The Classeirs

L. Blue
Chapter #30

CHAPTER 17

Teriakan mengerikan dari Marchioly kembali menggema, mengguncang tanah dan menghantam udara di sekitar mereka seperti palu raksasa. Suara jeritan itu seperti peringatan dari akhir dunia, memacu adrenalin Aston yang berpacu melawan waktu. Ia terus mengirimkan para peserta inisiasi yang terluka atau kelelahan ke tempat aman. Warp Tagstag kecil buatan Aston—berterbangan di udara seperti bintang jatuh, melesat cepat menuju setiap peserta yang masih selamat, menempel di tubuh mereka dan langsung memindahkan mereka ke ruang penyembuhan atau aula gedung utama. Aston bekerja tanpa henti, menebarkan tag lebih banyak dari biasanya, mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyelamatkan siapa pun yang bisa ia jangkau.

Sementara itu, Valhalla mulai mengaktifkan domain Netralisasinya—sebuah kekuatan yang mampu memblokir serangan entitas-entitas asing dan melemahkan mereka dari jarak jauh. Jaraknya dari Aston cukup jauh, dan Valhalla berusaha keras agar domain Netralisasinya tidak mengenai sahabatnya itu. Namun, ia tahu ini bukan tugas mudah. Napasnya berat, ia mencoba menenangkan pikirannya, fokus pada batas domainnya agar tidak meluas tanpa kendali.

Saat domain Netralisasi Valhalla mulai aktif, udara di sekitarnya berubah. Ujung mantel dan rambutnya tampak terangkat perlahan, seolah gravitasi di tanah di bawahnya mulai menghilang. Cahaya aneh—sebuah kilau lembut, samar—melesat dari titik di mana Valhalla berdiri, membentuk pola-pola poligon rumit di udara yang meluas dengan kecepatan stabil. Seiring domain itu meluas, sapuan angin lembut mengikuti, seperti bisikan halus dari kekuatan yang tak terlihat.

Namun, yang mengejutkan Valhalla adalah bagaimana domainnya, yang seharusnya menyentuh Aston karena dia gagal mengendalikannya, membentuk lekukan tiga meter di sekeliling sahabatnya. Mata Valhalla membelalak. Bagaimana mungkin?

Valhalla menyadari bahwa Aston sedang menggunakan kekuatan miliknya—menciptakan perisai tak kasat mata yang melindungi dirinya dari efek domain Netralisasi. Lebih dari itu, Aston telah menciptakan domain Imajiner ganda—sebuah teknik luar biasa di mana Aston tidak hanya melindungi dirinya sendiri, tetapi juga membantu Valhalla mengatur batas domain Netralisasinya. Domain itu terkoordinasi dengan sempurna, tidak hanya mencegah efek netral dari mengenai Aston, tetapi juga melindungi Esper lain yang berada di luar domain inisiasi. Valhalla menatap sahabatnya dengan penuh kekaguman—Aston selalu punya cara untuk mendukungnya tanpa banyak bicara.

Di tempat lain, suara samar terdengar memanggil nama Zain. Zain, yang sejak tadi terjebak dalam lamunan karena tekanan luar biasa, seketika tersentak kembali ke realitas. Dia berbalik cepat dan pemandangan yang dilihatnya membuat napasnya tersangkut di tenggorokan—Finn tergeletak di tanah, tubuhnya berlumuran darah, cairan merah menggenang di sekelilingnya. Sebuah pedang dari Wrym—entitas mengerikan yang muncul dari bayang-bayang Marchioly—meninggalkan luka tepat di ulu hati Finn.

Mata Zain melebar, rasa ngeri merambat ke seluruh tubuhnya. “Finn!” teriak Zain, suara penuh amarah dan keputusasaan. Dia berlari mendekati temannya, hatinya seakan tenggelam dalam kesedihan. Namun, Finn, meskipun sekarat, hanya bisa tersenyum kecil. Ia menggelengkan kepalanya pelan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa ini adalah akhirnya baginya. Dengan tangan gemetar, Finn menunjuk ke arah Helena yang kini dikepung oleh Wrym.

Tanpa ragu, Zain langsung bereaksi. Dia mengaktifkan Levitasinya, membuat tubuhnya melesat ke depan secepat angin. Hatinya berpacu, seiring dengan langkahnya yang semakin cepat, berusaha mencapai Helena sebelum entitas-entitas itu melukainya. Setiap langkah Zain membawa beban luar biasa. Jantungnya berdegup kencang, lebih kencang dari sebelumnya, seperti genderang perang yang tak kenal ampun.

Dengan kemarahan yang membara, Zain mengarahkan seluruh kemampuan Gravitokinesis-nya ke kedua kepalan tangannya. Urat-urat tangannya menegang, kulitnya memucat karena konsentrasi energi yang luar biasa besar. Kedua tinjunya kini beratnya setara dengan jutaan ton besi, siap menghancurkan apa pun yang berada di depannya.

Namun, tepat saat Zain hendak menghantamkan tinjunya ke tubuh-tubuh Wrym yang menghalangi jalannya, langkahnya terhenti mendadak. Matanya melebar ketika melihat pemandangan yang tidak terduga di balik entitas-entitas tersebut. Helena—berdiri di tengah kepungan Wrym, rambutnya terurai liar di belakang kepala, memegang sebuah pedang yang entah bagaimana ia dapatkan dari tubuh Wrym.

Yang membuat Zain terkejut bukan hanya karena Helena bertahan, tetapi cara ia bertarung. Di tengah kepungan makhluk-makhluk mengerikan, Helena terlihat... tenang. Lebih dari itu, dia tampak seperti sedang menari, mengayunkan pedangnya dengan anggun, memotong Wrym satu per satu dengan gerakan yang begitu halus, seakan dia mendengar musik yang hanya bisa dia nikmati.

Zain berdiri terdiam, kagum sekaligus bingung, menatap Helena yang seolah sedang mengubah medan pertempuran menjadi panggung tariannya sendiri. Pedangnya berkelebat cepat, setiap gerakannya sempurna dan mematikan. Zain merasakan bagaimana kemarahannya mulai memudar, tergantikan oleh kekaguman yang tak bisa ia tahan. Siapa sebenarnya Helena? Dan kenapa dia terlihat sangat... menikmati semua ini?

Helena bergerak cepat, menghabisi Wrym yang mengelilinginya seperti serigala lapar mengintai mangsa. Setiap gerakan pedangnya nyaris tak terlihat oleh mata biasa, begitu cepat dan anggun. Dalam satu tebasan sempurna, ia memotong salah satu tangan Wrym yang telah menjelma menjadi pedang tajam. Bukannya membiarkan potongan itu jatuh sia-sia, Helena malah menggunakannya sebagai senjata keduanya. Sekarang, dia berdiri di atas kuda-kudanya, kedua pedang—keduanya diambil dari tubuh Wrym—menyilang di depan tubuhnya, siap menghadapi lebih banyak musuh.

Tatapannya dingin dan penuh perhitungan, tapi ada sesuatu yang berbahaya di balik sikap tenangnya, sesuatu yang membuat Zain merinding. Tak pernah dia sangka bahwa Helena, yang selalu terlihat lembut dan anggun, ternyata menyimpan kekuatan luar biasa dan keterampilan bertarung yang sangat mematikan. Dalam hitungan detik, Helena berhasil menjatuhkan lima belas Wrym dengan gerakan halus dan efisien—seperti penari yang memainkan pedangnya dalam ritme yang mematikan.

Zain, yang menyaksikan semuanya dari jarak aman, merasakan sesuatu dalam dirinya berubah. Ada kekaguman yang mendalam saat dia melihat sosok Helena dalam wujudnya yang sejati—seorang pejuang yang tangguh, tak tertandingi dalam pertempuran. Perasaan itu menyelinap perlahan di hatinya, membawa serta kelegaan yang sulit dijelaskan. Dia baik-baik saja, dia lebih dari baik. Aku bodoh sudah mengkhawatirkannya. Zain memaki dirinya sendiri dengan senyum kecil yang terselip di sudut bibirnya. Tatapannya melembut, tak pernah sekalipun ia melepaskan pandangannya dari Helena.

Tiba-tiba, sebuah pedang melayang hanya beberapa milimeter dari daun telinga kanannya, menciptakan jejak angin yang tajam di kulitnya. Jantung Zain berdegup kencang, tubuhnya menegang. Ia tertarik dari lamunannya dengan cepat, matanya membelalak hanya untuk mendapati Helena berdiri di depannya dengan senyum setengah mengejek. Pedang yang baru saja melayang itu kini tertancap sempurna di kepala Wrym yang berdiri di belakang Zain, menyelamatkan nyawanya.

“Hati-hati atau kau akan mati.” Helena mengejeknya dengan senyum tipis di bibir, seolah kejadian barusan adalah sesuatu yang sepele.

“Tentu saja,” Zain membalas dengan nada tak acuh, mengedikkan bahu seakan apa yang baru saja terjadi tidak terlalu mengganggunya. Namun, rasa deg-degan di dadanya belum juga hilang.

Helena, tanpa aba-aba, melakukan hal yang sama lagi—kali ini, mata pedang yang ia lemparkan mengiris tipis permukaan daun telinga kiri Zain. Zain terkesiap, tubuhnya seketika menegang lebih kuat dari sebelumnya. Dia berbalik cepat untuk memastikan apa yang baru saja diserang Helena, namun yang dilihatnya hanyalah udara kosong. Tidak ada Wrym atau entitas lain di belakangnya.

“Kau!” Zain menatap Helena dengan mata membelalak, suara keterkejutannya terdengar jelas.

Lihat selengkapnya