The Coffee Before The Break

glowedy
Chapter #3

Roy: The Ethics of Desire

Roy, 38 tahun. Dosen filsafat, berpakaian rapi, bermata tajam, dan dikenal karena kuliah-kuliahnya yang selalu dimulai dengan kalimat:

“Pertanyaan yang baik, bukan tentang benar atau salah. Tapi tentang apa yang tak berani kita akui.”

Ia lajang. Tapi bukan tipe yang kesepian. Roy menyukai kesendiriannya—atau lebih tepatnya, menyukai kendali atas dirinya sendiri. Hingga suatu malam, kendali itu mulai retak oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi bisa ia jawab dengan filsafat.

*****

Apartemen Roy selalu sunyi. Di sudut meja, lampu baca memantulkan cahaya pada layar laptopnya. Folder itu masih ada: “39”. Isinya: narasi erotik, bukan fiksi murahan, tapi rangkaian kalimat penuh perenungan tentang dominasi, kerentanan, dan pertemuan tubuh dengan ide.

Di salah satu file, ia menulis tentang seorang dosen yang jatuh cinta pada mahasiswa bimbingan. Tapi bukan cinta yang bersih—melainkan cinta yang bertabrakan dengan norma, dengan status, dengan dirinya sendiri.

Tangannya berhenti di kalimat:

"Dan di antara buku dan meja kerja, ia menginginkan sesuatu yang tidak boleh disebut."

Roy memejamkan mata. Ia tahu, itu bukan sekadar fiksi.

Di ruang dosen keesokan paginya, Pak Arfan menyodorkan senyum lebar sambil menunjukkan foto anaknya yang sedang ulang tahun.

“Lihat tuh,” katanya sambil tertawa kecil, “anak pertamaku sekarang udah bisa main piano.”

Roy mengangguk sambil menyeruput kopi. Pahit. Tanpa gula. Seperti hidup yang terlalu banyak kompromi.

“Tapi katanya kamu ke Bali minggu lalu?” Roy bertanya pelan, tak menuduh, hanya ingin tahu batas dari seseorang yang masih menyebut dirinya ‘keluarga’.

Lihat selengkapnya