The Classeirs

L. Blue
Chapter #19

CHAPTER 10

Sebelum jam sepuluh tepat, para calon murid yang telah menemukan kelompoknya dibawa untuk mendapatkan sarapan di kantin sekolah. Bangunan itu cukup besar untuk menampung semua orang, meskipun suasana di dalam terasa agak sunyi, seolah-olah setiap orang tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, bersiap untuk menghadapi apa pun yang menunggu di dalam labirin. Setelah sarapan, mereka diberi waktu satu jam untuk mencerna makanan, kemudian Valhalla muncul atas perintah Lady Seraphina untuk menggiring para calon murid ke sisi selatan labirin.

Matahari sudah tinggi di langit, tetapi ada perasaan ganjil di udara. Arion berjalan dengan kelompoknya, tetapi matanya terus menatap ke depan, berusaha melihat gerbang besar yang akan mereka hadapi. Dari kejauhan, dia bisa melihat pintu labirin yang masih tertutup rapat dan ditumbuhi tanaman rambat yang tampak tak terawat. Tanaman-tanaman itu menjalar di sepanjang batu-batu besar di sekitar gerbang, menciptakan kesan bahwa pintu itu sudah lama tidak dibuka, seperti sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.

Arion berjinjit, berusaha melihat lebih jelas, tapi sia-sia. “Kenapa orang-orang itu gampang sekali tumbuh tinggi?” keluhnya dalam hati. “Apa yang mereka makan?”

Ferus, yang melihat Arion sedang kesulitan, tersenyum kecil. Dia berinisiatif menawarkan bantuan. “Pegang tanganku erat-erat,” katanya, membentangkan sebelah lengan kirinya di depan wajah Arion.

Awalnya Arion ragu, tapi kemudian dia memutuskan untuk mempercayainya dan berpegangan pada lengan Ferus. Tanpa kesulitan, Ferus mengangkat lengannya, dan dengan mudah, Arion terangkat beberapa sentimeter dari tanah. Dari posisi ini, Arion bisa melihat lebih jelas ke depan.

Pintu labirin itu sangat besar, jauh lebih tinggi dari yang dia bayangkan sebelumnya. Batu-batu yang menyusunnya kasar dan berlumut, tampak kuno dan hampir seperti bagian dari alam liar itu sendiri. Tanaman rambat yang menjalar di pintu itu tampak aneh; meskipun tidak ada angin, daun-daunnya bergoyang pelan, seolah-olah mengikuti irama yang tak terdengar.

Tanpa peringatan, pintu labirin bergetar, suara gesekan batu yang berat terdengar menggema di seluruh lapangan. Arion bisa merasakan getarannya hingga ke tubuhnya. Batu-batu besar di sepanjang gerbang mulai bergeser, perlahan membuka jalan ke dalam, tetapi tidak seperti pintu yang terbuka secara horizontal. Pintu itu bergerak ke atas, seolah-olah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Tanaman-tanaman rambat yang tumbuh di permukaannya ikut tertarik, menciptakan suara desir yang membuat bulu kuduk berdiri.

Udara di sekitar mereka berubah. Angin dingin tiba-tiba berhembus dari dalam labirin, meskipun sebelumnya udara di luar cukup hangat. Angin itu terasa aneh di kulit, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak bisa diidentifikasi dengan jelas, tetapi mengingatkan Arion pada bilik-bilik tua yang ditinggalkan.

Di balik gerbang, mulai terlihat koridor panjang yang gelap, dibatasi oleh dinding batu yang tingginya melebihi pepohonan di sekitar. Cahaya matahari terasa enggan memasuki tempat itu, seperti ada kekuatan yang menolak terang untuk mencapai bagian dalam labirin. Dari kejauhan, terdengar suara-suara gerakan samar—entah itu langkah kaki atau sekadar gema, tidak ada yang tahu pasti.

“Apa... apa kau dengar itu?” bisik Arion, suaranya sedikit bergetar.

Ferus yang masih memegang Arion hanya mengangguk, matanya terfokus pada pintu yang terus membuka dengan lambat. “Ya... aku dengar.” Tapi dia tidak memberi penjelasan lebih jauh. Dia tidak mau membuat orang-orang di sekitarnya semakin gelisah.

Valhalla berdiri sedikit jauh dari kerumunan, mengawasi gerbang yang kini telah terbuka sepenuhnya. Matanya tajam, memperhatikan setiap detail, memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana. Tetapi bahkan dia bisa merasakan kehadiran energi misterius yang menyelubungi pintu labirin ini—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah.

“Masuklah dalam urutan kelompok kalian,” suara Lord Alaric terdengar di pengeras suara, memecah ketegangan. Meski terdengar tenang dan teratur, perintahnya membawa suasana semakin serius.

Arion perlahan diturunkan oleh Ferus, kembali menginjak tanah. “Ini baru permulaan,” gumam Ferus sambil menatap labirin di depan mereka. Arion menelan ludah, merasakan napasnya sedikit lebih berat dari biasanya. Entah kenapa, meskipun pintu itu tidak benar-benar menyeramkan, ada sesuatu yang membuatnya merasa... tidak nyaman. Seolah-olah labirin itu memiliki ribuan mata tak terlihat yang sedang mengamati mereka semua, menunggu untuk melihat siapa yang akan berhasil keluar dan siapa yang tidak.

“Semoga kita bisa bertahan sampai tahap akhir,” gumam Ozky sambil menyentuh bahu Arion. Jauh di lubuk hatinya, Ozky menyimpan banyak keraguan, bukan hanya terhadap rekan satu timnya, tapi juga terhadap dirinya sendiri. Sebagai seorang Esper Penyembuh, dia merasa kekuatannya tak cukup untuk melindungi kelompoknya. Ferus adalah Juggernaut yang masih diragukan kekuatannya, dan Arion... seorang non-Esper, setidaknya dari yang mereka ketahui. Mampukah mereka bertahan bahkan di tahap pertama? Ozky tidak tahu, tapi dia diam-diam bertaruh pada kemampuan Ferus.

Di sisi lain, Parveen memperhatikan saat pintu labirin mulai terbuka. Pintu itu bergetar, membebaskan tanaman rambat yang melilitnya, sebelum dinding batu yang masif bergeser perlahan, terbuka secara vertikal. Lord Alaric baru saja memberi perintah, dan serentak, para calon murid mulai bergerak maju sesuai nomor kelompok. Mereka terlihat seperti sekumpulan semut hitam yang putus asa memasuki labirin. Parveen memperhatikan dengan tatapan dingin.

Di sisi kirinya, ada Georgie Wade, seorang Esper Imajiner. Parveen tidak berharap banyak dari Georgie; baginya, Esper Imajiner tidak terlalu berguna dalam situasi seperti ini. Di sisi kanannya, ada Irish Novak, seorang Esper Elemen Api yang tunawicara, yang membuat komunikasi kelompok mereka menjadi sulit. Georgie sering terlihat bercakap-cakap dengan Irish dalam bahasa isyarat, tapi Parveen tidak peduli. Dia tidak tertarik pada hubungan sosial yang tidak memberikan keuntungan. Irish, di sisi lain, memegang daya tarik tersendiri bagi Parveen, bukan karena kepribadiannya, tetapi karena kekuatan yang dimilikinya. Esper Elemen Api adalah salah satu yang menurutnya cukup menjanjikan.

Sementara itu, Calvin merasakan ketegangan yang membuncah di dadanya saat dia melangkah melewati pintu labirin. Kelompok 12—kelompoknya—harus membuat keputusan cepat, tapi dia mendapati pikirannya kosong. Semua yang dia tahu tentang takaran jalan keluar kini terasa menghilang begitu saja, meninggalkan keraguan yang menyesakkan. Pintu batu yang besar kini berada di belakang mereka, mengurung mereka di dalam labirin. Di depan Calvin terbentang berbagai jalan, masing-masing tampak sama-sama berbahaya dan penuh ketidakpastian. Dia merasa mual, perutnya bergejolak hebat, dan ketakutan mulai merasuk hingga ke tulang.

Seth Albrecth, teman satu timnya, merasakan kecemasan Calvin, dan dengan lembut meremas bahu Calvin dari belakang. “Jangan pernah berpikir untuk berhenti atau lari,” bisiknya tegas.

Di depan Calvin, Franz Peregrine, seorang Esper Elemen Air, tampak mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku sudah mendengar cukup banyak dari murid-murid resmi tentang labirin ini,” katanya. Suaranya bergetar, tetapi dia tetap memaksakan ketenangan. “Yang harus kita lakukan adalah percaya pada pilihan kita.”

Calvin menelan ludah dengan susah payah. Wajahnya tampak pucat pasi, rasa bersalah merayapi dirinya. “Maaf... aku sepertinya menjadi beban bagi kalian,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Seth menghela napas panjang, “Jangan jadi beban. Kami sudah cukup kerepotan dengan ketakutan kami sendiri.” Dengan langkah tegas, dia memimpin jalan, diikuti oleh Franz yang tampak lebih tenang. Calvin tertinggal di belakang, namun dia mencoba mengikuti dengan langkah yang masih goyah.

Di kelompok lain, Redd Knox, seorang Esper Juggernaut Penghancur, berjalan seperti bayangan besar yang mengintai di belakang Adella dan Aretha. Meskipun Redd terlihat galak dan menakutkan, dia memiliki insting pelindung yang kuat terhadap kedua gadis itu, meski mereka belum terbiasa dengan kehadirannya yang mengintimidasi.

Aretha, sang Esper Bilokasi, memecah keheningan dengan mengutarakan rencananya. “Aku akan mengaktifkan bilokasi. Kita bisa mencari jalan keluar dengan bantuan diriku yang lain,” katanya dengan tatapan serius, berusaha menenangkan Adella.

Adella mengerutkan dahi, berpikir matang-matang tentang risiko yang akan mereka ambil. Dinding-dinding labirin yang menjulang tinggi di depan mereka tampak semakin menyesakkan. “Tapi terlalu berbahaya jika kau berkeliaran sendirian,” ucap Adella ragu.

Aretha tersenyum samar, mencoba menghilangkan kekhawatiran Adella. “Tenang saja, serahkan semuanya pada diriku yang lain,” jawabnya. Tubuhnya mulai bergetar halus, memancarkan aura yang berbeda, seakan-akan ada energi yang bangkit dari dalam dirinya. Wujud baru keluar dari tubuhnya, seperti roh yang menjelma menjadi fisik yang sama sekali berbeda. Rambut pirang panjang Aretha beralih menjadi hitam pendek, dan warna matanya yang biru berubah menjadi spektrum merah menyala. Nagi, wujud lain dari Aretha, yang lahir dari kekuatan dan amarah yang terpendam.

Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Nagi melesat ke salah satu jalan labirin, menghilang dengan kecepatan luar biasa. “Kita harus mencari jalan lain. Jangan khawatir, Nagi akan menemukan jalan keluarnya,” ujar Aretha, suaranya terdengar mantap, meski ada sedikit kekhawatiran yang tak dia tunjukkan.

Adella mengangguk setuju, mengikuti langkah Aretha. Di belakang mereka, Redd tetap siaga, matanya yang tajam dan instingnya sebagai Juggernaut Penghancur membuatnya selalu siap mendeteksi bahaya sebelum bahaya itu menghampiri.

***

Kelompok nomor 178 mulai memasuki labirin. Zain, Helena, dan Finn berjalan berdampingan, mata mereka waspada memeriksa sekeliling. Jalanan labirin terasa lembab di bawah kaki mereka, udara yang mereka hirup pun terasa berat. “Jadi, jalan mana yang harus kita ambil?” tanya Finn, suaranya menggema di antara dinding batu yang tinggi dan gelap.

Lihat selengkapnya