Di lantai tiga gedung utama, Valhalla dan Aston melangkah bersama, menyusuri koridor sepi yang hanya dipenuhi suara langkah sepatu mereka yang menggema di sepanjang dinding batu yang halus. Di depan mereka berdiri pintu besar dengan ukiran tiga gagak—ikon resmi The Classeirs—yang menghiasi permukaannya dengan ukiran yang rumit. Gagak-gagak itu seolah menatap siapa pun yang mendekat dengan tatapan tajam, memberi aura misterius dan kehormatan. Ini adalah satu-satunya ruangan di lantai ini, tempat semua pertemuan penting selalu diadakan.
Valhalla dan Aston saling berpandangan sekilas, keduanya memiliki kebiasaan yang sudah terpatri selama bertahun-tahun. Valhalla membukakan pintu kiri, sementara Aston menangani pintu kanan. Dengan satu gerakan, stik lolipop yang selama ini digigiti Aston dilemparkan ke tempat sampah di dekat pintu masuk. Keduanya melangkah masuk bersamaan, memasuki ruangan yang terasa megah, namun dingin.
Puluhan kursi tunggal berlapis beludru tersusun rapi di depan mereka, memberikan kenyamanan maksimal bagi para pengajar dan staf yang nanti akan mengisi ruangan. Setiap kursi dihiasi sulaman ikon gagak yang sama dengan benang emas yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal. Sentuhan ini memberi kesan elegan yang seolah menegaskan status elit dari setiap orang yang duduk di dalamnya.
Di sepanjang ruangan, balkon-balkon kecil tampak menghiasi dinding-dinding samping. Tanaman rambat palsu melingkar di sepanjang balkon, memberikan kesan segar yang kontras dengan suasana serius dan formal ruangan ini. Balkon-balkon itu tidak hanya sekadar hiasan—mereka menawarkan tempat duduk khusus dengan privasi, khususnya bagi tamu istimewa atau anggota Dewan Pimpinan yang memilih untuk menyaksikan jalannya pertemuan dari ketinggian, jauh dari sorotan di bawah.
Warna dominan charcoal dan putih menambah keanggunan ruangan ini, dengan aroma khas campuran kayu manis dan sesuatu yang agak pahit, menyebar perlahan memenuhi ruangan. Aromanya, seperti halnya semua yang ada di The Classeirs, dipilih dengan sangat cermat—menenangkan tapi juga menjaga ketajaman pikiran. Aston menghirup dalam-dalam aroma itu, merasakan efeknya yang samar namun menenangkan.
Tanpa berkata-kata, Valhalla menuruni beberapa anak tangga dengan langkah-langkah yang penuh perhitungan. Dia bergerak menuju panggung yang berada tepat di tengah ruangan, pusat perhatian yang dikelilingi oleh kursi-kursi yang tersusun melingkar dan bertingkat, seperti amfiteater. Panggung itu tampak lebih rendah dari balkon utama, tempat Dewan Pimpinan duduk di atas singgasananya, seolah menegaskan hirarki kekuasaan di sekolah ini. Mereka yang berbicara di panggung ini, meski penting, tetap tunduk pada mereka yang duduk di atas balkon.
Aston, yang cenderung menghindari formalitas dan keangkuhan semacam ini, menghela napas panjang. Tatapannya beralih ke lampu kristal besar yang menggantung di atas panggung, memantulkan cahaya yang menari di lantai marmer putih, memberi kesan bahwa setiap kata yang akan diucapkan di sana akan mendapat sorotan, baik dalam arti harfiah maupun metaforis. Tidak ada yang bisa bersembunyi di bawah cahaya lampu kristal itu.
Mata Aston bergerak mengelilingi ruangan, mencari tanda-tanda kehidupan, tetapi tampaknya mereka tiba lebih awal. “Belum ada orang...” gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar datar dengan sedikit nada frustasi. Jam hampir menunjukkan waktu pertemuan, tapi ruangan itu masih kosong, menyisakan mereka berdua. Dia mengangkat bahu kecil-kecil dan memilih duduk di salah satu kursi beludru terdekat.
Sambil duduk, Aston mengendurkan otot-ototnya, merasakan kenyamanan luar biasa dari kursi yang empuk dan mewah itu. Meski begitu, pikirannya tidak bisa lepas dari kesadaran bahwa dalam pertemuan ini dia akan berhadapan dengan para petinggi sekolah—orang-orang yang, jujur saja, lebih banyak menyibukkan diri dengan politik internal daripada dengan masalah nyata murid-murid. Satu-satunya hal yang membuat pekerjaan ini menyenangkan bagi Aston adalah interaksinya dengan para murid—bukan formalitas semacam ini.
Valhalla, yang kini berdiri di panggung, melirik sekilas pada sahabatnya yang tampak bosan. Tatapan tegas dan fokusnya tidak berubah, tetapi di dalam hatinya, dia tahu Aston tidak pernah nyaman dalam situasi seperti ini. Sementara dia sendiri, meski terbiasa dengan segala formalitas dan ketegangan politik di The Classeirs, merasa ada beban yang semakin berat di pundaknya.
Lampu-lampu di ruangan perlahan mulai menyala lebih terang, seperti menyiapkan diri menyambut para tamu yang akan segera datang. “Jangan terlalu rileks, Aston,” kata Valhalla, suaranya terdengar rendah namun terdengar jelas di seluruh ruangan yang kosong. “Pertemuan ini tidak akan sejenak pun menyenangkan.”
Aston mendengus kecil, menatap Valhalla dengan senyum malas, “Yah, paling tidak, kursinya cukup nyaman.”
Suara langkah kaki yang berat terdengar memenuhi ruangan, menggema di sepanjang dinding-dinding besar dan mewah. Satu per satu, pengajar-pengajar The Classeirs mulai berdatangan, memenuhi kursi-kursi beludru yang kosong. Dengan setelan formal yang rapi, baik wanita maupun pria tampak anggun dan berwibawa. Masing-masing dari mereka membawa aura penuh kekuatan dan pengalaman, seolah setiap langkah mereka telah dipetakan dengan hati-hati.
Aston, yang sebelumnya duduk dengan santai, segera beranjak dari kursinya begitu melihat ruangan mulai terisi. Dia bergerak dengan mudah, menyisipkan senyum ramah kepada beberapa pengajar yang dia kenal. Sementara itu, di balkon utama yang terletak di atas ruangan, Lady Seraphina sudah tampak duduk, dengan ekspresi tenang namun dingin seperti patung marmer hidup. Di sampingnya, Lord Alaric dan Madam Liora duduk dengan aura yang tak kalah mengintimidasi. Seperti dewa-dewi pengawas, mereka memandang ke bawah, seolah menilai setiap kata dan gerakan.
Aston menahan napas sejenak, berpaling dari tatapan tajam Dewan Pimpinan ke arah pintu masuk, memperhatikan lebih banyak pengajar yang mulai mengisi kursi-kursi di ruangan itu. Sementara di sampingnya, Valhalla terdiam, matanya bersirobok dengan Lady Seraphina. Seketika, tatapan dingin Seraphina seakan menembusnya, membuat jantung Valhalla berdegup kencang. Ada sesuatu yang mengerikan dalam pandangan angkuh wanita itu—begitu dingin, begitu tanpa belas kasih. Seraphina hanya mengangkat dagunya sedikit, menambah jarak antara dirinya dan semua orang di bawahnya.
Valhalla menunduk, memutuskan kontak mata dengan segera. Jantungnya berdentum lebih cepat dari biasanya, kedua tangannya gemetar halus, entah karena rasa segan atau tekanan yang mencekam. Namun, dia berusaha untuk tetap terlihat tegar, meskipun di dalam, perasaan gentar menghantamnya seperti badai. Dia mengalihkan pandangannya, mencoba memfokuskan diri pada kerumunan yang kini telah memenuhi ruangan. Semua kursi telah terisi, dan suasana menjadi semakin berat dengan kehadiran pengajar-pengajar, staf, dan Dewan Pimpinan yang terus mengawasi mereka.
Lalu, cahaya di ruangan perlahan meredup, hanya menyisakan sorotan terang yang jatuh di panggung utama—di tempat Valhalla dan Aston berdiri. Hening menyelimuti ruangan. Setiap tatapan dingin terpusat pada mereka berdua. Valhalla bisa merasakan tubuhnya melemah, seolah-olah gravitasi ruangan itu menindihnya semakin kuat. Namun, dia tidak punya pilihan selain untuk berdiri tegak. Menghela napas panjang, Valhalla menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Ketika dia membukanya kembali, tatapan matanya tampak lebih tajam, lebih percaya diri. Kini, tidak ada ruang untuk kelemahannya.
“Selamat sore,” Valhalla memulai dengan suara yang tegas namun lembut, suaranya bergema di seluruh ruangan. “Saya Valhalla, Penanggung Jawab Esper.” Dia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. “Di sebelah saya adalah Aston Hex, satu-satunya pengajar umum. Topik yang akan dibahas adalah perihal insiden tragis yang terjadi kemarin selama inisiasi.”
Kata-katanya menggantung di udara, memenuhi setiap sudut ruangan. Tidak ada satu suara pun yang terdengar selain suara Valhalla yang memantul dari dinding-dinding besar.
“Sebelumnya, saya ingin menyampaikan permintaan maaf yang mendalam kepada Anda semua.” Dengan gerakan lambat dan penuh penyesalan, Valhalla membungkuk rendah, kepalanya tertunduk, menatap sepatu pantofelnya yang berkilat di bawah sorotan lampu kristal. “Saya sungguh menyesal karena telah lalai dalam tugas saya.”