Matahari kini telah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan jejak-jejak oranye dan ungu di langit yang perlahan pudar. Cahaya dari lampu-lampu The Classeirs menyinari malam, menciptakan bayangan panjang yang menari di tanah. Aston dan Valhalla berjalan menyusuri labirin, pandangan mereka tertunduk saat melewati jasad-jasad para korban inisiasi yang tergeletak di antara reruntuhan. Suasana duka menggantung berat di udara, menekan hati mereka berdua.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Aston, suaranya pelan namun penuh beban.
Valhalla menelan ludah, tatapannya lurus ke depan. "Mencatat jumlah korban, mengoordinasikan evakuasi, dan memastikan tak ada satu pun yang tertinggal," jawabnya dengan nada dingin yang berusaha menutupi kegelisahannya. "Ini tanggung jawabku sebagai Penanggung Jawab Esper. Aku tak bisa mengabaikan ini, Aston."
Aston menghela napas panjang, matanya mengamati sahabatnya dengan sorot prihatin. "Kau bahkan masih bekerja di saat seperti ini? Setelah semua yang terjadi?" nada suaranya menggambarkan kekaguman dan sedikit kesedihan.
Valhalla menghentikan langkahnya sejenak, menatap reruntuhan labirin di depannya. "Aku harus. Kalau tidak, aku takkan pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tahu, membawa Marchioly ke dalam inisiasi ini adalah keputusan yang salah. Seharusnya aku lebih waspada."
"Val, tidak ada yang bisa memprediksi ini," sahut Aston, raut wajahnya berubah serius. Tapi di benaknya, bayangan Lady Seraphina dengan ekspresi dingin terlintas, membuat hatinya terasa perih. "Kecuali jika insiden ini memang direncanakan dari awal."
Valhalla mengerutkan kening, mempertanyakan maksud Aston. "Kau berpikir ada yang sengaja merancang pembantaian ini? Itu... gila."
"Kadang, kenyataan lebih gila dari yang kita kira," balas Aston sambil mengedikkan bahu. Senyumnya tipis, namun matanya menyimpan kekhawatiran yang tak dia ungkapkan.
Valhalla menghela napas berat, tidak ingin memperpanjang pembicaraan itu. "Jangan mulai menuduh tanpa bukti. Kita sudah cukup menghadapi kekacauan ini," katanya tegas. Namun, Aston tahu bahwa Valhalla juga merasakan keraguan yang sama di dalam hatinya, hanya saja dia tak akan pernah mengakuinya.
Aston tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan. "Baiklah, baiklah. Aku akan menunjukkan wajah tampanku ini ke Cello. Kau ikut, kan? Supaya dia tak terlalu khawatir."
Valhalla mendongak, memperhatikan wajah Aston yang bercanda. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya melihat sahabatnya tetap bisa melontarkan lelucon setelah semua yang mereka alami. "Kalau begitu, segeralah pergi, aku masih harus mengurus ini."
Aston terdiam sejenak sebelum tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku tunggu kau di luar labirin. Jangan lama-lama, Val."
Valhalla mengangkat alis, sedikit bingung. "Kau tahu jalan keluar?"
Langkah Aston terhenti, senyumnya berubah kikuk. "Tidak. Tapi aku punya Warp Tags." Dia menggoyangkan kantongnya yang berisi tag itu.
Valhalla mendengus kecil. "Sayangnya, benda itu tak mempan padaku."
Aston tersenyum lelah, meletakkan satu tangannya di dinding labirin dan menyandarkan punggungnya. "Baiklah, aku akan menunggu. Selesaikan tugasmu dan cepat kembali. Dan ingat, kita ini tim."
Cahaya lembut dari lentera yang diciptakan Aston memantul di mata Valhalla. Dia hanya mengangguk dan mulai berjalan lagi, meskipun lelah dan kantuk mulai menyergapnya. Kaki-kakinya yang letih menapak dengan berat, tetapi hati kecilnya tahu, ada seseorang yang akan selalu menunggunya di ujung perjalanan.
***
Di rumahnya, Cello hanya bisa terduduk di ranjangnya, bersandar sambil menanti kabar dari Aston dan Valhalla. Meski dirinya terlihat selalu tenang, kali ini kecemasannya tidak bisa lagi ditutupi. Buku di tangannya hanya berfungsi sebagai alat pengalih, bukan benar-benar bahan bacaan. Setiap detik terasa seperti menit, dan setiap menit seperti jam.
Tiba-tiba, suara klakson samar memecah ketegangan. Cello mengerutkan dahinya, meletakkan buku yang tak pernah ia baca ke samping, dan melangkah ke jendela. Senyum lega langsung muncul di wajahnya saat ia melihat Aston dan Valhalla berdiri di depan gerbang rumahnya, tampak lelah tetapi utuh. Menyadari tatapan Cello, keduanya mendongak dan melambai dengan senyum kecil.
Tanpa pikir panjang, Cello menyambar handuk kimono yang disangkanya kardigan dan berlari ke luar rumah. Rambutnya masih tergerai berantakan, dan dia bahkan tidak menyadari sandal yang ia pakai terbalik. Begitu membuka pintu gerbang, Cello langsung memeluk keduanya, dengan perasaan lega yang membuncah.
Aston, yang biasanya suka menggoda, kali ini hanya tersenyum lelah. "Kami kembali," katanya sambil melirik Valhalla, Valhalla yang biasanya canggung dengan sentuhan fisik, hanya bisa menahan napas dan membiarkan pelukan itu berlangsung beberapa detik lebih lama daripada yang dia harapkan.
Setelah beberapa detik yang terasa lebih panjang dari biasanya, Cello akhirnya melepas pelukan itu dan menatap mereka secara bergantian. Ketika melihat luka bakar di lengan Valhalla, wajahnya berubah cemas. “Astaga, Val! Tanganmu! Apa yang terjadi? Apakah sakit?”
“Tidak, hanya luka kecil. Aku berencana pergi ke rumah sakit setelah ini.” Valhalla mencoba terlihat baik-baik saja, meski jelas luka itu cukup parah.
Aston menyeringai, menepuk bahu Valhalla. “Luka kecil katanya. Padahal tanganmu hampir mirip ayam panggang.”
Cello melirik Aston dengan mata menyipit. “Dan kau? Sepertinya otakmu masih berfungsi dengan normal, sayangnya.”
“Ah, terima kasih atas pujiannya. Aku selalu tahu kau mengagumi intelektualku,” balas Aston, memasang senyum lebar penuh kesombongan palsu yang dibalas dengusan rendah oleh Cello.
Aston melirik Cello dan mencoba menahan tawa yang mulai memanjat ke permukaan wajahnya. "Omong-omong, Cello, apa tema baju tidurmu memang... abstrak begitu?"
Cello mengerutkan alis bingung, lalu memandang ke bawah. Wajahnya langsung berubah merah saat menyadari bahwa 'kardigan' yang ia kenakan ternyata hanya handuk kimono, dan sandalnya tidak hanya terbalik, tapi berbeda warna.
Valhalla menghela napas, merasa ini semua seperti episode komedi yang aneh setelah apa yang baru saja mereka lalui. Tapi dia tak bisa menyangkal, sedikit tawa dan candaan ini membuat beban di dadanya terasa lebih ringan.