Ann Xavier, 34 tahun. Laki-laki. Rambut ikal yang selalu ditata setengah acak, setengah dirancang. Kulitnya dijaga dengan eksfoliasi mingguan, tapi bukan untuk menarik siapa pun—melainkan agar bisa menatap dirinya sendiri di kaca tanpa ilusi. Ia adalah Creative Director di salah satu agensi media sosial kelas atas, terbiasa menciptakan kampanye untuk merek yang menjual aspirasi gaya hidup, tapi tak pernah mampu memasarkan hidupnya sendiri.
Ia tahu cara bicara yang tepat untuk ruangan yang mahal. Ia tahu kapan diam adalah jawaban paling elegan. Tapi malam-malam miliknya—selalu ditingkahi bunyi notifikasi dari aplikasi yang tak pernah benar-benar memberi harapan.
Ia tidak ingin menikah. Bukan karena takut pada cinta. Tapi karena cinta, baginya, tak pernah datang dengan tangan terbuka. Selalu menyamar jadi rahasia.
*****
Hujan malam itu turun tanpa jeda. Jakarta terlihat seperti kota yang menangis dalam diam.
Ann duduk di kursi bar apartemennya, mengenakan robe satin warna taupe, membuka ponsel yang sudah ia ulang unduh dua kali minggu ini: Grindr, Taimi, Scruff. Ia bukan ingin bertemu siapa pun. Ia hanya ingin tahu... apakah ia masih diinginkan.
Wajah-wajah itu muncul satu per satu.
Filtered. Chiseled. Almost copy-paste. Ada yang mengaku arsitek. Ada yang mengaku “just here for a vibe.”Ada pula yang hanya mengirimkan emoji terong dan jarak. Seorang fotografer muda menawarkan “main aman tanpa baper”, lalu mengirimkan voice note penuh napas.
Ann tersenyum tipis. Katanya ingin vibe, tapi tak tahu caranya menyentuh dengan tenang.
Ia balas satu pesan. Just for fun, katanya. Tapi tak ada jawaban yang membuatnya merasa nyata.