Parveen menatap dingin, menyaksikan Arion yang mengerang kesakitan di udara, tubuhnya terjerat dalam cengkeraman Psikokinesis yang kuat. Darah keluar dari mulut Arion, memercik di udara setiap kali dia berusaha bernapas, suaranya mirip makhluk buas yang terperangkap dalam jebakan berduri. Parveen bisa melihat mata Arion yang kosong, tapi sesuatu yang aneh terjadi—pupil merah kecil muncul di salah satu mata Arion, bergerak liar di antara jeritan dan rontaan. Cakar-cakar di kedua tangannya muncul kembali, mencakar udara dengan panik, meskipun itu hanya upaya sia-sia untuk membebaskan diri.
Di bawah kekuatan Parveen, kedua tangan Arion terbuka lebar, terentang oleh kekuatan tak kasat mata, meregangkan tubuhnya seakan-akan Parveen hendak membelahnya menjadi dua. Jeritan Arion semakin keras, bergetar di tengah hujan deras yang menghantam tanah. Suara erangan tertahan itu terdengar asing, bukan suara Arion yang biasa. Ada sesuatu yang berubah, lebih menyerupai makhluk asing yang berteriak dari kedalaman neraka.
“Kau akan berakhir di tanganku,” gumam Parveen dengan nada dingin, meski matanya tampak sayu karena kelelahan. Di satu sisi, ia merengkuh tubuh Aretha yang terkulai lemah dalam pelukannya—seperti bayi yang tertidur dalam gendongan ibunya—namun di sisi lain, matanya memancarkan kebencian yang nyaris tak terbendung.
Arion mendadak terkulai di udara, tubuhnya yang tadinya meronta kini terdiam sejenak, seperti boneka yang kehilangan benangnya. Kepalanya tertunduk, darah mengalir dari mulutnya, menciprat di tanah yang kini dipenuhi genangan air. Untuk sesaat, Parveen mengira itu adalah akhirnya. Hujan terus mengguyur, tetapi Parveen tak bergerak. Dia hanya memperkuat cengkeramannya pada tubuh Arion, perlahan menambah tekanan pada setiap sendi, berniat menghancurkannya tanpa sisa.
Namun, tiba-tiba, kepala Arion terangkat kembali. Mata kanannya tetap tertutup, darah merembes keluar, namun mata kirinya yang kini kembali normal menatap Parveen dengan kebingungan yang jelas. “Apa yang terjadi?” Arion bertanya, suaranya lemah dan serak. Kebingungan terpancar dari tatapannya.
Parveen terdiam, menatap balik dengan kerutan di dahi. Apa ini? Ada keraguan sejenak yang melintas di benaknya, tapi hanya sesaat. Wajahnya kembali mengeras, amarah kembali memenuhi ekspresinya.
“Aku takkan tertipu dengan drama ini,” ucap Parveen dengan nada penuh kebencian. “Kau pikir aku bodoh? Kau kira bisa mempermainkanku? Kau berniat balas dendam dengan melukai Aretha, bukan?” Tuduhannya keluar seperti tembakan peluru, dan cengkeraman psikokinetiknya semakin kuat.
Arion menggelengkan kepalanya lemah, matanya masih tampak bingung. “Tidak… tidak, aku… aku tidak mengerti. Ozky… di mana Ozky?” Arion terlihat lebih sadar, suaranya kini lebih jelas meskipun penuh kesakitan. “Aku seharusnya menyelamatkan Ozky… di mana dia?”
Parveen tersentak, namun kebenciannya tak surut. “Temui dia di akhirat.” Suaranya terdengar dingin dan final. Tanpa ragu, Parveen membalikkan tubuhnya, meninggalkan Arion yang semakin tersiksa di udara, tubuhnya kini tertarik makin kuat oleh kekuatan Parveen, meregang lebih keras hingga terdengar tulang-tulang berderak.
Arion menjerit kencang, suaranya memecah badai dan menggema di antara raungan hujan. Jeritan itu semakin keras, semakin putus asa, dan suara itu bukan lagi suara orang asing. Itu suara Arion yang sebenarnya—suara yang selama ini dikenal. Jeritan itu begitu kuat, begitu menyakitkan, hingga terdengar oleh Ferus yang tak jauh dari tempat kejadian.
Ferus berhenti bergerak seketika. Dia berbalik, matanya mencari-cari asal suara itu. “Arion?” gumam Ferus dengan nada tak percaya, suaranya hampir tersendat. Itu suara Arion, tak diragukan lagi, tapi ada sesuatu yang salah. Jeritan itu penuh penderitaan, penuh kepiluan.
Di antara hujan yang semakin deras, Ferus mulai berlari ke arah asal suara itu, menyadari bahwa seseorang ada di sana—dan dia tahu apa yang sedang terjadi. Jeritan Arion tak kunjung berhenti, semakin menusuk setiap detik yang berlalu.
Mata Ferus dan Parveen bertemu dalam sepersekian detik yang terasa panjang. Namun, Parveen tidak terlalu peduli—dia hanya melangkah melewati Ferus dengan wajah tanpa ekspresi, seolah-olah Ferus hanyalah sosok remeh yang tak layak diperhatikan. Sebelum Parveen bisa berjalan terlalu jauh, tangan Ferus yang terluka parah, telapaknya menganga, mencengkeram bahu Parveen, menghentikan langkahnya.
“Hei,” ucap Ferus dengan nada rendah namun sarat dengan kemarahan yang terpendam. “Kau yang melakukan ini pada rekanku, bukan? Menghajar mereka sampai babak belur. Kau membuat Arion dan Ozky sekarat.” Matanya menyala dengan ancaman, kesakitan di tangannya tak lagi terasa, tertutupi oleh dorongan untuk mendapatkan jawaban.
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu,” Parveen membalas dingin. Dia menggerakkan bahunya secara tegas, berusaha melepaskan cengkeraman Ferus. Kedua mata mereka kembali bertemu—tatapan mereka seperti dua pedang yang saling beradu, memancarkan kilatan api.
“Maaf saja, tapi kurasa hatimu lebih kotor daripada tanganku,” sindir Ferus tajam. Kalimat itu bukan hanya balasan, tapi juga serangan langsung yang menghantam harga diri Parveen.
Parveen memicingkan mata, rahangnya mengeras karena tersinggung. “Kau ingin kuhabisi seperti Arion dan Ozky?” suaranya rendah, namun penuh ancaman yang nyata. Tangan kanannya mengepal, seolah-olah siap menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Ferus hanya tersenyum tipis, tapi ada kegelapan di balik senyuman itu. Harga dirinya sebagai Juggernaut terpanggil oleh ancaman Parveen, memicu hasrat untuk bertarung yang tersembunyi dalam dirinya. “Oh, ya?” balasnya singkat, tapi matanya menantang dengan penuh keyakinan, seolah-olah berkata “Coba saja.”
Tapi sebelum Parveen sempat merespons lebih jauh, tanah di bawah kaki mereka bergetar. Getaran itu semakin kuat, hingga debu dan kerikil bergetar di tanah. Mereka mendongak, refleks mencari sumber getaran itu, dan di hadapan mereka berdiri sosok yang menjulang tinggi—Marchioly. Entitas abadi itu sudah sangat dekat, tak lebih dari beberapa puluh meter dari tempat mereka berdiri. Teriakan keras keluar dari mulut Marchioly, memekakkan telinga, menggema di udara, membuat Ferus tersadar dari ketegangan sebelumnya.
“Arion!” Ferus tiba-tiba teringat. Tanpa membuang waktu, dia bergegas meninggalkan Parveen, berlari mencari Arion untuk menyelamatkannya. Parveen, yang masih berdiri dengan sisa amarah yang belum tuntas, menyadari sesuatu—tubuhnya mulai melemah. Energi yang ia lepaskan sebelumnya terlalu besar. Kelelahan mulai menyergap tubuhnya, perlahan-lahan merampas kekuatannya.
Parveen tidak punya pilihan. Dengan napas berat, dia terpaksa melepaskan cengkeramannya pada Arion. Dia harus menghemat energi yang tersisa untuk bertahan. Parveen mulai berjalan secepat mungkin, menjauh dari sang Marchioly yang semakin mendekat. Di sekelilingnya, makhluk-makhluk lain—Dondodox, Wrym, dan Cerberus—mulai muncul kembali, menciptakan lingkaran ancaman yang menakutkan. Parveen memejamkan mata sejenak, menggoyang-goyangkan kepalanya. Dia tidak boleh menyerah sekarang. Dia harus bertahan, meskipun tubuhnya mulai memberontak kelelahan.
Sementara itu, Arion, yang terbebas dari cengkeraman psikokinetik Parveen, tergeletak di kubangan lumpur, tak berdaya. Luka-luka di tubuhnya kembali tampak seperti semula sebelum dia berubah menjadi makhluk buas. Kini, Arion tampak sangat rapuh, jauh dari sosok monster yang dia tunjukkan sebelumnya. Ferus, yang tiba di tempatnya, segera berlutut di sisi tubuh Arion.
“Arion!” panggil Ferus panik. Dia membalikkan tubuh Arion yang telungkup, memeriksa luka-lukanya dengan napas terengah. Tubuh Arion terasa dingin, lemah, dan seolah kehilangan semua kekuatannya.
“Ayo, kita harus segera pergi dari sini,” kata Ferus, suaranya penuh urgensi. “Marchioly semakin dekat, kita harus pergi.” Ferus berusaha mengangkat tubuh Arion ke punggungnya, meskipun dia tahu itu akan sulit. “Ayo, Ari. Naik ke punggungku. Kita akan mencari Ozky dulu.”
Arion mengerang pelan, membuka matanya yang tampak kusam. “Ferus... apa yang terjadi? Rasanya... aku seperti bermimpi panjang,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh rasa sakit. “Seluruh tubuhku terasa sakit sekali.”
Ferus menatapnya dengan mata penuh kecemasan, namun Arion menggeleng lemah. “Tinggalkan aku di sini dan pergilah sendirian.” Arion tampak pasrah, tubuhnya begitu lemah hingga tak bisa melawan.
Mendengar kata-kata itu, kilasan masa lalu tiba-tiba menyerang Ferus. Ingatan tentang ibunya yang terbaring sakit di ranjang, sementara gempa bumi mengguncang rumah mereka. Saat itu, ibunya berkata dengan suara lemah: “Pergilah, Ferus. Tinggalkan ibu, selamatkan dirimu sendiri.” Tetapi Ferus, yang saat itu masih lemah, tak mampu membawa ibunya keluar dari rumah yang mulai runtuh. Kenangan tentang reruntuhan yang mengubur ibunya hidup-hidup kembali muncul di benaknya, meremas hatinya kuat-kuat.
Ferus menggertakkan gigi, merasakan penyesalan mendalam yang kembali menghantui. Dia tidak akan membiarkan sejarah terulang. Tidak kali ini.
“Tidak, Ari. Aku tidak akan meninggalkanmu.” Dengan tekad bulat, Ferus mengangkat tubuh Arion dengan kedua telapak tangannya yang terluka. Meskipun luka-luka di tangannya masih menganga, dia menahan rasa sakit itu. “Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” bisiknya, hampir kepada dirinya sendiri.