Audiensi mulai berhamburan keluar dari ruang rapat, tetapi Valhalla tetap berdiri di tempatnya, memilih menunggu giliran keluar yang terakhir. Dari kerumunan yang berjalan menuju pintu keluar, ia bisa melihat Aston di antara mereka, seperti cat putih di atas kanvas hitam dengan jas putihnya yang mencolok. Valhalla menghela napas dalam-dalam. Saat suasana mulai kembali hening, ia memutuskan untuk bergerak, mendaki anak tangga satu per satu. Tatapannya terarah ke bawah, namun saat ia sampai di anak tangga terakhir, ia mendongak dan mendapati Rennar Varx bersandar dengan santai di lis ambang pintu, matanya yang kuning keemasan tak lepas menatapnya.
“Yo, Valhalla,” sapa Rennar dengan suara serak yang penuh rasa ingin tahu.
Valhalla mengangguk pelan, namun suaranya tetap formal, “Selamat malam, Rennar Varx, Kepala Departemen Tempur. Ada keperluan apa denganku?”
Rennar tersentak mendengar nada formal Valhalla dan langsung menarik tubuhnya tegak, berjalan mengelilingi Valhalla perlahan. Matanya yang tajam—seperti mata elang—tak pernah lepas dari wajah Valhalla, seakan mengurai segala pikirannya. “Wah, kau tahu aku benci obrolan formal, bukan?” katanya, nada suaranya mencair, seolah-olah ada tantangan di balik kata-katanya.
Valhalla memejamkan matanya sebentar, menghela napas dan kemudian meralat sapaannya, “Baiklah, Enva. Ada apa?” Matanya menatap datar. Rennar bagi Valhalla adalah Aston versi perempuan—aneh dan sulit diprediksi. Di antara sekian banyak orang aneh di The Classeirs, Rennar adalah jenis yang paling tidak bisa dia tangani dengan mudah. Ada sesuatu tentang perempuan ini yang selalu membuat Valhalla merasa tidak nyaman, seperti berada di ujung jurang yang bisa membuatnya terjatuh kapan saja.
“Pidato yang bagus, Valhalla. Aku menyukainya,” kata Rennar, akhirnya berhenti tepat di depan Valhalla. Namun matanya tetap mengusik, seperti ada sesuatu yang ia ingin sampaikan tanpa mengucapkannya.
“Terima kasih,” balas Valhalla dengan nada datar, tetapi matanya terbelalak sesaat ketika Rennar mendekat, semakin mengikis jaraknya. Kini wajah mereka hanya terpisah beberapa sentimeter saja.
Keheningan yang tercipta di antara mereka terasa sangat menyiksa bagi Valhalla. Rennar hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, matanya sudah berbicara lebih banyak dari seribu kata. Valhalla bisa mendengar detak jantungnya yang semakin kencang. Deru napasnya terdengar hampir terlalu keras dalam kesunyian ini.
Akhirnya, Rennar meledak dalam tawa, tawa yang begitu lepas dan menggema di sepanjang lorong yang sunyi. “Serius, Valhalla? Wajahmu itu!” Tawa itu mengusir ketegangan yang mengikat di antara mereka, meskipun Valhalla hanya menatapnya dengan ekspresi datar yang tak tergoyahkan.
“Aku ingin istirahat, Enva. Jangan mengganguku,” ujar Valhalla, mencoba berjalan lagi, meski jelas ia sedikit kewalahan dengan semua ini.
Di belakangnya, Rennar masih tertawa, tawanya bergema sepanjang lorong yang panjang. Perlahan, Rennar mulai mengikuti langkah Valhalla, tawanya mereda, tapi matanya masih berkilat, penuh pengawasan.
Namun, dalam detik berikutnya, tanpa diduga, Valhalla tersandung di ujung langkahnya. Tubuhnya limbung, hampir terjatuh ke lantai. Tapi sebelum ia sempat menanggapi, Rennar sudah bergerak dengan cekatan. Tangan Rennar melingkar di pinggang Valhalla, menahan tubuhnya yang nyaris jatuh.
Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Valhalla merasakan denyut jantungnya yang berdetak lebih cepat. Rennar menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan, tetapi intensitasnya membuat Valhalla hampir merasa kehilangan kendali.
“Ow, hampir saja,” kata Rennar dengan nada bercanda, suaranya menggelitik. Tawanya kembali menggema di telinga Valhalla, seakan membuat semuanya berputar. Valhalla berusaha menguasai diri, menahan rasa canggung yang membanjiri dirinya.
Valhalla merasa panas di pipinya, dan wajahnya mulai memerah—sesuatu yang jarang terjadi. Segera ia mendorong Rennar menjauh dan merapikan jasnya dengan gerakan terburu-buru.
“Terima kasih,” ucapnya, suara tetap terkendali meski ada sedikit kebingungannya yang tak bisa disembunyikan.
“Aku tidak ada urusan denganmu, sebenarnya. Aku hanya ingin menyapamu. Akhir-akhir ini kita hampir tidak pernah bertemu, padahal masih di lingkungan yang sama.” Rennar melipat tangannya di depan dada dengan gaya santai, senyum nakal menghiasi bibirnya. “Aku merindukanmu, tahu?”
Valhalla menundukkan wajahnya, mencoba menyembunyikan betapa merah pipinya. Tetapi ia tetap menjaga ekspresi datarnya, seolah tidak terpengaruh sedikit pun. Rennar menikmati reaksinya.
“Aku benar-benar lelah, bisakah aku pergi sekarang?” Valhalla mulai merasa sangat kewalahan, nada suaranya berubah menjadi sedikit lebih serius.
“Tunggu sebentar, ada sesuatu di wajahmu,” kata Rennar, mendekat lagi, kali ini lebih cepat. Bibirnya bahkan berada di samping pipi Valhalla.
Valhalla merasakan sesuatu yang lembut menempel di pipinya, sebuah sentuhan yang membuat perutnya mengejang dan tenggorokannya tercekat. Matanya membelalak, dan untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pandangannya terkunci dengan mata Rennar yang penuh godaan. Valhalla tak bisa bergerak, bahkan napasnya serasa terhenti.
Dengan tawa teredam, Rennar menjauhkan dirinya. “Selamat malam, Valhalla. Mimpi indah.” Ia mengangkat tangan kanannya dengan lembut dan melangkah pergi, meninggalkan Valhalla yang masih terdiam di tempat.
Valhalla berdiri kaku, kedua lututnya melemas. Sentuhan itu membuat tubuhnya gemetar hebat, dan akhirnya ia berlutut sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdetak seperti genderang perang. “Ya ampun… itu pertama kalinya... seseorang berani melakukannya padaku,” gumamnya dengan suara hampir tak terdengar.
“Aku... malu sekali...” Valhalla menutup wajah merahnya dengan kedua telapak tangan, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya. Tapi dalam hati, ia tahu—pertama kali dalam hidupnya, ia tidak bisa menangani seseorang seperti Rennar.
***
Setelah rapat pembahasan kemarin, Dewan Pimpinan membentuk tim internal untuk menyelidiki insiden inisiasi, namun anggotanya hanya diketahui oleh Dewan sendiri. Di luar itu, keadaan mulai kembali normal; hutan direboisasi, dan para Esper Cahaya memperkuat kembali Mana Barrier yang melindungi The Classeirs.
Di hari yang sama, Lord Alaric mulai memilah calon siswa berdasarkan kemampuan mereka, sesuai dengan saran Valhalla: mereka yang bertahan hingga akhir akan ditempatkan di Gedung Aether atau Nyx, bukan di Gedung Parnassus. Alasan di balik pemilahan ini sederhana—karena mereka telah menunjukkan ketahanan dan keterampilan yang cukup selama inisiasi, dan Valhalla percaya bahwa mereka pantas mendapatkan pelatihan di tingkat yang lebih tinggi.
Pemilahan itu memakan waktu dua hari penuh, dan akhirnya hasilnya diumumkan. Daftar nama-nama siswa ditempel di sebuah papan besar yang terletak di lorong menuju ruang kelas utama. Meskipun inisiasi dilakukan secara berkelompok, penilaian tetap dilakukan per individu. Ketika daftar itu terpajang, hasilnya adalah sebagai berikut:
Gedung Aether – Gedung Hesperides: Franz Peregrine, Finn Arcane, Ozky Javieland, Parveen Dargan Lubis, Redd Knox, dan beberapa lainnya.
Gedung Nyx – Gedung Helikon: Adella Braches, Aretha Cathlyn Doja, Arion Gazelle Dauger, Calvin Eleandaz, Ferus Brawn, Helena Alga, Seth Albrecth, Zain La Vanizard, dan siswa-siswa lainnya.
Seluruh siswa berkumpul di depan papan itu, menelusuri baris demi baris nama untuk mencari nama mereka masing-masing. Sebagian kecil dari mereka bersorak kegirangan karena melihat nama mereka tercatat di Gedung Aether. Sebagian lainnya hanya bisa menghela napas dan menerima kenyataan bahwa mereka ditempatkan di Gedung Nyx.
Ozky yang menemukan namanya di Gedung Aether tampak bingung, sedikit mengernyit. "Kenapa orang-orang begitu terobsesi dengan Gedung Aether?" gumamnya pada diri sendiri. Menggelengkan kepala, dia melangkah mundur dan menjauh dari kerumunan, tampak acuh tak acuh terhadap hiruk-pikuk di sekitarnya.
Di sisi lain, Parveen berjalan mendekati kerumunan untuk memeriksa hasilnya. Namun, seolah-olah ada aura tak kasat mata yang menyelimuti dirinya, orang-orang di sekitarnya mulai membuka jalan, memberi ruang. Tatapan Parveen menggelap, tapi dia tetap menjaga pandangannya lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan cibiran tajam yang dilontarkan beberapa orang di sekitarnya.
Dia berdiri di depan papan pengumuman, matanya dengan cepat menemukan namanya yang tercatat di Gedung Aether. Sebuah senyum tipis terlukis di wajahnya yang biasanya keras. Setelah memastikan hasilnya, Parveen segera berbalik dan meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun.
Di belakang kerumunan, Arion dan Ferus baru saja tiba. Keduanya mengerutkan dahi ketika mereka mendengar percakapan antara dua orang di depan mereka.
"Parveen? Orang itu bahkan tidak pantas berada di Gedung Aether," desis salah satu dari mereka. "Dia menelantarkan dua rekannya hingga tewas. Benar-benar orang yang kejam."
"Mungkin karena penguasaan Psikokinesisnya," sahut yang lain. "Kemampuannya sangat kuat, jadi dia diterima di tingkat Aether."
Ferus mendengus keras mendengar itu, ekspresi di wajahnya mencerminkan kejengkelan. Tanpa banyak bicara, dia langsung menerobos kerumunan, disusul Arion yang tadinya terdiam mendengarkan, namun segera menyadari pergerakan Ferus dan mengikutinya.
Setelah melihat namanya di daftar Gedung Nyx, Ferus mencoba menepis kekecewaannya dengan tersenyum lebar. "Kita dapat Gedung Nyx, setidaknya kemampuan kita sudah meningkat, Ari."
Arion mengangguk pelan sambil memandangi papan pengumuman. Matanya menyipit ketika menemukan namanya tercatat di dekat nama Aretha. "Kelihatannya Aether menerima lebih sedikit murid daripada Nyx," gumamnya.
"Tentu saja!" sahut Ferus cepat.
Arion menunduk, suaranya pelan namun terdengar penuh penyesalan. "Maaf, Ferus. Karena aku, kau kehilangan kesempatan untuk masuk ke Gedung Aether."
Ferus menatap Arion dengan lembut, lalu tertawa kecil. "Tak usah dipikirkan. Ini hasil yang jauh lebih baik daripada ujian sebelumnya. Dulu aku selalu terlempar ke Gedung Parnassus, tapi sekarang aku sudah bisa masuk ke Nyx. Jangan terlalu serius, aku baik-baik saja, Ari." Sambil berkata demikian, dia menepuk bahu Arion dengan penuh pengertian.