Pusaran angin yang dibawa oleh tornado Parveen akhirnya mereda, menjatuhkan puing-puing dengan kasar ke segala arah. Sosok Parveen muncul dari balik puing seperti aktor di atas panggung saat tirai baru dibuka—tegap, penuh percaya diri, dan memancarkan kekuatan yang luar biasa. Udara di sekitarnya berdenyut dengan energi Psikokinetik, menekan ruang di sekitarnya, membuat siapa pun yang ada di dekatnya merasakan ketegangan yang luar biasa. Tapi alih-alih mengarahkan perhatiannya pada Marchioly yang menjulang di kejauhan, tatapan tajamnya langsung tertuju pada Arion, yang tergeletak babak belur di tanah akibat serangan brutal dari Nagi.
Arion tampak menyedihkan di mata Parveen—seorang bocah lemah tanpa kemampuan yang bahkan berani memasuki inisiasi ini. Di wajah Parveen, seringai muncul, seolah-olah menahan tawa keras yang bisa meledak kapan saja. Baginya, pemandangan ini benar-benar menggelikan.
Namun, tidak ada tawa di mata Nagi. Berbeda dengan Aretha yang biasanya ramah dan terkendali, sosok bilokasi Nagi tampak begitu berbahaya dan memancarkan kebencian yang mutlak, terutama terhadap Parveen. Tatapan mata tajamnya menyiratkan peringatan, bahwa ia siap menghadapi apa pun yang akan dilakukan Parveen. Sementara itu, Arion, yang masih mencoba bangkit dari rasa sakit, menatap Parveen dengan kilatan aneh di matanya, meski tubuhnya sudah terhuyung.
“Sampai dihajar perempuan begitu... Kau ini memang lemah,” ejek Parveen, seringai jahat kembali muncul di wajahnya saat ia mendekat ke arah Arion.
Setiap langkah Parveen diiringi oleh udara yang menebal, seolah atmosfer di sekitarnya menjadi padat dan berat. Arion merasa seolah paru-parunya diperas, napasnya tersendat, dan dadanya mulai berdenyut nyeri. Bahkan Nagi, yang selama ini tampak tak terpengaruh oleh apa pun, sedikit menundukkan kepala, merasakan kewaspadaan tajam terhadap kekuatan luar biasa Parveen. Aura mengancam yang dipancarkan Parveen berbeda dari apa pun yang pernah mereka hadapi—bahkan lebih intens dari ancaman Redd dan entitas lainnya.
Adella, yang berdiri tak jauh dari sana, bisa merasakan tekanan itu juga. Parveen bukan hanya sedang marah, dia benar-benar berada di ujung batas, seolah-olah siap untuk membunuh siapa pun yang berani menantangnya.
“Parv, kau salah jalan,” kata Adella dengan suara gemetar, berusaha terdengar tegas meski rasa takutnya tak bisa disembunyikan. Tatapan matanya penuh kecemasan saat melihat Parveen semakin mendekat ke arah Arion alih-alih menuju Marchioly.
Namun, Parveen hanya mengangkat sebelah alisnya dan melemparkan senyum dingin. “Bukankah ini tahap perburuan antar kelompok?” Suaranya terdengar rendah, hampir berbisik, namun sarat dengan ancaman.
Arion merasakan sesuatu yang dingin merayap di sepanjang tulang belakangnya, membekukan tubuhnya. Dia mencoba bergerak, namun rasanya mustahil. Parveen semakin dekat, aura mematikannya semakin kuat, membuat jantung Arion berdegup kencang dalam ketakutan. Ini bukan lagi sekadar kompetisi. Bagi Parveen, dia adalah mangsa yang harus dibinasakan.
Sementara itu, jeritan Marchioly menggema dari kejauhan, tapi suara itu bahkan tak mengalihkan perhatian Parveen. Fokusnya tetap terpusat pada Arion, bocah yang dianggapnya tak pantas berada di sini.
“Kau tinggal di rumah Pak Aston, padahal kau bukan bagian dari kami,” geram Parveen, matanya penuh kebencian. Dengan kekuatan Psikokinesis-nya, ia mengangkat sepotong puing besar yang tergeletak di dekatnya. Puing itu melayang di udara dengan akurasi mematikan, siap dilemparkan ke arah Arion.
“Apa maksudnya?” tanya Arion dengan ekspresi penuh kebingungan.
Dan sekejap kemudian, puing itu meluncur deras, menghantam ke arah Arion dengan kekuatan yang mengerikan.
Dentuman keras terdengar, disusul oleh kepulan asap yang langsung membutakan pandangan. Suasana mendadak sunyi, hanya diisi oleh suara angin yang berhembus pelan, membawa debu dan puing kecil ke udara. Untuk sesaat, semua orang yang menyaksikan berhenti.
Dari atas dinding labirin, Zain menyaksikan kejadian itu dengan seringai tipis di bibirnya, jelas menikmati apa yang sedang terjadi. Meski berdiri agak jauh, dia bisa merasakan intensitas serangan Parveen. “Parveen akan benar-benar kehabisan energinya,” gumamnya, tertawa kecil, matanya menyipit, mencari celah dalam pertarungan ini untuk mengambil keuntungan. Zain tak punya niat untuk ikut campur—belum, setidaknya.
Asap perlahan mereda, dan sosok Arion terlihat dari balik kepulan itu, terbaring bersimbah darah, puing itu tampak hancur tercecer di dekat Arion. Butiran keringat dingin memenuhi dahi Ozky, tubuhnya sedikit berguncang saat dia memfokuskan seluruh energinya untuk menyembuhkan Arion yang kini terkapar, terengah-engah dengan luka parah yang menghancurkan tubuhnya. Luka-luka yang dideritanya terlalu banyak, tapi Ozky tak menyerah. Energi penyembuhan yang dipancarkannya menyelimuti tubuh Arion dalam cahaya lembut, menghangatkan, meski prosesnya terasa sangat lambat karena parahnya kondisi Arion.
Namun, Parveen tidak buta terhadap apa yang sedang terjadi. Dia bisa merasakan fluktuasi energi penyembuhan di udara, dan tanpa menoleh, dia tahu persis dari mana itu berasal. Senyum miring mulai terbentuk di wajah Parveen yang dingin. Ia berbalik sedikit, menatap Ozky dengan tatapan penuh kekejaman. Dari sudut matanya, Ozky melihat puing-puing dinding labirin mulai melayang di udara di belakangnya, bergerak seolah-olah mereka menunggu momentum yang pas untuk menyerang.
“Ozky!” Calvin berteriak dari kejauhan, suaranya penuh kepanikan. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebagai bagian dari kelompok nomor 12, Calvin sadar bahwa jika mereka ikut campur dan menyerang Parveen, hasilnya hanya akan berujung pada kehancuran mereka sendiri. Tidak ada yang bisa menandingi Esper Psikokinesis.
Namun, teriakan itu terlambat.
Ozky memelotot saat ia merasakan getaran dari puing-puing yang melayang di sekitarnya. Waktu seolah melambat, setiap detik terasa memanjang dalam keputusasaan. Parveen hanya menggerakkan jarinya sedikit, dan seketika, puing-puing dinding itu meluncur ke arah Ozky dengan kecepatan mematikan.
BAM!
Hantaman keras itu begitu cepat dan brutal, seolah-olah dunia menghantamnya tanpa belas kasihan. Tubuh Ozky terseret beberapa meter ke belakang, sebelum akhirnya ambruk ke tanah dengan darah mengucur dari beberapa bagian tubuhnya. Energi penyembuhan yang sedang ia alirkan pada Arion langsung terhenti, seiring dengan nyawanya yang perlahan surut. Kepulan debu dan serpihan kecil mengudara, menyelimuti Ozky yang tak bergerak lagi.