Pekerjaan barista tidak hanya seputar pemahaman tentang membuat dan menyajikan latte, macchiato, espresso, dan cappuccino, tetapi juga memahami akan filosofi dan histori yang tersimpan di balik setiap miligram serbuk kopi.
Tidak seorang pun benar-benar tahu apa yang kurasakan. Mama mungkin merasa benar tentang gelas milik Andro berisi kopi manis yang kuhabiskan isinya tempo hari. Namun, aku yakin Mama tidak mampu membacaku lebih dalam dari itu. Tidak ada yang bisa memupus kerinduanku kepada Andro. Setidaknya, sampai hari ini, rasa rindu itu masih sama pekatnya. Yang berbeda hanyalah bagaimana aku menutupinya, menunjukkan pada dunia bahwa aku juga bisa terlihat baik-baik saja.
Andro adalah barista terbaik yang pernah kukenal. Atau mungkin, aku bisa berasumsi demikian karena Andro-lah satu-satunya pria dengan profesi barista yang berhasil mendekatiku dan menjadikanku pendamping hidupnya. Tetapi, kurasa bukan aku saja yang punya opini serupa. Tidak jarang, saat aku berada di kafe, dan menyaksikan bagaimana Andro menyajikan kopi, setelah sebelumnya beraksi bersama coffee grinder, filter, shaker, dan shooter, lalu menuangkan hasil akhirnya ke dalam cangkir, seraya menghias permukaannya dengan kemampuan latte art-nya yang piawai itu, cukup dengan bantuan sebuah chopstick. Dapat kusaksikan beberapa pasang mata yang menatapnya penuh kagum, bahkan tidak jarang ada yang sampai lupa berkedip hingga kopi itu tersaji di depan mereka bersama hiasan gambar pada permukaannya sesuai keinginan mereka.
Lebih dari itu, Andro juga betah ngobrol berlama-lama tentang kopi, melayani pelanggannya yang juga ingin tahu kisah di balik cairan hitam yang ada di dalam cangkir mereka. Dan, mendengar cerita Andro tentang kopi, juga tidak kalah mengasyikkan dengan memandangnya menyiapkan kopi. Andro mengenal baik semua jenis biji kopi terbaik di Tanah Air, sebaik dia memahami histori yang terkandung di balik setiap jenis biji yang menjadi pusat gravitasi semua pencinta kopi itu.
Akan tetapi, bukan berarti Andro tidak punya kekurangan. Dia tidak terlalu profesional dalam hal manajemen kafe. Selama ini, Andro telah merasa cukup dengan peran multifungsi yang dijalankan oleh Ratih. Gadis itu sudah terbiasa mengurusi banyak hal, mulai dari urusan gaji karyawan perhitungan laba-rugi, pembayaran sewa ruko, dan biaya berkala yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan alat.
Andro merasa tidak memerlukan seseorang untuk mengurusi karyawannya yang hanya dua belas orang itu. Pun saat kafe ini mulai dirintis, Andro tidak repot-repot melakukan perekrutan dengan cara membuka lowongan pekerjaan dan menyeleksi para pelamarnya satu per satu. Kedelapan orang itu diperolehnya dengan modus relasi.
Jauh sebelum Katjoe Manis berdiri, Andro telah aktif bergaul dalam komunitas pencinta kopi di dunia maya. Sesekali, mereka akan melakukan pertemuan. Kopi darat. Mereka, para pecinta kafe saling berbagi informasi seputar dunia yang mereka cintai itu. Dari situlah, obrolan-obrolan berbatas virtual yang kadang membuat waktu tidur Andro pun jadi jauh menyusut itu, Andro kelak mendapatkan semua karyawan kafe yang direkomendasikan oleh teman-teman gaulnya itu.
Akan tetapi, siapa sangka kalau hari ini aku justru kelimpungan menangani urusan yang sebelumnya tidak pernah membuat Andro terusik. Bahkan, tidak pernah terpikir bahwa suatu hari kelak kami akan membutuhkan juga seseorang yang bertanggung jawab untuk semua urusan karyawan, tidak peduli meski jumlahnya hari ini pun telah berkurang tiga orang, yaitu dua orang karyawan yang mengundurkan diri itu, dan ... seorang lagi, Andro.
Sudah tidak ada waktu untuk merekrut seorang manajer personalia dengan aktivitas kafe yang telah beku cukup lama ini. Satu-satunya harapanku kini adalah Ratih, berharap perempuan lemah lembut itu masih punya tingkat loyalitas yang sama seperti waktu Andro masih ada.
“Jadi, berapa orang, Mbak, yang mau dihubungi untuk presentasi besok?”
Hari sudah menjelang petang ketika pertanyaan itu terluncur. Setelah seharian ini, aku dan Ratih berjibaku dengan lamaran-lamaran yang masuk. Ternyata cukup banyak orang yang meminati profesi ini. Atau bisa juga banyaknya lamaran yang masuk ini karena relation link yang dibangun Andro selama ini cukup baik dan berkembang sehingga respons yang kami terima pasca-pengumuman lowongan itu di situs Katjoe Manis cukup melampaui prediksi.
“Ini, sudah kupisahkan.” Aku menyerahkan sebuah map berwarna cokelat kepada Ratih. “Aku hanya mengambil yang sudah punya pengalaman di atas dua tahun, dan track record pekerjaannya cukup baik.”
Ratih mengambil map dari tanganku. Sejenak membuka-bukanya, lalu membawanya ke mejanya. Jemarinya mulai memindahkan nomor-nomor ponsel dan alamat surel yang tertera pada lembar-lembar itu ke layar laptopnya. Satu hal yang kusuka dari gadis ini, dia tidak merasa gugup atau panik saat bekerja di bawah pengawasan.
“Hubungi juga beberapa karyawan. Besok mereka harus bantu-bantu di sini. Semua mesin dan peralatan juga sampel biji kopi harus sudah standby dan tetap tersedia selama presentasi dilakukan oleh para calon barista itu.”
“Baik, Mbak.”
Aroma pewangi ruangan menyambutku saat keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku telah tiba di kafe. Entah pukul berapa Ratih lebih dulu sampai di kafe untuk kemudian membuka pintu ruko, dengan kunci duplikat yang memang selama ini dia pegang.
Dua orang karyawan tampak tengah mengepel lantai dan mengelap mesin penggiling kopi saat aku masuk. Mereka sejenak berhenti, menganggukkan kepala dan tersenyum kepadaku, lalu kembali melanjutkan pekerjaan.