The Classeirs

L. Blue
Chapter #27

CHAPTER 14 (Part 2)

Ferus dan Redd terdiam, berdiri memunggungi satu sama lain dengan tatapan waspada. Ada sesuatu yang aneh di sekeliling mereka, sesuatu yang tidak terungkap tetapi terus mendesak naluri bertahan hidup mereka. Hujan deras memperpendek jarak pandang, membasahi tanah dengan ketukan monoton, tetapi tidak cukup untuk menutupi rasa ancaman yang menggelayut di udara. Tidak ada lagi entitas yang menyerang, tidak ada tanda-tanda serangan berikutnya, dan justru itulah yang membuat mereka semakin waspada.

Sayup-sayup, Redd bisa mendengar suara erangan pelan dari Cerberus yang terpenggal, sedangkan Ferus mendengar desisan samar dari Dondodox di kejauhan. Di balik hujan, keduanya merasakan kehadiran sesuatu, sesuatu yang mengawasi mereka dengan intensitas yang mengerikan. Sensasi tak terlihat ini membuat seluruh tubuh mereka tegang, siap menghadapi apapun yang akan menyerang dari bayang-bayang hujan.

Dari sudut matanya, Ferus menangkap kilatan hitam dan putih yang sekilas menggaris di udara, seperti seutas kain yang berkibar lembut sebelum lenyap begitu saja. Naluri Ferus segera merespons. Dia mengepalkan kedua tangannya, memasang kuda-kuda, otot-otot tubuhnya mengencang, bersiap menerima serangan mendadak. Di belakangnya, Redd berdiri tegak, tubuhnya sedikit gemetar. Bukan karena takut, melainkan insting Juggernaut-nya berbisik bahwa sesuatu yang sangat berbahaya mendekat, memancarkan aura kematian yang merasuk ke tulang.

Ujung bibir Redd terangkat, seulas senyuman menyeringai saat dia melihat siluet samar di balik tirai hujan. Sosok itu berdiri membungkuk, kedua tangan terkulai di sisi tubuhnya, bagai predator yang mengintai mangsa. Namun, senyum Redd memudar ketika sosok itu tiba-tiba menghilang—atau lebih tepatnya, bergerak terlalu cepat, hampir tidak terlihat, mengelilingi mereka dengan kecepatan mengerikan.

Ferus dan Redd berputar serempak, masih saling memunggungi, mengikuti gerakan kilat sosok misterius itu. Masing-masing merasa jantung mereka berdegup semakin kencang, ketegangan merambat di antara mereka seperti arus listrik yang siap meledak kapan saja.

Kemudian, tanpa peringatan, sosok itu muncul tepat di sisi Ferus—hanya dalam sekejap mata. Tangan bercakar tajam milik sosok itu sudah teracung di samping wajah Ferus, siap menebasnya dengan kecepatan mematikan. Jantung Ferus berhenti sejenak, waktu seakan melambat saat dia melihat cakar itu bergerak dalam satu garis yang pasti ke arahnya. Dia tak punya waktu untuk menghindar.

Namun, di saat yang kritis, Redd bertindak. Dengan kekuatan luar biasa, dia mendorong Ferus dengan punggungnya, menyelamatkannya dari serangan fatal itu. Keduanya terjatuh keras ke tanah yang becek. Ferus langsung bangkit dengan cepat, tetapi Redd tetap di tempatnya, napasnya berat. Di hadapannya, tergeletak sebuah tangan—tangan yang terpotong rapi sampai ke sikut, Redd melirik ke lengannya sendiri.

“Tampaknya kau berniat membunuh kami,” ucap Redd dingin, bangkit perlahan dari tanah dengan setengah lengan kirinya yang hilang, darah menetes deras dari tempat di mana lengan itu seharusnya berada. Namun, meski terluka parah, tatapan Redd penuh dengan tekad, tidak ada sedikit pun tanda menyerah di matanya.

Di depan mereka, telah terungkap sosok Arion—atau setidaknya, sosok yang dulu dikenal sebagai Arion, berdiri layu. Ferus memandangnya dengan campuran keterkejutan dan rasa sakit yang mendalam.

“Ari...” Ferus berbisik pelan, suaranya gemetar. Tatapan matanya terpaku pada Arion, tetapi sosok di hadapannya terasa asing, jauh lebih berbahaya dan menakutkan daripada ancaman yang pernah dia hadapi sebelumnya. Orang ini, dengan tatapan kosong yang memancarkan kegelapan, tidak lagi seperti teman yang ia kenal.

“Tidak... kau bukan Arion,” bisik Ferus, menolak kenyataan di depannya. Hatinya tidak bisa menerima apa yang dilihatnya. “Arion... Arion tidak seperti ini. Dia tidak akan pernah menyerang temannya!”

Namun, Arion tidak menjawab. Napasnya menderu, tatapannya kosong dan hampa seperti boneka yang digerakkan oleh kekuatan yang tak terlihat. Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatinya, sebuah pertempuran sengit sedang terjadi—Arion bertarung dengan dirinya sendiri. Di satu sisi, ada dirinya yang lama, yang ingin menghentikan semua ini, yang tak ingin menyakiti teman-temannya. Namun di sisi lain, ada dirinya yang baru, dipenuhi oleh ego dan kekuatan gelap yang terus berbisik bahwa mereka semua harus dimusnahkan, bahwa hanya ada satu pemenang dalam dunia ini. Hanya ada satu pemenang.

Ferus menatap sepasang tangan Arion yang berubah menjadi sepuluh cakar tajam, tiap bilahnya berkilat tajam seperti pisau yang diasah hingga sempurna. Jemari itu gemetar, seolah ada keraguan dalam hati Arion.

Arion mendongak perlahan, matanya menatap ke atas. Bola mata Marchioly masih menggantung jauh di atas, terus mengawasinya dengan diam. Keberadaan entitas abadi itu seakan menarik Arion lebih dalam ke kegelapan, memaksa tubuh dan pikirannya untuk tunduk pada kehendak yang tak dia pahami sepenuhnya.

Namun saat dia kembali menatap Ferus, keraguan melintas di wajahnya. Ada momen singkat, sekejap mata, di mana sesuatu yang lama dan dikenal muncul dalam tatapan Arion—seolah ada bagian dari dirinya yang masih ingin melindungi teman-temannya. Namun, segera setelah itu, bayangan gelap kembali menguasai dirinya.

Ferus berdiri membeku, kedua tangannya masih gemetar, matanya terbelalak memandang Arion yang kini berubah menjadi sosok yang tak lagi dikenalnya. Monster—itulah satu-satunya kata yang terlintas di kepalanya.

“Jangan lengah!” Suara Redd menggema di tengah hujan deras, tubuhnya bergerak cepat, dan tinjunya menghantam wajah Arion tepat beberapa senti dari wajah Ferus yang masih terpaku dalam lamunan. Ferus tersentak, matanya memelotot, tatapan penuh syok itu jelas mencerminkan kebingungan dan kekecewaan yang kini membanjiri pikirannya. Di bola matanya, pantulan Arion dan Redd beradu, bayangan dua orang yang kini terjerat dalam pertarungan mematikan.

“Kau pikir aku akan jadi lemah hanya karena kehilangan satu tangan?” gertak Redd dengan nada penuh ancaman, suaranya keras dan kasar, tiap kata menggema dengan intensitas yang membuat suasana semakin mencekam. Arion tak menjawab, hanya matanya yang menggelap, tatapan kosong yang tak lagi menunjukkan sisa-sisa kemanusiaan yang pernah dia miliki.

Arion menegangkan otot-otot tangannya, cakarnya mengayun liar ke arah kepala Redd seperti binatang buas yang terpojok. Setiap gerakan cakar itu nyaris tak terlihat, hanya meninggalkan jejak samar di udara. Redd berhasil menghindar dengan kecepatan luar biasa, napasnya terengah, berkonsentrasi penuh. Namun tiba-tiba, Arion mengubah serangannya. Dengan brutal, tulang-tulang tajam mencuat dari lututnya, bergerak ke arah bawah untuk menusuk perut Redd, tetapi Redd sudah membaca serangan itu dan melompat mundur pada detik terakhir.

“Fokus, kawan!” Redd berteriak, matanya menatap tajam temannya yang masih tampak ragu. “Yang ada di depan kita sekarang bukan lagi Arion yang kau kenal. Dia adalah musuh, musuh yang berniat membunuh kita.”

Ferus mengatupkan rahangnya, hatinya bergolak mendengar kata-kata Redd. “Musuh... ya?” gumam Ferus pelan. Ia menatap Arion yang sekarang berubah menjadi monster yang sama sekali tak dikenalnya. “Ari, sejak awal aku menganggapmu sebagai temanku. Aku tak pernah ingin memusuhimu... tapi kali ini....” Napasnya tertahan sejenak, “Kau bukanlah Arion. Kau monster.” Suaranya berubah dingin, tatapan matanya kini penuh kekecewaan yang tak dapat disembunyikan. Tangannya mengepal erat, tapi dia ragu, tubuhnya enggan menyerang.

Namun, dia tahu, jika dia tidak bertindak, nyawanya mungkin akan hilang di tangan temannya sendiri.

Lihat selengkapnya