The Coffee Memory

Bentang Pustaka
Chapter #1

Chapter 1

Jangan pernah meremehkan kekuatan aroma yang dibangkitkan oleh seteguk kopi karena nikmat aroma kopi kali pertama akan tercium saat dihirup oleh hidung, lalu tercium ulang saat kopi mengaliri tenggorokan, dan unsur aromanya yang mudah menguap akan dibawa kembali lagi ke hidung.

Aku terbangun bersama aroma yang seakan-akan ikut bergerak setiap kali aku menarik napas. Aroma yang membuat gerak diafragmaku sedikit melambat saat mengembang dan mengempis. Bersama kedua mata yang masih terpejam rapat, aku menghirupnya dalam-dalam. Aroma itu begitu akrab. Semilir. Berembus dari masa lalu yang belum lagi tertinggal jauh.

“Apakah suatu hari kita akan kembali ke sini?”

Aku bertanya lirih di sela-sela aroma yang menguar dari cangkirku dan cangkirnya. Ketika itu. Ada kepulan uap yang mengambang pada masing-masing permukaan cangkir. Pertanda bahwa suspensi pekat yang mengisi dua per tiga cangkir keramik itu berada dalam temperatur yang masih sangat panas untuk diminum.

“Tentu. Selama Tuhan masih memberi kita kesempatan, selama itu pulalah kita masih punya harapan.”

Lalu, kudengar suara seruput perlahan-lahan, mengiringi kalimat Andro yang terucap tanpa sedikit pun keraguan itu. Satu hal yang selalu kusuka dari Andro, keyakinannya selalu terpancar dari semua yang dia ucapkan dan lakukan, meski tidak semua rencananya berjalan baik, dan tidak sedikit pula yang berakhir gagal.

Andro terbiasa menghirup kopi pada saat kepulan uapnya masih berputar di atas cangkir. Dan, pada saat sisi luar cangkirnya tidak lagi terasa hangat, dapat dipastikan bahwa ketika itu kopi di dalam cangkir Andro hanya tinggal ampasnya saja.

Harapan. Aku menggumamkan kata terakhir Andro. Manusia memang tidak boleh putus harapan karena Tuhan membenci keputusasaan. Jadi, aku tidak tahu apa reaksi Andro jika pagi ini dia melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku masih bergelung rapat di balik selimut, menyalakan pendingin ruangan hingga menyentuh temperatur terendah, dan belum memutuskan untuk memasak apa untuk sarapan pagi meski di luar sana posisi matahari sudah melampaui batas kemampuan mata untuk memandang lurus.

“Di sini dulunya ada sungai. Sungai yang sangat besar.”

Andro mulai bercerita, cangkir kopinya dia turunkan perlahan-lahan, dan sebelah tangannya dia gantungkan di pinggangnya. Dia menatap Danau Ranau yang terbentang di hadapan kami dari jendela wisma yang kami inapi sejak semalam.

“Lalu, terjadi letusan gunung vulkanik, membuat sungai besar itu berubah menjadi jurang, dan danau ini kemudian terbentuk. Itu, gunung yang di seberang sana, asalnya adalah dari sisa-sisa letusan itu.”

Andro mengangkat tangan dari pinggangnya, menunjuk ke arah Gunung Seminung yang terletak di ujung danau. Dari tempat kami berdiri sekarang danau itu terlihat hanya siluetnya saja, tertutupi oleh kabut.

Dan, Andro masih bercerita danau dan gunung, tentang dampak peristiwa alam yang memetamorfosis perubahan elemen alam, seperti yang terjadi pada Danau Ranau, juga pada Gunung Seminung. Keindahan Danau Ranau dan Gunung Seminung mungkin saja tidak dapat disaksikan pagi ini jika saja dulu tidak terjadi letusan gunung vulkanik. Andro masih asyik bercerita saat kusadari bahwa cangkirnya telah berpindah ke atas meja kecil di bawah jendela.

Aku bahkan baru dua kali menghirup kopiku sementara yang tersisa dalam cangkir Andro hanya tinggal butiran ampasnya yang lembap.

“Kopinya enak. Sayang, cangkirnya terlalu kecil. Aku mau pesan secangkir lagi sebelum kita pergi.”

Aku buru-buru menahan lengannya saat dia sudah bergerak menuju meja telepon. “Bagaimana kalau pagi ini tidak ada cangkir ekstra? Ini bukan soal harganya, tapi sejak semalam seingatku kamu sudah minum lebih dari empat cangkir.”

Andro meloloskan lengannya dari peganganku yang tidak terlalu erat tanpa banyak kesulitan. Dan, senyum yang kemudian terukir di wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak setuju usulku.

“Mau bagaimana lagi, Dan? Kopi luak ini terlalu nikmat, sayang sekali kalau menikmatinya hanya secangkir. Dan, rasanya pasti berbeda jika kita sudah meraciknya sendiri di rumah, atau juga di kafe.”

Andro telah mengangkat dan memutar nomor telepon saat aku menurunkan cangkir kopiku, memesan secangkir lagi, bersama dua porsi roti bakar. Ya. Bahkan, kami telah lebih dulu menghangatkan lambung dengan cairan hitam itu sebelum mengisinya dengan makanan apa pun.

Kebiasaan itu pemicu terbesar penyakit mag. Dokter Anna, dokter langgananku akan selalu bilang begitu jika penyakit kambuhan itu menyerangku. Dia mengenal persis siapa aku, juga siapa Andro, dua manusia yang nyaris tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaan menghirup kopi setiap pagi. Nyaris pula tidak pernah bisa mematuhi nasihat agar mengurangi asupan kafein.

Dulu, sebelum aku bertemu Andro, aku belum benar-benar menjadi seorang coffee lover. Aku hanya minum kopi yang dikemas dalam sachet-sachet instan, yaitu kopi yang telah bercampur bubuk krimer dan gula, lalu untuk meminumnya tidak perlu air yang benar-benar mendidih, hanya tinggal menuangkan air panas. Air mendidih delapan puluh derajat Celcius sudah cukup untuk melarutkan ketiga komponen itu dan menikmatinya dalam suspensi yang terasa halus saat mengaliri tenggorokan.

Akan tetapi, kehadiran Andro dalam hidupku telah memetamorfosis kebiasaan itu. Sachet-sachet itu masih tergantung rapi di dinding dapur. Nyaris tidak pernah kusentuh lagi kecuali hanya pada saat aku benar-benar kekurangan waktu untuk menyeduh. Andro telah memperkenalkanku sebuah dunia dan pemahaman baru tentang kopi. Dunia dengan bubuk-bubuk kopi terbaik hanya bisa diracik dengan air yang benar-benar mendidih, teknik pengadukan yang stabil, dan komposisi yang terukur saat memutuskan untuk menambahkan gula atau krimer ke dalamnya. Dan, Andro yakin, bahkan sangat yakin, bahwa kopi yang berasal dari biji-biji kopi terbaik itu tidak akan memicu penyakit mag asal diolah secara tepat, proses penggilingannya saat masih berbentuk biji berlangsung sempurna, dan peminumnya tahu persis batas maksimal yang bisa dia toleransi.

Lihat selengkapnya