The Classeirs

L. Blue
Chapter #22

CHAPTER 12 (Part 1)

Parveen termenung dalam langkah-langkahnya yang semakin mantap. Semakin jauh dia dan kelompoknya berjalan, inisiasi ini berubah dari sekadar ujian menjadi mimpi buruk yang mencekam. Darah menggenang di setiap sudut jalan, bercampur dengan bau busuk dan kematian. Mayat-mayat para peserta berserakan tanpa kehidupan, wajah-wajah mereka membeku dalam ekspresi ketakutan yang mendalam. Jeritan Marchioly terus menggema, memantul di setiap dinding labirin, membuat jantung Parveen hampir meledak karena ketakutan yang terpendam.

Entitas-entitas asing muncul dari balik kegelapan, bergerak cepat, menyeret para peserta satu per satu ke dalam kegelapan tanpa jejak. Gerombolan Ceir dengan duri-duri tajamnya berkeliaran, menghantui labirin. Di tengah kelompok itu, Irish berjuang mempertahankan perisai api di sekeliling mereka, perisainya berputar seperti roda menyala, melibas setiap Ceir yang mendekati mereka. Energinya semakin terkuras, tubuhnya gemetar di setiap gerakan yang ia buat. Ketika mereka merasa cukup aman, Irish menonaktifkan perisai itu dengan napas yang terengah-engah, keringat membasahi dahinya, namun ia tahu—mereka masih jauh dari kata aman.

Namun, Parveen tampak berbeda. Saat yang lain berjuang melawan rasa takut, matanya berkilat dengan kegilaan yang mulai merekah dari dalam dirinya. Senyum kecil muncul di bibirnya, samar tapi berbahaya, seperti senyum seseorang yang baru saja menyadari kekuatan tersembunyi dalam dirinya. Pikirannya tidak lagi terikat oleh kewarasan. Seakan suara jeritan, darah, dan mayat-mayat ini memberinya makna yang baru—makna yang menuntunnya lebih dalam ke dalam kegelapan.

Di dalam kepalanya, suara Aston terngiang, berbisik seperti mantra yang mengobarkan api dalam hatinya: “Aku bisa melakukannya sebanyak yang aku mau?” Senyuman Parveen berubah menjadi seringai, tajam dan berbahaya. Tawa rendah meledak dari tenggorokannya, suara yang berat dan penuh dengan ambisi yang terpendam selama ini. Tubuhnya menggigil, bukan karena takut, melainkan karena antisipasi. Seperti orang yang tiba-tiba menemukan tujuan hidupnya di tengah kehancuran.

Georgie menoleh, merasakan sesuatu yang tidak beres. Matanya menajam saat memandang Parveen, melihat senyuman gila di wajahnya, dan detik itu juga, ia tahu ada yang berubah. “Kau baik-baik saja, Parveen?” bisik Georgie dengan cemas, namun suaranya terselip di antara keraguan dan ketakutan. Parveen tak menjawab, tatapannya tetap pada kekosongan, seolah ia sedang mendengarkan sesuatu yang hanya bisa ia dengar. Georgie mengerutkan dahinya, segera menarik Irish lebih dekat, menjauhkannya dari Parveen. Ketidakberesan itu terasa seperti ancaman yang tak terlihat.

Udara di sekitar Parveen berubah. Seakan energi di sekelilingnya mulai bergetar dengan frekuensi yang berbahaya. Irish dan Georgie—yang ada jauh di belakangnya—merasakan tekanan besar dari aura Parveen, seolah-olah udara di sekitar mereka semakin padat, membuat mereka sulit bernapas. Mereka tahu Esper Psikokinesis seperti Parveen adalah salah satu yang paling berbahaya. Di puncak kemampuannya, seorang Esper Psikokinesis bisa menghancurkan seluruh The Classeirs dalam waktu singkat.

Dinding-dinding labirin di hadapan Parveen bergetar seiring kekuatan yang keluar dari dirinya. Tanpa perlu berkata apa-apa, dinding itu tiba-tiba runtuh, melayang ke udara seperti serpihan kertas yang terbawa angin. Batu-batu besar dan puing-puing berputar mengelilingi Parveen dalam lingkaran tornado yang ganas, menciptakan suara gemuruh yang mengguncang labirin. Tornado batu itu bergerak mengikuti kemauan Parveen, menyapu bersih semua penghalang di depannya. Labirin runtuh seketika, terbawa angin puing-puing yang dibentuk Parveen.

Irish dan Georgie hanya bisa menatap ngeri. Parveen tidak membutuhkan mereka lagi. Dia sudah memutuskan bahwa inisiasi ini tidak memerlukan kerja sama. Dengan kekuatannya, dia yakin bisa mencapai tahap final sendirian. Tanpa mempedulikan kedua rekannya, Parveen bergerak maju, meninggalkan Irish dan Georgie di belakang, terjebak dalam badai kehancuran yang ditinggalkannya.

Labirin tidak hanya berubah menjadi mimpi buruk yang nyata. Bagi Parveen, ini adalah medan perang di mana dirinya, untuk pertama kalinya, merasa benar-benar hidup.

Sementara itu, di tempat lain dalam labirin, Calvin dan kelompoknya berlari sekuat tenaga, berusaha melarikan diri dari kejaran Ceir yang terus mengincar mereka. “Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ada tornado? Dan kenapa semua hal ini terjadi sekaligus?!” Calvin mengoceh panik, suaranya pecah di antara deru napas yang terengah-engah.

Franz, seorang Esper Elemen Air, merasakan ketidakberdayaan di tempat seperti ini. Udara kering tidak memberikan apa-apa untuknya. Jika saja hujan turun, dia mungkin bisa melakukan sesuatu. Di belakang mereka, Seth mencoba memfokuskan pikirannya. Materialisasi bukanlah kemampuan yang bisa dipaksakan dalam situasi seperti ini, tetapi Ceir yang terus mendekat memaksa Seth untuk bertindak. “Beri aku waktu!” teriak Seth sambil mengerahkan seluruh konsentrasinya.

Ceir yang mengejar mereka mengeluarkan suara aneh, sebuah suara yang menimbulkan perasaan tidak nyaman—seperti logam berkarat yang bergesekan dengan besi. Bunyi tajam dan menggerus itu menembus telinga Calvin dan yang lainnya, menyebabkan rasa ngilu di gigi mereka, seakan-akan suara itu merambat langsung melalui saraf. Mereka semua tahu, waktu mereka hampir habis. Para Ceir tampak semakin dekat, mempersempit jarak dengan cepat.

Saat situasi menjadi genting, Seth akhirnya berhasil mematerialisasikan sebuah mobil Kabriolet berwarna hijau lumut yang tampak cemerlang di tengah-tengah lorong labirin yang suram. Mobil itu muncul seolah-olah mencuat dari ketiadaan, tampil menawan dengan desain klasik yang kontras dengan situasi menegangkan. Tanpa ragu, Seth melompat ke kursi pengemudi, mendahului Franz dan Calvin.

“Ayo naik!” teriak Seth, sambil menyalakan mesin mobil yang mendengung kuat.

Calvin dan Franz terdiam untuk sesaat, terkejut melihat Seth berhasil mematerialisasikan kendaraan dalam waktu singkat, tapi insting bertahan hidup lebih kuat dari keheranan mereka. Tanpa banyak berpikir, keduanya bergegas melompat ke kursi penumpang di belakang.

Mobil itu langsung melaju kencang, ban-ban menggerus tanah kasar labirin. Dinding-dinding labirin melesat di samping mereka, membingkai pandangan seperti bayangan buram, sementara Ceir di belakang terus berusaha mengejar dengan gerakan yang menakutkan. Mereka mendekati tikungan tajam, dan Seth dengan lihai membanting setir, membuat mobil berputar nyaris sempurna di sudut sempit, meninggalkan para Ceir jauh di belakang.

“Kenapa tak melakukannya dari tadi?!” teriak Calvin dengan suara keras, napasnya masih memburu di antara ketegangan yang mencekam.

“Aku baru bisa berpikir sekarang!” balas Seth frustasi, tangannya mencengkeram erat kemudi, matanya fokus ke jalanan yang terus berbelok tajam. “Sulit konsentrasi dengan makhluk-makhluk berduri itu mengejar kita!”

Seth menambah kecepatan, mesin Kabrioletnya meraung, menembus lorong-lorong labirin yang semakin menyesakkan. Ceir yang tertinggal mulai mengecil di kejauhan, tapi suasana masih jauh dari aman. Ketegangan merayap kembali ke dalam hati mereka saat sebuah ledakan besar tiba-tiba mengguncang tanah hanya beberapa meter dari tempat mereka melintas.

BOOM!

Getarannya begitu kuat hingga dinding-dinding labirin di sekitar mereka bergoyang hebat, seperti hendak runtuh kapan saja. Batu-batu besar terlepas dari tempatnya, berjatuhan di sekitar mereka. Para Ceir yang tadinya mengejar tertimpa oleh bebatuan labirin, menghantam tanah dengan keras. Kepulan asap tebal membubung tinggi ke udara, memberikan sedikit waktu bagi mereka untuk bernapas.

“Kacau sekali,” gumam Franz sambil berusaha menormalkan napasnya. Matanya menatap kepulan asap dengan cemas. Tatapannya menajam ketika dia melihat sesuatu di antara asap itu—sebuah benda yang bergerak cepat di udara, melayang dan berputar. Franz memicingkan matanya, berusaha memastikan apa yang dilihatnya.

Benda itu bukan puing, melainkan seseorang. Sosok itu terbang, hampir seperti dilemparkan oleh ledakan, tapi dengan cepat bermanuver di udara. Saat sosok itu hampir menabrak mereka, dia dengan lincah melompat ke atas dinding labirin, mendarat sempurna di tepiannya. Franz akhirnya bisa melihat jelas siapa itu—Zain, dan ia sedang membopong Helena di tangannya.

Kelompok 178 berhasil melarikan diri dengan memanfaatkan kemampuan Zain. Dengan sigap, Zain mengarahkan kemampuan Levitasinya pada Finn dan Helena, membuat mereka melayang, menghindari jebakan jalan buntu dan serangan Ceir serta bola mata Marchioly yang terus mengintai. Finn, yang sejak awal menyimpan energinya, kemudian mengubahnya menjadi ledakan termal yang cukup besar, menyingkirkan Ceir dan bola mata sang Marchioly sekaligus mendorong mereka ke udara.

“Hei! Lepaskan! Aku bisa lari sendiri!” teriak Helena kesal, wajahnya memerah karena marah.

“Diamlah, tanganku harus memegang sesuatu yang berat untuk menjaga keseimbangan tubuhku,” jawab Zain dengan nada santai, jelas mengarang alasan konyol. Ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa dia hanya mempermainkan Helena.

Lihat selengkapnya