip di dalamnya membuatnya tersenyum tipis—sentuhan kecil dari Aston yang selalu memperhatikan detail. Setelah mengucapkan terima kasih singkat pada Ferus, Arion melangkah keluar kamar, meninggalkan sejenak perasaan yang masih membelenggu dirinya.
Lorong-lorong Gedung Parnassus kini jauh lebih hidup dibandingkan malam sebelumnya. Orang-orang tampak mengobrol dengan teman-temannya, saling berbagi cerita atau hanya berjalan santai. Arion berjalan melewati mereka, tetapi pikirannya mengarah ke hal lain. Di sisi kanan lorong, jendela-jendela besar memperlihatkan pemandangan lapangan The Classeirs yang luas. Langkahnya terhenti.
Dari kejauhan, Arion bisa melihat sosok Aston dan Valhalla. Keduanya sedang berjalan menjauh dari hutan yang tampaknya baru saja mereka datangi. Bersama mereka ada seorang wanita berambut merah menyala, tampak identik dengan Valhalla. Ketiganya bergerak dengan keseriusan yang terasa bahkan dari jarak ini—gerakan yang kaku, langkah-langkah yang terukur. Namun, Arion tidak perlu mendengar kata-kata mereka untuk tahu ada sesuatu yang sedang terjadi.
Sekilas, semuanya tampak biasa. Para pengajar yang kembali dari tugas. Tapi ada sesuatu yang membuat Arion menahan napas. Suara-suara dalam benaknya, seperti bisikan yang terlalu samar untuk ditangkap, namun cukup jelas untuk memicu firasat yang tak nyaman. Perasaan itu muncul tiba-tiba, seperti gelombang dingin yang merambat di punggungnya. Seolah dia telah berada di ambang kegelapan yang lebih dalam daripada yang bisa dilihat siapa pun.
Sebelum pikirannya benar-benar terperangkap dalam kegelapan itu, Arion menarik napas panjang dan berpaling. Bukan saatnya sekarang, pikirnya. Pintu kamar mandi di ujung lorong tampak ramai, banyak siswa keluar masuk. Mungkin itulah tempat yang dimaksud oleh Ferus. Dia harus mandi dan fokus.
Namun, bahkan saat kakinya melangkah menuju kamar mandi, ada sesuatu di belakang pikirannya yang terus berbisik, menyisakan jejak yang tak bisa diabaikan. Dia tahu, meski tidak mengatakan apa-apa, ada kaitan antara langkah-langkah mereka yang serius dan apa yang akan terjadi nanti. Atau, mungkin, apa yang sudah mulai bergerak—sesuatu yang sudah lama menunggu, menanti momen yang tepat.