Aston bisa mendengar detak jantungnya bergemuruh, memukul-mukul dinding dadanya seperti palu yang berat. Dia tahu, di saat genting seperti ini, satu detik yang terbuang bisa mengubah segalanya—dan sayangnya, dia tidak punya waktu untuk menyelamatkan kelompok Zain. Jantungnya membara, sementara pikirannya berpacu, mencoba mencari solusi yang tepat dalam tekanan yang nyaris menghancurkan ketenangannya.
Dari udara kosong, busur besar tiba-tiba muncul dalam genggamannya, terasa mantap di tangan. Dengan cepat, Aston memusatkan perhatiannya pada lidah panjang yang menyerupai tentakel menjijikkan, mencoba menggapai Helena dari kejauhan. Saat dia menarik tali busur dan menyiapkan anak panah yang mewujud dari kehampaan, teriakan parau seorang perempuan memecah konsentrasinya.
Aston terdiam sejenak, kepalanya menoleh cepat, mencari asal suara. Di kejauhan, dia melihat Adella berlari terseok-seok, darah membasahi tubuhnya, sementara di belakangnya, seekor Cerberus besar mengejarnya dengan mata penuh kebencian dan nafsu untuk membunuh. Tanpa berlama-lama, Aston mengarahkan busurnya ke arah Cerberus, matanya tajam dan penuh perhitungan.
Namun, sebelum dia sempat menembakkan anak panah, sekelebat bayangan muncul dari sudut matanya. Dondodox merayap di tanah dengan kecepatan mengerikan, mendekatinya dari belakang. Sebelum Aston bisa bereaksi, makhluk itu melompat dengan mulut menganga, siap menenggelamkan racunnya ke tubuh Aston.
Waktu seakan melambat. Aston hanya melirik sedikit ke belakang, matanya membelalak saat menyadari bahaya yang mengancam nyawanya. Dia tahu—ini mungkin akhirnya. Dondodox itu sudah terlalu dekat. Tak ada banyak waktu, pikirnya.
“Pak Aston!” Teriakan Helena menggema, matanya membulat sempurna melihat darah bersemburan di udara, mengotori setiap inci dari pandangannya. Kenangan ucapan Zain terngiang di benaknya, “Prekognisimu bisa saja salah." Dalam kepanikan dan ketakutan, pupilnya gemetar. Di balik darah yang melayang di udara, Helena melihat sesuatu yang ganjil.
Di sana, berdiri Aston—lalu sesuatu yang tak terduga terjadi. Punggung Aston seolah membelah dan dari sana muncul sosok bayangan dirinya sendiri, sebuah ilusi yang tampak nyata dengan pedang rapier di tangan. Dalam satu gerakan cepat, ilusi itu mengayunkan pedangnya, memotong tubuh Dondodox menjadi dua tepat saat makhluk itu melayang di udara, menyemburkan darah yang membasahi tubuh Aston. Ilusi itu tampak hidup, seperti bayangan yang berlawanan arah, bertindak sebagai perpanjangan dari dirinya yang bertempur dengan gaya mematikan.
Tanpa ragu, Aston menarik kembali busurnya, mengarahkan anak panah ke lidah sang Marchioly yang menjulur ganas. Di saat yang sama, ilusi di punggungnya memutar pedang rapier dalam gerakan melingkar, mengarahkan ujungnya ke Cerberus yang mengejar Adella. Dua serangan dalam satu gerakan, melesat dalam presisi mematikan. Anak panah menembus lidah Marchioly, memutusnya hingga bergetar seperti ular yang terluka, sementara pedang rapier menancap kuat di tengkorak-tengkorak Cerberus, menembus ketiga kepalanya hingga makhluk itu terhempas ke pepohonan, mati tanpa sempat mengeluarkan erangan terakhir.
Setelah memastikan serangannya berhasil, Aston menarik napas dalam, menghilangkan ilusi di punggungnya. Dia mengeluarkan Warp Tag dari sakunya dan melemparkannya ke arah Adella. Dalam sekejap, Zain, Helena, dan Finn menghilang dari tempat itu, berpindah ke aula utama. Finn dikirim langsung ke ruang penyembuhan, disusul oleh Adella yang tampak terluka parah.
Aston menghela napas panjang. Begitu banyak energi yang telah terkuras, namun ia tak menunjukkan tanda-tanda melemah. Sebaliknya, sorot matanya semakin tajam, penuh intensitas. Ia berdiri tegak di tengah kegelapan domain, sendirian, dengan pandangan yang penuh tekad. Perlahan, dia memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya, memberi jeda sejenak untuk mengatur napas. Kemudian, dia menatap ke kiri, tepat ke arah kamera-kamera tak kasat mata yang mengawasi dari kejauhan, terhubung ke proyektor besar di lapangan utama.
Seluruh penonton yang menyaksikan dari proyektor besar di lapangan—termasuk para pengajar, siswa, dan Dewan Pimpinan—membeku di tempat mereka. Tatapan Aston seolah berbicara dengan mereka, menembus layar dan menyampaikan pesan yang jelas, meskipun tak terucap: “Inilah yang akan terjadi jika aku tidak didengar."
Sebuah getaran menguasai tubuh Lady Seraphina. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan rasa takutnya, sesuatu yang sangat jarang terlihat dari dirinya. Merasa tersudut, dia memberi isyarat cepat pada Lord Alaric untuk menghentikan inisiasi. Lord Alaric, tanpa ragu, meraih mikrofon, suaranya terdengar tegang namun terkendali.
“Inisiasi ini dinyatakan batal. Semua peserta yang selamat akan dikumpulkan, dan hasil akan diumumkan segera,” ucapnya singkat. Namun, kalimatnya tenggelam dalam ketegangan di lapangan. Tak ada reaksi dari siswa maupun pengajar yang hadir. Semua mata tertuju pada proyektor, menatap Aston yang kini berdiri sendirian, berhadapan langsung dengan sosok sang Marchioly yang mendekat seperti gunung yang bergerak.
Tatapan matanya penuh keteguhan, seolah menghadapi takdirnya sendiri. Entitas itu tampak semakin kuat, bergetar dengan energi kegelapan yang menguar ke udara di sekeliling mereka. Aston menghela napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang penuh kegelisahan. Dengan suara yang hampir seperti bisikan namun terdengar kuat di dalam domain yang kini terpisah dari dunia luar, Aston mengucapkan kata-kata yang akan membuka teknik pamungkasnya.
“Open Gate; Hexagon,” gumamnya pelan. Tangannya terulur dengan anggun ke arah Marchioly, jemarinya terbuka lemah, seperti mengundang entitas abadi itu untuk mendekat.
Tanah di bawah kakinya mulai bergetar hebat, menciptakan keretakan yang menjalar cepat di sepanjang batas domain. Valhalla, yang menyaksikan dari kejauhan, tersentak, merasakan kekuatan dahsyat yang terpancar dari Aston. Ia segera menonaktifkan domain Netralisasinya, memberi ruang bagi Aston untuk menggunakan seluruh kemampuannya tanpa batasan apa pun.
Perlahan, ujung-ujung runcing dari logam gelap muncul dari tanah, seperti tangan raksasa yang mencakar keluar dari kedalaman bumi. Puncak-puncak runcing itu terus menjulang, membentuk dinding yang kokoh dan gelap, semakin tinggi, semakin mengintimidasi, hingga akhirnya sebuah gerbang besar, kuno, dan penuh ukiran heksagon, terbentuk sempurna di sekitar mereka. Cahaya ungu redup bersinar samar dari ukiran-ukiran itu, berdenyut seperti jantung yang berdegup, memancarkan aura yang membuat udara terasa berat.
Asap hitam pekat tiba-tiba melingkupi seluruh domain Aston, menyelimuti dunia di sekitarnya dalam kegelapan yang tebal dan dingin. Aston terhenti, matanya menyipit, mencoba menembus kabut yang kini menelan sekelilingnya. Asap ini bukanlah hal biasa—udara terasa semakin berat, seperti diliputi aura suram yang meresap hingga ke dalam kulit.
Perlahan, di tengah kegelapan itu, aroma samar mulai menyusup. Sebuah wangi yang tidak asing, lembut dan manis, seolah mengembuskan kenangan yang telah lama terkubur. Dadanya terasa sesak, tenggorokannya menegang, dan seluruh tubuhnya membeku saat aroma itu menggugah ingatan yang selama ini ia usahakan untuk lupakan.
“Ini… tidak mungkin…” gumamnya lirih, suaranya bergetar di antara ketakjuban dan ketakutan. Matanya yang biasanya penuh ketenangan kini berkaca-kaca, tampak rapuh di balik tatapan yang mulai melunak.
Lalu, dari balik kepulan asap, sebuah siluet muncul. Perlahan-lahan, sosok seorang wanita berjalan ke arahnya. Rambutnya perak berkilauan, lebih terang dari bulan purnama, dan wajahnya… ah, wajah itu. Mata biru safirnya yang menatap penuh kasih, bibirnya yang tersenyum lembut—sosok ini tak mungkin salah. Sosok ini tak mungkin hanya bayangan. Itu adalah dia. Arlyn.
“A-Arlyn?” bisik Aston, setengah berharap, setengah tidak percaya. Tubuhnya mulai bergerak dengan sendirinya, maju selangkah demi selangkah. Tangan kanannya terulur gemetar, berusaha menggapai sosok yang terasa begitu nyata. Udara di sekitarnya terasa beku, mengeraskan setiap detak jantung yang berdentam kuat di dalam dadanya.