The Coffee Memory

Bentang Pustaka
Chapter #2

Chapter 2

Kayu manis atau Cinnamomum zeylanicum tidak hanya memiliki aroma yang menggoda, tetapi memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, di antaranya sebagai pengontrol gula darah, antiinfeksi, mencegah pertumbuhan sel kanker hingga pengobatan Alzheimer. Menambahkan kayu manis pada minuman hangat, seperti kopi, teh, dan cokelat juga akan membangkitkan cita rasa.

Kenapa aroma itu muncul lagi di pagi yang entah keberapa? Semenjak sisi tempat tidur Andro kosong, Sultan, jagoan kecilku mendadak ingin tidur bersamaku. Dia tahu bahwa papanya tidak mungkin lagi tidur di situ.

Aku mengerjap-ngerjap. Sebentuk tempat minum yang unik itu, yang juga telah kusimpan jauh-jauh di dalam kabinet, kini muncul lagi di atas meja kecil berlaci dua, di samping tempat tidurku. Berisi lengkap dengan cairan berwarna cokelat tua di dalamnya, mengisi tempat minum itu nyaris penuh.

Itu adalah gelas khusus kopi yang diperoleh Andro sebagai hadiah doorprize saat kami menghadiri acara yang disponsori oleh sebuah bank swasta. Seakan-akan sudah berjodoh, nama benda itu tertulis di kertas kecil yang ada di bawah kursi Andro. Bukan benda-benda lain yang lebih mahal, seperti ponsel, kamera, laptop, bahkan televisi, benda-benda yang pastinya lebih diminati dan diinginkan banyak tamu yang hadir.

Akan tetapi, Tuhan memang paling tahu apa yang lebih dibutuhkan dan diinginkan oleh hamba-Nya. Bukannya Andro tak menginginkan semua barang mahal itu, kalau diberi, aku yakin Andro pun tak akan menolaknya. Namun, gelas dengan separuh badannya dilapisi kaca bening dan dilengkapi alat penahan suhu itu, tidak sekadar berarti bagi Andro, tetapi juga kehadirannya sudah seperti seorang sahabat sejati.

Gelas itu menjadi gelas kopinya setiap pagi. Dia sendiri yang akan mencuci dan mengeringkannya jika isinya sudah habis, lalu menyimpannya di rak terpisah. Dan, dia akan bertanya kepada Asih jika menemukan ada satu saja bagiannya yang sedikit bergeser dari tempat penyimpanannya. Entah itu tutupnya, alasnya yang bisa dilepas, ataupun pengatur suhunya yang berada di dalam gelas. Dan, gelas itu juga, menjadi properti pertama yang kusingkirkan pada malam pertama pasca-kepergian Andro.

Lalu, sekarang, siapa yang sudah mencari, menemukannya kembali, dan menuangkan cairan cokelat tua itu ke dalamnya?

“Mama ....”

Sultan berdiri di samping tempat tidur. Tangannya dia lipat di depan dada. Dia menatapku dengan tatapan sok dewasa. Sebuah tatapan yang pernah untuk beberapa waktu tak mampu kutatap balik karena selalu ada bayang-bayang Andro muncul di sana. Dan juga raut wajah Sultan yang nyaris bak pinang tak berbelah dengan mendiang papanya itu.

“Sultan, kok, belum siap-siap ke sekolah?”

Aku menguap. Bocah itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya merengut. Maju bersenti-senti. “Ini, kan, tanggal merah, Ma. Mama, sih, tidur melulu, nggak baca kalender.”

“Oh, tanggal merah, ya.”

Aku merentangkan kedua tangan tinggi-tinggi. Kembali menguap. Menambah waktu tidur pada pagi hari justru membuatku rasanya tambah mengantuk. Aku baru saja hendak bertanya soal gelas itu ketika Sultan sudah memindahkan kedua tangannya ke pinggang.

“Tadi Oma bilang bahwa tidur pagi itu nggak bagus.”

“Nggak bagusnya kenapa?”

Aku mendekatkan wajahku ke wajah Sultan. Dalam jarak sedekat ini, aku paling suka melihat wajah Sultan yang tambah sebal dengan reaksiku.

“Kata Oma, jauh rezeki. Buktinya, sekarang yang kasih Sultan jajan bukan Mama lagi, tapi Oma, weekk!”

Sultan melebarkan bibirnya. Meledekku. Ledekan yang justru mengantarkan kalimat terakhir itu lebih dekat ke infra kesadaranku. Sekarang yang kasih Sultan jajan bukan Mama lagi, tapi Oma.

“Sultan, hei! Sini dulu, Mama mau tanya!”

Bocah itu telah sampai di pintu saat aku memanggilnya. Dia menoleh. Kembali menggantungkan tangannya di pinggang. Aku menduga bahwa Andro kecil dulunya jauh lebih berlagak dari ini.

“Apa, sih, Ma?”

Aku menunjukkan ke arah gelas kopi. “Ini, kopinya siapa yang bikin? Gelas ini juga, siapa yang sudah ngeluarin dari lemari?”

Sultan mengedikkan bahu. “Nggak tahu. Mbak Asih mungkin, atau Oma. Sultan cuma disuruh bawa gelas itu ke kamar, sekalian disuruh Oma untuk bangunin Mama.”

Itu berarti, “tersangka”-nya bisa salah seorang atau barangkali juga keduanya. Mama dengan sifat suka berberesnya yang terkadang berlebihan itu merapikan isi kabinet, menemukan gelas itu tergeletak di pojok kabinet dan mengenalinya sebagai gelas milik Andro, lalu entah atas alasan apa menyuruh Asih membuat kopi di dalam gelas itu, dan menyuruh Sultan mengantarkannya ke kamar.

Aku membuka tutupnya, langsung mengenali kopi apa yang ada di dalamnya. Kopi instan dari jenis arabika yang telah ditambah susu kental. Ini adalah satu-satunya kopi instan yang disukai Andro. Alasannya, karena aromanya yang paling mendekati biji kopi yang baru digiling meski rasanya tidak. Pantas saja, aku langsung teringat Andro begitu mencium aromanya tadi.

Bibirku menghirupnya pelan-pelan. Masih panas. Namun, rasanya sudah sampai di lidah. Kopi susu itu rasanya terlalu manis. Berarti ini hasil racikan Asih, yang memang selalu ringan tangannya saat menambah ekstra gula ke dalam teh. Dia juga tidak pernah merasa bersalah untuk stok susu manis di dapur yang selalu habis lebih cepat.

Akan tetapi, ini sebuah kemajuan. Setidaknya, aku tidak lantas memuntahkan kopi ini meski nyaris bersumpah tidak akan pernah lagi menyentuhnya setelah hari aku membuang semua stok kopi itu ke tempat sampah.

Mama tengah mengoles sesuatu di atas roti bakarnya saat aku menyeret kaki, juga seraya menggenggam tangkai gelas ini ke ruang makan. Sultan sudah tidak tampak lagi. Mungkin dia sudah bermain di luar. Padahal masih ada sisa roti bakar yang tidak selesai dimakan di atas piring. Aku meraih roti yang sudah liat itu. “Ini sisa Sultan, Ma?”

Mama mengangguk. “Katanya, dia nggak suka isi selai kacang.”

Lihat selengkapnya