Ferus segera menyentuh punggung Arion, menyadarkan anak itu dari lamunannya. “Hei, ayo.”
Arion mengikuti Ferus keluar dari lapangan, bergabung dengan arus orang yang bergerak ke sisian lapangan. Dia tidak tahu alasan mereka meninggalkan lapangan, karena dia tadi tidak mendengarkan Lord Alaric dengan baik. “Ferus, aku sepertinya akan berada di Gedung Parnassus lagi,” ucap Arion dengan nada pasrah, merasa kecil hati.
“Kau pasti bisa,” jawab Ferus dengan semangat yang berusaha ia jaga. “Setidaknya di Gedung Nyx. Oh, kau Esper apa, sebenarnya?” tanya Ferus, menoleh sesekali untuk menatap Arion.
“Aku? Aku bukan Esper,” balas Arion, nadanya datar namun ada sedikit ketidakpastian.
Ferus langsung terdiam di tempat, merasa terkejut dengan jawaban itu, sementara orang-orang di sekitar mereka terus berjalan maju. “Kau pasti Esper,” jawab Ferus akhirnya, mencoba memberikan dukungan. “Terkadang orang harus terpojok dulu baru bisa menemukan kemampuannya,” lanjutnya dengan nada yang lembut namun penuh keyakinan, berbeda dengan kata-kata meremehkan yang diucapkan Parveen.
Arion bungkam setelah mendengar kata-kata penyemangat dari Ferus, dan akhirnya, Ferus melanjutkan langkahnya di depan Arion. Punggung kurus Ferus, entah mengapa, tampak begitu kokoh dan tegap, seolah dia telah membawa begitu banyak beban dalam hidupnya namun tetap berdiri dengan tegar. Kerumunan siswa yang tadi berkumpul di tengah lapangan kini perlahan menyebar ke pinggir, mengantisipasi dimulainya inisiasi. Suara Lord Alaric kembali terdengar melalui mikrofon, tenang namun penuh otoritas. “Baik, domain inisiasi akan segera disiapkan.”
Dari tengah lapangan, sebuah titik cahaya muncul di tanah. Cahaya itu menyebar seperti gelombang air, merambat ke setiap sudut garis lapangan, diiringi suara derak yang menggetarkan tanah. Perlahan, sesuatu mulai muncul dari dalam tanah, menyebabkan getaran halus yang merambat di kaki setiap orang yang berdiri di sekitarnya. Mula-mula, tembok batu memanjang muncul, dengan pola acak yang membentuk labirin rumit. Dinding-dinding itu bermunculan dengan cepat, mencapai ketinggian yang menjulang, dan membentuk labirin yang sangat kompleks. Labirin itu bahkan meluas hingga ke mulut hutan yang akan menjadi tahap berikutnya setelah para peserta berhasil keluar dari labirin. Namun, pintu masuk labirin itu masih tertutup, menunggu momen yang tepat untuk terbuka.
Di antara kerumunan yang tersebar, Valhalla berdiri agak jauh, mengamati dengan tatapan tajam. Matanya segera menemukan tubuh mungil Arion di tengah kerumunan orang. Dahi Valhalla berkerut tipis, pikirannya kembali ke kejadian di hutan dua malam sebelumnya. Bagaimana mungkin Arion, seorang yang dikatakan non-Esper, bisa mengaktifkan bunga cahaya? Aston tidak mungkin memberinya kesempatan tanpa alasan yang kuat; pasti ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dia cari tahu. Valhalla sendiri bisa merasakan secercah kekuatan dari Arion, meskipun sangat samar, seperti aroma masakan yang hanya tercium sesaat sebelum akhirnya menghilang.
Sementara itu, labirin yang menjulang kini berdiri nyata di hadapan semua orang, semakin tinggi dan semakin mengesankan. Namun, ada sesuatu yang mengganggu, aura gelap yang menyelimuti struktur itu. Dari dalam labirin, suara-suara samar terdengar, membuat bulu kuduk merinding. Suara dengkuran rendah dan dalam, seolah ada makhluk besar yang tertidur di dalamnya. Angin dingin dari utara tiba-tiba menyapu lapangan, membawa serta aroma amis yang menyengat, menambah kesan menakutkan dari labirin yang baru terbentuk itu.
“Apa yang ada di dalam sana?” tanya Calvin dengan nada menggigil ketakutan, kedua tangannya mulai sedikit gemetar.
“Aku benci jika harus menebak-nebak,” balas Ozky yang berdiri di sisi Calvin, wajahnya datar namun matanya menyiratkan kewaspadaan tinggi.
Di sisi lain, Aretha mencengkeram ujung baju Parveen seperti anak kecil yang mencari perlindungan orang dewasa. “Arveen, jangan jauh-jauh dariku.” Suaranya terdengar lemah, hampir memohon.
Parveen menunduk, memandang wajah jelita Aretha dengan tatapan keras. “Jangan menjadi pecundang, Aretha,” ucapnya tegas, tanpa perasaan. “Mau tak mau, kau harus menghadapi ketakutanmu sendirian. Kau tidak bisa terus bergantung padaku.”
Ucapan Parveen itu bagaikan anak panah yang menembus dada Aretha, membuat napasnya terasa sesak. Namun, Aretha tak membalas; dia memilih untuk melepas cengkeramannya dari baju Parveen dengan tangan gemetar. Ada kepahitan dalam dirinya, tetapi Aretha tahu bahwa Parveen mungkin benar.
Di sudut lain, Zain menyikut lengan Helena yang larut dalam imajinasinya sendiri. Helena terkejut, tersentak kembali ke realitas ketika Zain menyenggolnya. “Jangan mati, Helen,” ucap Zain dengan nada yang setengah serius, setengah bercanda.
“Semoga kau mati, Zain,” jawab Helena dengan nada datar.
Zain memelototkan matanya perlahan, terkejut dengan jawaban Helena, tetapi seulas senyum tipis yang terasa hangat segera menggantikan ekspresi itu. Ia melipat kedua tangan di dada, tak lagi menatap Helena, namun fokus pada dinding labirin yang berlumut dan tampak kuno itu. “Semoga kau keluar hidup-hidup sehingga aku bisa melihat wajah jelekmu lagi,” kata Zain dengan nada sarkasme, menutupi kekhawatiran yang sebenarnya.
“Kau mau aku pukul?” balas Helena sewot.
Zain terkekeh singkat, matanya menyiratkan rasa peduli yang mendalam untuk Helena, berharap dalam hati, semoga aku bisa bertemu denganmu lagi, Helena.
Di tempat yang berbeda, Adella melirik sekeliling, matanya mencari-cari sosok Arion. “Oh, iya, di mana Arion?” tanyanya pada Calvin, sedikit cemas karena tidak melihat sosok bocah itu.
“Kurasa dia ada di sini juga, tapi aku tidak tahu di mana,” jawab Calvin dengan santai, mengedikkan bahu.
Di sisi lain lapangan, yang berseberangan dengan Adella dan teman-temannya, Arion menatap labirin yang menjulang tinggi di depannya. Sesuatu dalam dirinya merinding, perasaan takut dan penasaran bercampur aduk. Di sisinya, Ferus tampak tenang, bahkan ketenangan itu seolah tidak bisa ditembus oleh kecemasan apa pun. Sementara itu, murid-murid The Classeirs bersorak, mereka tampak antusias, menanti pertarungan yang akan datang. Mereka dilanda euforia aneh, hampir seperti kehausan akan kekacauan. Arion merasa seolah-olah orang-orang ini sedang menanti jatuhnya korban, seakan menyambut kekerasan dan darah seperti kaum barbar di masa lalu.
Lord Alaric kembali bersuara, suaranya tegas dan berwibawa melalui mikrofon, “Kelompok inisiasi akan dibagi oleh Madam Liora. Dimohon untuk calon murid berkumpul di depan podium, sementara murid resmi dapat berkumpul di titik seberang lapangan.”
Mendengar hal itu, murid-murid resmi dengan sigap memberikan ruang bagi para calon murid untuk melangkah ke depan podium. Gerakan yang terjadi di lapangan tampak seperti sebuah tarian yang tidak direncanakan namun begitu selaras, di mana murid-murid resmi mundur serempak ke belakang, sementara para calon murid maju atau menyilang ke depan. Formasi yang tidak disengaja itu menimbulkan kesan terorganisir, meski tidak ada komando yang jelas.
Parveen dan teman-temannya—Zain, Calvin, Ozky, Adella, Aretha, dan Helena—terlihat berjalan merangsek melewati kerumunan yang menyesakkan menuju ke sisi timur labirin, mereka mengitari setengah lapangan untuk menuju depan podium. Di sisi lain, Arion dan Ferus sudah lebih dulu berada di sana, menanti pengumuman pembagian kelompok. Namun, mereka belum bertemu satu sama lain di tengah hiruk-pikuk ini.
Seorang wanita berambut merah pendek dan elegan naik ke atas podium, mata Arion memicing, ternyata yang kemarin dia lihat bersama Aston dan Valhalla adalah Madam Liora. Pakaian serba merah yang stylish membalut tubuhnya, menambah kesan anggun dan berwibawa. Senyum manis terlukis di wajahnya, dan matanya yang cerah berwarna biru menambah kesan magnetis yang sulit diabaikan. “Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Lady Seraphina yang bekerja keras untuk mewujudkan inisiasi hari ini,” ucap Madam Liora dengan nada tegas namun ramah, mengambil alih mikrofon dari Lord Alaric.