Dimitri Arizona, 35 tahun. Rambutnya tak pernah terlalu rapi, tapi selalu wangi. Kemejanya linen, warnanya tanah, sering terlihat seperti katalog estetik untuk pria yang terlalu diam untuk tidak menaruh rasa dalam detail. Dulu wartawan kuliner. Kini... seorang pria yang tidak lagi percaya bahwa semua rasa bisa dijelaskan lewat kata.
Ia lajang. Tapi tidak karena takut mencintai.
Melainkan karena pada suatu titik, ia menyadari: beberapa rasa hanya bisa disimpan. Bukan disajikan.
*****
Di sebuah kota kecil di Ethiopia, ia mengikuti program cupping kopi sebagai bagian dari riset majalah kuliner tempat ia bekerja. Suatu pagi, di antara bau tanah basah dan fermentasi buah merah, seorang perempuan berhijab duduk di depannya. Ia mengenakan tunik hitam polos dan sneakers putih yang basah karena hujan. Namanya: Naila.
Mereka sama-sama mencicip biji kopi single origin, lalu membandingkan catatan rasa. Dimitri mencatat "bright, citrus, and slightly fermented."
Naila menulis "gentle bitterness, with something fragile underneath."
“You taste sadness in coffee?” tanya Dimitri.
Naila menjawab sambil tersenyum, “Only if it’s honest.”
Setelah sesi, mereka berjalan menyusuri jalan batu menuju penginapan masing-masing. Langit mulai gelap, dan Naila menunjuk sebuah bangunan tua—masjid kecil di tengah pasar.
“Mind if I stop for a few minutes?” katanya.
“Of course not,” jawab Dimitri. “Take your time.”
Ia menunggu di bangku luar masjid. Angin sore membawa bau debu, kopi, dan sesuatu yang tidak bernama. Sepuluh menit kemudian, Naila keluar.