Hari ini bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia. Walau tanggal merah, tetapi lembaga pendidikan wajib mengadakan upacara bendera. Meskipun sekarang hari Minggu, tetap saja seluruh siswa diwajibkan masuk sesuai dengan peraturan pemerintah.
“Eh, abis ini langsung pulang?” bisik Kena kepada Arin.
“Gak tahu. Pulang aja kek. Kepsek lama banget lagi ceramahnya,” jawab Arin setengah ngedumel saat Kepala Sekolah di depan sedang memberi ceramah. Ini adalah bagian paling bikin ngantuk dalam upacara.
Kena kembali dalam posisi siap, tapi matanya bergerak liar menyapu keadaan sekitar. Untung saja dia ada di barisan paling belakang, jadi kalau nengok sedikit juga nggak ketahuan.
Saat menengok ke arah jam dua, mata Kena terpaku pada siswa yang sedang berdiri dengan tubuhnya yang tinggi. Sosok itu lagi, berdiri tenang dengan raut wajah datar. Kena terus memperhatikannya. Seorang cowok yang penuh misteri, dalam satu kali tatap semua tahu kalau dia tidak pandai bercakap. Pendiam, dan dingin. Sena.
Semakin memperhatikannya, jantung Kena malah berdetak tidak keruan. Darahnya berdesir dari ujung kaki ke ujung kepala. Cepat-cepat dia menunduk dan menormalkan kembali jantungnya.
Setelah cukup lama, akhirnya pidato Kepala Sekolah selesai. Dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan dan pembacaan doa. Rangkaian acara telah selesai, siswa pun dipersilakan untuk membubarkan barisan dan boleh pulang.
“Kena! Bisa bantuin Ibu sebentar?” Seorang guru wanita yang bernama Ibu Reni menghampiri Kena yang sedang berjalan di lapangan.
“Ya, Bu?”
“Ambilkan buku Ibu di kelas IPA-2, ya?” “Dua belas IPA?” tanya Kena melengkapi. “Iya.” Ibu Reni mengangguk.
“Oh, oke, Bu.” Kena langsung melakukan apa yang diperintahkan gurunya itu. Dia melewati beberapa siswa yang masih mengobrol di depan kelas, sesekali tersenyum kalau ada yang menyapanya.
Sampai di depan ruang kelas XII IPA-2, Kena mengetuk pintu walau dia tahu ruang kelas kosong. Di meja, ada dua buku cetak dan satu buku tulis. Kena mengambil dua buku cetak itu karena dia tahu buku itu milik Ibu Reni. Penglihatannya tertumbuk pada buku absen yang bersampul batik. Hatinya tergelitik untuk membuka buku itu, demi mengetahui satu nama yang membuatnya penasaran. Tangannya bergerak untuk membuka daftar nama penghuni kelas tersebut.
Sena Putra Dirmaga.
Dia tersenyum melihat nama itu. Bagai ada lesakan yang hangat menyelimuti hatinya. Malu bercampur gembira akan kenangan yang terbuka dari kejadian beberapa tempo lalu. Namanya Sena, Sena Putra Dirmaga, gumamnya senang.
Kena pun menutup buku absen dan berjalan meninggalkan kelas, melangkah ringan dan riang bagai kapas yang pasrah diempas angin. Ibu Reni tidak ada di lapangan. Kena melangkah lagi menuju ruang guru. Ketika membuka pintu, jantung Kena berhenti lagi melihat Bu Reni sedang mengobrol dengan Sena. Dia mematung di ambang pintu, lalu tersadar saat Sena sudah berjalan meninggalkan meja Bu Reni.
Susah sekali rasanya menelan ludah saat berpapasan dengan Sena. Kena menunduk dan berjalan kikuk ke meja Bu Reni. Jantungnya lebih berdegup saat Sena melewatinya dengan santai. Lagi-lagi Sena tidak menghiraukan siapa saja yang ada di depannya. Kena mendongak, dan mendapati Sena sudah berjalan ke luar ruangan.
“I—ini, Bu.” Tangan Kena gemetar menyerahkan buku itu ke Bu Reni.
“Oh iya, makasih ya! Kenapa gemeteran?”
Hayo! Harus jawab apa si Kena?
“Engg—enggak kok, Bu!” Kena menampilkan senyumnya selebar mungkin, Padahal jantungnya berdegup tidak keruan. “Bu...”
“Ya?”
“Tadi Sena ya?” Untuk ini, Kena akan memberanikan diri.
“Iya, kenapa?”
“Gak papa, Bu. Nanya doang,” jawab Kena sesantai mungkin.
“Kamu suka yaaa??” ledek Bu Reni. Saat itu juga pipi Kena merah dibuatnya. Kepalanya menggeleng cepat dan jadi gelagapan.
“Dihh—enggak! Ibu sok tahu nih!” Wajah Kena yang putih langsat jadi merah seperti kepiting rebus. Bu Reni cuma ketawa. Kena pun izin pergi sebelum Bu Reni makin meledeknya.
Betapa kencang degupan jantungnya bagai gendang yang tak bernada. Terlalu cepat, sampai desirannya berkumpul di wajah. Kena juga tidak mengerti dari mana asalnya, bagaimana tubuhnya bisa bereaksi seperti itu saat ada Sena. Dari kapan pun, ia tidak mengetahuinya dengan pasti.
***
Dalam naungan raja kegelapan, bumi terasa sunyi. Meski ada beberapa bintang yang dengan sukarela menampilkan cahayanya, dan sang rembulan yang mengintip di balik mendung, desir angin masih terasa menggigit kulit. Mungkin alam sedang bingung, sama bingungnya dengan gadis itu. Dia dari tadi hanya mondar-mandir di dalam kamar sambil memegangi ponselnya.
“Cari tahu. Enggak. Cari tahu. Enggak,” gumamnya untuk mengambil suatu keputusan. Langkahnya berhenti di depan kasur, dan langsung mengempaskan diri di atas pulau kapuk itu.
Rasa penasarannya mengalahkan keraguan yang dari tadi menghalangi. Dia langsung mengetik beberapa kata dan mengirimkan kepada orang yang sekiranya tepat.
Kena: Arin, gue nanya dong!
Jantungnya berpacu cepat menunggu pemberitahuan. Sejurus kemudian, dia mendapat balasan.