Dengan satu serangan balasan yang cepat dan kuat, Ferus melayangkan tendangan gelombang kejut ke sisi tubuh Redd, membuat Redd memuntahkan darah dari mulutnya. Tubuh Redd terlempar sejauh tiga meter, berguling-guling di tanah sebelum akhirnya menghantam batang pohon hingga patah. Namun, bahkan di tengah kerusakan itu, Redd sempat bertatapan dengan Ferus sepersekian detik dan menyeringai tipis sebelum menghilang lagi.
Ferus mengerutkan dahi, tapi dia mulai beradaptasi dengan pola serangan Redd, “Aku bisa melihatmu,” katanya dengan nada rendah namun penuh ancaman.
Redd, yang kini tengah berlari di sekitar area dengan kecepatan luar biasa, menyeringai lebar. Dia akhirnya menemukan lawan yang sebanding. Sebuah kegembiraan gila menyala di matanya. Tapi Ferus, dengan tangan yang mengepal erat dan samar-samar memancarkan cahaya hitam, bersiap untuk menyerang. “Kena kau,” gumam Ferus, melesat mengejar di belakang Redd.
Kecepatan mereka berdua kini melampaui batas manusia normal. Pertarungan itu tak lagi bisa disaksikan oleh mata telanjang, pergerakan mereka begitu cepat hingga sulit membedakan mana Ferus dan mana Redd. Setiap serangan yang diluncurkan membuat tanah di sekitarnya retak, pohon-pohon di sekitar mereka jatuh satu per satu, seolah-olah alam tidak bisa menahan intensitas kekuatan mereka.
Ozky, yang berusaha melihat pertarungan itu, hanya bisa menyaksikan puing-puing yang berjatuhan. Napasnya semakin berat, tidak bisa lagi memberikan penyembuhan pada Ferus dalam situasi tersebut. “Apa yang... terjadi di sana?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Redd dan Ferus terus bertarung, saling serang, saling hancurkan, membuat setiap detik mereka semakin mendebarkan.
Di tengah suasana mencekam, Arion menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Adella mendekat, tapi berhenti dengan jarak hati-hati, satu meter darinya dan Ozky. Wajahnya terlihat familiar, tapi entah mengapa, Arion tak bisa mengingat namanya dengan jelas.
“Arion?” Adella berbicara dengan nada ragu, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Arion siaga.
“Ya?” Arion menatapnya, berusaha mengingat kembali, namun ingatannya samar. Wajahnya terasa akrab, tapi nama gadis itu menguap dari benaknya.
“Kukira kau tidak mengikuti inisiasi ini.” Suaranya datar, meskipun nadanya ramah, namun ada semacam kecurigaan yang tersembunyi di balik senyum tipisnya.
“Kenapa aku tidak ikut?” Arion bertanya, matanya menyipit, mencoba mencari tahu maksud dari kata-kata itu. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Tidak, bukan apa-apa.” Adella tersenyum kecil. “Aku hanya ingin minta maaf.”
“Untuk apa?” tanya Arion, tatapannya semakin dalam, mengamati tiap gerakan gadis itu dengan saksama.
Tiba-tiba, Nagi, sosok aneh dengan aura yang menyeramkan, muncul di belakang mereka. Wujudnya seperti bayangan Aretha, tapi jelas bukan dirinya yang asli. Nunchaku melayang di udara, bersiap menghantam kepala Arion. Hanya Ozky yang menyadari bahaya itu terlebih dulu.
“Awas!” Ozky berteriak sambil menarik Arion menjauh, menghindari pukulan mematikan yang nyaris menghantam tengkoraknya.
Arion tersentak mundur, wajahnya terkejut. “Aretha?” gumamnya dengan dahi berkerut, tatapannya berubah bingung melihat sosok itu.
“Dia bukan Aretha,” jelas Ozky cepat, napasnya berat setelah menolong Arion. “Itu Nagi, bilokasi Aretha. Kemampuan itu punya wujud dan jiwa sendiri.”