“Apa itu?!” Salah satu peserta inisiasi berteriak histeris, matanya terbelalak penuh ketakutan saat melihat puluhan bola mata melayang di atas dinding-dinding labirin. Udara di sekitar mereka terasa berat, seolah sesuatu yang tidak manusiawi sedang mengawasi dari balik kegelapan. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah berat yang menggema, menggetarkan tanah di bawah kaki mereka, seakan-akan bumi sedang merespons kehadiran makhluk raksasa yang mendekat.
Nagi, manifestasi kemarahan dan kekuatan Aretha, adalah yang pertama berhasil menemukan jalan keluar dari labirin. Dia berdiri hanya beberapa meter dari pintu keluarnya, namun, tepat ketika dia hendak melangkah keluar, sesuatu yang lebih mengerikan dari segala mimpi buruk yang pernah dia alami menarik perhatiannya.
Sebuah bola mata besar, berkali-kali lipat ukuran manusia, melayang di udara. Tidak ada kelopak mata, hanya kornea yang memantulkan cahaya yang aneh, seperti matahari terbenam yang tersaring melalui kabut berdarah. Urat-urat merah berdenyut di sekitar pupilnya yang besar, tampak seperti akar hidup yang tumbuh dari kegelapan, menggeliat dengan gerakan menjijikkan. Mata itu bergerak liar, memindai ruang, mencari mangsa. Ketika akhirnya pupil hitam pekatnya terkunci pada Nagi, waktu seolah berhenti.
Nagi merasa pandangan mata besar itu menembus jiwanya, seperti cakar tak kasatmata yang mencengkeram inti kesadarannya. Dia melihat bayangannya sendiri terpantul di permukaan mengkilap mata itu, namun bayangan itu perlahan berubah, berputar dan terdistorsi, seolah-olah dagingnya meleleh di dalam refleksi itu. Napasnya mendadak tersumbat. Rasanya seperti paru-parunya diperas oleh kekuatan yang tak terlihat. Setiap usaha untuk menarik napas terasa sia-sia, udara yang biasa terasa segar kini berubah menjadi beban yang tak tertahankan. Otot-otot tubuhnya menegang, terkunci, seolah-olah gravitasi yang tak wajar telah menariknya ke tanah. Dia tak bisa bergerak—tak ada yang bisa dilakukan selain menyaksikan teror yang menghampiri.
Dari sisi lain labirin, jauh di dalam bayang-bayang jalanan yang rumit, para peserta mulai mendengar suara lain—derak ranting patah dan gemuruh langkah yang semakin mendekat. Dari kejauhan, sepasang tanduk raksasa menyeruak dari balik pepohonan, menjulang tinggi ke langit, melebihi tinggi dinding-dinding labirin. Makhluk itu—Marchioly, sang entitas abadi—muncul dalam bentuk yang lebih menyeramkan dari apa yang pernah dibayangkan para peserta. Tanduk rusa yang melengkung besar dan tak masuk akal itu seolah-olah mencakar langit. Puluhan bola mata menyebar ke segala arah, tertanam di setiap pembuluh yang keluar di belakang kepalanya, seperti jaring laba-laba yang menjalar dan bergerak, menyusuri setiap celah dan lorong dalam labirin.
Jeritan panjang dan memilukan keluar dari mulut sang Marchioly. Suaranya merobek udara dengan kekuatan tak terlukiskan—melengking, memekakkan telinga, dan menghentikan setiap langkah para peserta inisiasi. Jeritan itu tidak hanya menggema di udara, tetapi juga meresap ke dalam tulang mereka, menembus hingga ke inti jiwa. Udara seolah bergetar, bergema dengan energi yang menghancurkan. Suara tersebut membawa ketakutan yang begitu kuat, begitu mendalam, seolah-olah setiap nada adalah janji kematian yang tak terelakkan.
Parveen membeku. Puluhan bola mata raksasa kini melayang di atas dinding-dinding labirin, mengunci tatapannya pada setiap peserta yang terperangkap di bawahnya. Mata-mata itu hidup—berdenyut dan bergerak seperti makhluk terpisah, masing-masing memantulkan bayangan peserta yang kecil, tak berdaya, seperti mainan yang terperangkap dalam cakar predator yang menunggu waktu untuk membinasakan.
Di dalam pantulan itu, Parveen melihat dirinya—terkecil dari yang pernah ia rasakan. Seluruh keberaniannya seolah dihisap keluar dari tubuhnya. Bola mata raksasa melayang di atasnya, pupil hitamnya menajam, seakan siap menembus masuk ke dalam pikirannya. Tubuh Parveen gemetar tanpa henti, darahnya membeku di nadinya, dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat setiap serabut otot menjadi lumpuh. Dia tak bisa melawan. Tak bisa bergerak. Ia menjadi tawanan dalam tubuhnya sendiri.
Di luar labirin, pemandangan semakin tegang. Para murid resmi yang sedang menonton siaran langsung inisiasi di lapangan terdiam. Suara gemuruh dan jeritan tadi bergema ke seluruh area, bahkan terdengar hingga tempat mereka berdiri. Aston, Cello, dan Valhalla yang tadinya duduk tenang, kini serentak berdiri, mata mereka terpaku pada pemandangan mengerikan yang ditampilkan di layar. Tubuh raksasa Marchioly kini bergerak perlahan di dalam hutan, sosoknya mulai tampak jelas. Makhluk itu, yang awalnya terlihat dari kejauhan, kini perlahan-lahan memperlihatkan tubuhnya. Lebih dari separuh tubuh raksasa sang entitas menjulang dari balik pepohonan, tanduknya mencakar langit, dan setiap bola mata di tubuhnya terus berdenyut, memindai labirin dengan haus akan jiwa.
Jantung Valhalla serasa berhenti sejenak. Matanya terbelalak lebar, tubuhnya gemetar tak terkendali. Napasnya tersengal-sengal, paru-parunya seakan kesulitan menampung udara yang tak lagi terasa cukup. Ketakutannya, ketakutan yang selama ini dia coba kubur dalam-dalam, kini menyeruak keluar dengan kekuatan yang tak bisa ia bendung. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya tak bisa lepas dari sosok Marchioly.
“Bagaimana bisa...” Suaranya gemetar, hampir tak terdengar di antara gemuruh teriakan yang memenuhi udara. Kata-katanya tertelan jeritan panjang sang Marchioly yang sekali lagi menghantam telinga mereka, membuat lututnya lemas.
Di sampingnya, Aston mengerutkan dahi, sorot matanya penuh selidik, menatap tajam ke arah para Dewan Pimpinan yang duduk dengan tenang di bawah tenda teduh. Pandangannya tertuju pada Lady Seraphina, yang tak terusik, seolah dia mengantisipasi semua ini sejak awal. Lady Seraphina, orang yang telah merekomendasikan entitas abadi itu untuk dilibatkan dalam inisiasi ini, duduk tenang dengan pandangan dingin. Tidak ada kekhawatiran sedikit pun di wajahnya, hanya observasi tajam terhadap layar yang menampilkan kekacauan di dalam labirin.
Pikiran Aston mulai berputar cepat. Mengapa Marchioly bisa lolos dari domain pengaman? Apa motif dari keputusan Dewan Pimpinan untuk memasukkan entitas berbahaya ini ke dalam inisiasi? Sesuatu tidak beres. Ada kejanggalan dalam semua ini, dan Aston tahu instingnya jarang salah. Tapi sebelum dia bisa menyelidiki lebih lanjut, suara keras Cello membuyarkan pikirannya.
“Valhalla!” panggil Cello sedikit panik. Mata Cello melebar saat melihat sosok Valhalla yang mulai bergerak cepat menuju pintu masuk labirin. Langkahnya tergesa-gesa, tidak lagi bisa mengendalikan dorongan untuk menyelamatkan mereka yang berada di dalam.
Aston berbalik cepat, mengamati punggung Valhalla yang menjauh. Tangan Aston segera menghalangi Cello ketika ia hendak menyusul Valhalla, menggenggam lengan Cello erat, menghentikan gerakan impulsifnya.
“Tunggu di sini,” ucap Aston lembut, sorot matanya penuh kendali, meski situasi di sekelilingnya terus memburuk. “Sebagai Kepala Departemen Penyembuhan, kau punya tanggung jawab di sini. Inisiasi ini akan menjadi kacau. Bersiaplah untuk yang terburuk.”
Cello terdiam, matanya terbelalak oleh keseriusan Aston. Emosinya jelas, ia ingin bergegas, tetapi perintah Aston lebih kuat. Kekhawatiran mulai menyelimuti hatinya, tapi ia tahu Aston benar. Dengan hati yang berat, Cello mengangguk, menelan ketakutan yang kini menguasainya dan berusaha kembali dalam ketenangan.
“Aku akan menunggu,” bisiknya, balik meremas tangan Aston. “Kembalilah dengan selamat, Aston.” Ada harapan dan rasa takut yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
Aston bisa merasakan semua kekhawatiran Cello lewat afeksi kecilnya, dia mengangguk singkat setelah Cello melepaskan genggaman tangannya dari Aston. Tanpa basa-basi lagi, Aston menyusul Valhalla yang tampaknya baru saja membuka pintu labirin inisiasi.
Sementara itu, di dalam labirin, Arion, Ferus, dan Ozky berusaha tetap tenang di tengah kekacauan yang terjadi. Mereka mendengar suara gemuruh langkah sang Marchioly dan raungan mengerikannya yang menggetarkan labirin. “Astaga, suara apa itu?” tanya Ferus, suaranya serak dan bergetar.
Arion terdiam, wajahnya pucat. Gambaran tentang Marchioly kembali menghantui pikirannya—bayangan menakutkan tentang makhluk yang menghancurkan rumahnya. Tubuhnya mulai gemetar, tapi dia berusaha tetap tenang. “Itu... Marchioly,” gumamnya lirih, cukup pelan untuk didengar oleh Ferus dan Ozky.
“Kita terjebak,” desis Ozky, matanya mencari jalan keluar di antara dinding-dinding tinggi labirin yang terasa semakin menyempit.