The Coffee Before The Break

glowedy
Chapter #5

Coffeebreak: The First Table

Senja di Jalan Dharmawangsa datang seperti seseorang yang tidak mengetuk pintu, tapi tahu kapan harus masuk. Di antara bangunan-bangunan sewaan dan studio yoga, berdiri sebuah kedai kecil dengan lampu kuning susu dan papan kayu tak mencolok.

Coffeebreak. Tempat yang tidak memaksa siapa pun untuk betah, tapi berhasil membuat orang sulit pergi.

Empat Kursi yang Tak Pernah Direncanakan

Ann datang lebih dulu, seperti biasa.

Mantel oversized warna sage, celana sutra abu terang, dan sepatu kulit vegan buatan Prancis.

Ia duduk di pojok ruangan dengan pose seperti editorial sampul majalah fashion: santai, tapi seolah menyembunyikan puisi tentang luka di balik kacamata hitamnya. Ia tidak pesan apa-apa. Hanya membuka buku catatan dan menulis:

“Aku tidak butuh pengantar. Aku sudah menjadi tujuan untuk diriku sendiri.”

Roy tiba dengan langkah lambat. Jas linen warna kelabu tua, buku filosofi Jepang di tangan, dan raut wajah orang yang telah berdamai dengan rasa bersalahnya—tapi belum tentu dengan harapannya.

Daniel menyusul dengan gaya urban: hoodie abu, sepatu sneakers putih dan wajah seperti pelukis yang kelelahan memikirkan makna antara garis.

Ia melihat dua pria dan satu siluet ambigu duduk di satu meja panjang dan ragu-ragu.

Lalu terdengar suara dari balik bar,

“Duduk aja. Gak harus bicara dulu.” Dimitri. Suaranya rendah dan hangat.Tangan kirinya memegang cangkir. Tangan kanannya mengatur suhu air di ketel. Ia bukan pemilik kedai. Ia adalah pengarsip rasa sunyi yang diseduh.

Lihat selengkapnya