Aston dan Valhalla masih terjebak di dalam labirin ketika guncangan keras tiba-tiba menghentak tanah, hampir membuat mereka kehilangan keseimbangan. Tanah di bawah mereka bergetar seperti dilanda gempa, dan asap tebal mulai membubung ke langit dari arah hutan, bercampur dengan bau hangus yang tertiup angin. Valhalla langsung mendongak, matanya melebar penuh kekhawatiran.
“Oh, tidak...” Suaranya bergetar. “Mereka berusaha melawan Marchioly,” gumam Valhalla, jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia hampir bisa mendengarnya sendiri. Ada campuran ketakutan dan kepanikan dalam suaranya, menyadari apa yang akan terjadi jika para peserta inisiasi mencoba melawan entitas abadi yang mustahil dikalahkan itu.
Di sampingnya, Aston terdiam sejenak. Tatapan matanya yang berwarna violet tajam, beralih ke arah dinding labirin yang sedikit menonjol di dekatnya, seperti sedang merasakan sesuatu yang tak kasat mata di balik labirin. Tiba-tiba, dia mengangkat kedua tangannya, melambai-lambaikan seolah memberi isyarat kepada kekuatan yang tak terlihat, gerakannya tegas dan penuh maksud. Matanya menyipit sedikit, penuh fokus.
Di lapangan utama, Lady Seraphina memperhatikan pergerakan Aston dari proyektor besar yang memancarkan gambar pertempuran langsung di dalam labirin. Seraphina tetap diam, tanpa ekspresi, sementara para siswa resmi yang menyaksikan mulai berbisik-bisik dalam ketakutan dan kecemasan. Inisiasi ini telah menjadi mimpi buruk—lebih buruk dari yang pernah mereka bayangkan. Kematian brutal, darah, dan kehancuran merajalela, membuat para siswa resmi terpaku di tempat mereka duduk.
Wajah Aston diperbesar di layar proyektor, tampak jelas tatapan tajamnya yang penuh maksud, seolah-olah menembus layar. Pandangan matanya, tajam dan menuntut, mengirimkan pesan yang jelas: “Hentikan ini." Namun Lady Seraphina tetap bergeming, tatapan matanya tetap dingin, mengabaikan permintaan yang seolah diteriakkan keras-keras oleh pandangan Aston.
Para pengajar yang juga berada di lapangan hanya bisa terdiam, menyaksikan dengan keprihatinan yang terus tumbuh. Mereka tidak bisa mengerti mengapa Marchioly, entitas yang begitu kuat, bahkan tak terkalahkan sejak pertama kali muncul, dilibatkan dalam inisiasi ini. Seolah mereka baru saja menyaksikan bencana yang tak terelakkan.
Salah satu dari mereka, Rennar Varx, Kepala Departemen Tempur, memandang situasi dengan sorot mata yang penuh pengawasan. Meskipun perempuan, fisiknya yang tegap dan atletis mencolok di antara kerumunan. Rambut pendeknya berwarna tembaga, berantakan seperti terkena listrik, sementara bekas luka bakar di sepanjang lengan kanannya tampak kontras dengan kulit kecokelatannya—luka dari latihan intensifnya dengan elemen api. Matanya, yang kuning keemasan seperti bara yang selalu menyala, memperhatikan dengan teliti setiap detail yang terjadi di proyektor.
Rennar menyipitkan mata saat menyadari bahwa situasi sudah sangat buruk. Dia beranjak dari kursinya dengan gerakan tenang yang cepat, menghilang ke dalam kerumunan tanpa menarik perhatian yang berlebihan.
Kembali di dalam labirin, Valhalla menatap Aston yang berdiri diam, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Mereka takkan mendengarkanmu,” ucapnya lirih, napasnya mulai terasa lebih berat.
Aston menoleh sekilas ke arahnya, wajahnya tetap tenang tapi penuh determinasi. “Aku akan membuat mereka mendengarkanku,” balasnya dengan nada yang tegas, hampir seperti janji.
Ekspresi wajahnya berubah serius, aura main-main dan konyol yang biasanya ia tunjukkan seketika menghilang. Setiap langkah yang diambilnya sekarang seolah dipenuhi dengan kekuatan yang tak kasat mata, membuat kehadirannya terasa semakin besar dan berat, seakan-akan ruang di sekitarnya sendiri tunduk pada kehadiran Aston.
Tanpa peringatan, sebuah pedang rapier muncul dari ketiadaan, pas di genggaman tangannya. Pedang itu berkilau dengan cahaya aneh, tepi bilahnya seolah memudar, hampir transparan di ujungnya, seperti menyatu dengan dimensi di sekitarnya. Aston mengayunkan pedangnya dengan gerakan lembut, tapi hasilnya dahsyat. Desiran angin yang terbelah terdengar tajam di udara, dan detik berikutnya, dinding tebal labirin di hadapan mereka pun ikut terbelah. Labirin yang terbelah itu perlahan runtuh, membuka jalan pintas bagi mereka berdua.
Valhalla menelan ludah, masih terkesima dengan kemahiran Aston. Mereka mulai berjalan melalui celah yang tercipta dari tebasan itu, Aston mengikuti di belakang Valhalla. Di kejauhan, mereka bisa melihat jalur hancur yang jelas adalah bekas serangan tornado dari Parveen, menghancurkan sebagian besar labirin dan langsung mengarah ke hutan.
Aston dan Valhalla mempercepat langkah mereka, mengikuti jalur kehancuran itu. Tak lama kemudian, keduanya bisa melihat dengan jelas Marchioly, entitas abadi yang menjulang tinggi seperti bayangan hitam besar di tengah reruntuhan pepohonan. Matanya—bola mata raksasa yang menakutkan—mengawasi segala sesuatu dengan intensitas yang tidak wajar, seperti predator mengintai mangsanya.
“Dia jauh lebih dekat dari yang kukira,” gumam Valhalla, nadanya tegang. Jantungnya berpacu lebih cepat ketika melihat betapa besar dan menyeramkannya sang entitas abadi itu. Sosok raksasa itu tampak seperti makhluk dari dunia lain, yang kekuatannya tak bisa dijelaskan oleh hukum-hukum alam yang mereka ketahui.
Aston memicingkan matanya saat dia melihat seseorang yang tampak tak asing. Langkahnya langsung berhenti ketika dia mengenali Parveen, yang masih memeluk tubuh Aretha dengan erat. Raut wajahnya langsung berubah drastis, cemas. Tanpa berpikir panjang, Aston segera berlari menghampirinya, rasa khawatir yang mendalam jelas tergambar di wajahnya. Pedang rapier di tangan Aston menguap menjadi asap yang tak kasat mata, menghilang begitu saja ke udara.
Kedua tangan Aston segera menyentuh bahu Parveen, lembut namun tegas, berusaha meneliti kondisi lelaki itu dan mencari jawaban. “Apa yang terjadi?!” Suaranya penuh kekhawatiran, matanya menyapu tubuh Aretha dengan cepat. Kegelisahan kian bertambah saat dia tak mendapati Arion atau yang lainnya di sekitar Parveen. “Di mana Arion?” tanyanya lagi, nada suaranya menjadi lebih tegang, lebih mendesak.
Parveen mengangkat wajahnya perlahan, menatap langsung ke mata Aston. Kedua bola matanya suram, penuh dengan kemarahan yang terpendam dan dendam yang mulai membara. Suasana di sekitarnya mendadak mencekam. “Kenapa kau memperlakukannya berbeda dari kami semua?” tanya Parveen, suaranya gemetar penuh emosi. “Dia tidak seperti kita, dia monster tak beradab!” Parveen melontarkan tuduhannya dengan nada dingin dan penuh kebencian. Kedua tangannya gemetar menahan marah. “Kau bahkan tidak melihat kenyataan! Atau mungkin... dia anak harammu, hasil dari cinta pertamamu?”
Kata-katanya seperti pisau tajam yang menusuk perasaan Aston, menusuk keras ke inti. Di belakangnya, Valhalla tampak tersentak kaget. Dahi Valhalla segera berkerut dalam, tubuhnya bergerak maju, bersiap untuk menghadapi Parveen yang jelas-jelas sudah kelewatan. Kemarahannya mulai memuncak, tapi Aston dengan cekatan menahan Valhalla untuk tetap di belakangnya, menahan tindakannya sebelum semuanya mengeruh.
Valhalla melirik Aston dengan mata yang dipenuhi ketidakpercayaan, tidak mengerti kenapa Aston masih bisa menahan diri dalam situasi ini. Namun akhirnya, Valhalla menghela napas berat, meredam emosinya, meski masih menyimpan amarah yang belum sepenuhnya hilang. Dia menatap Parveen dengan tajam, matanya berbicara bahwa dia tidak akan segan jika ucapan Parveen menyakiti perasaan Aston lebih dalam lagi.
Parveen tahu tindakannya bodoh—sangat bodoh. Dia tidak bermaksud menjadi murid yang kurang ajar, terlebih terhadap Aston, sosok yang sangat ia hormati dan cintai. Baginya, Aston adalah figur ayah yang tak pernah ia miliki. Aston selalu memberikan perhatian yang tulus, walaupun perhatian itu tak eksklusif untuk Parveen. Mungkin itulah yang membuat hati Parveen semakin hancur—perasaan diabaikan. Namun, kenapa? Kenapa Aston begitu peduli pada Arion? Pikiran itu menyiksa dirinya, rasa cemburu dan sakit hati mencelos di dadanya, semakin dalam.
Parveen mengepalkan kedua tangannya erat hingga kuku-kukunya menembus kulit, rasa perih yang dihasilkan adalah pelarian dari rasa sakit yang lebih dalam, yang sedang menggerogoti hatinya. Napasnya semakin berat, tidak mampu menyembunyikan penderitaan batinnya.
Aston, yang melihat semua itu, akhirnya berbicara dengan nada yang jauh lebih lembut dan penuh pemahaman, seperti seorang ayah yang menegur anaknya dengan kasih. “Memang benar, ibu Arion adalah cinta pertamaku. Semua orang mungkin sudah tahu.” Suaranya tenang namun dalam. “Tapi, Nak...” lanjutnya sambil menatap Parveen dengan tulus, “justru karena dia berbeda dari kita semua, dia sangat membutuhkan dukungan dan rangkulan dari orang-orang di sekitarnya. Kitalah yang menjadikannya monster, kita yang gagal memahami dan menerima dirinya. Kalian semua adalah anak-anakku dan aku adalah ayahmu dan ayah mereka, ayah yang tidak terikat darah.”
Aston membungkukkan tubuhnya sedikit, menjaga kontak mata dengan Parveen yang terlihat rapuh meski mencoba menutupi kelemahannya. “Nah, sekarang mari kita selamatkan gadis kecilmu dulu, oke?” tuturnya dengan lembut, mencoba memulihkan fokus Parveen yang penuh dengan amarah dan rasa bersalah.
Mendengar kata-kata Aston, Parveen menunduk sejenak, tak mampu menahan tetesan air mata yang jatuh. Dia menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang tak terkatakan. Perlahan, dia mengangguk dengan kaku, tetapi Aston tahu bahwa anak itu tengah berjuang melawan perasaan campur aduk yang bergelut di hatinya.