Kedua tangan ibu tiga anak itu menutup wajahnya yang mulai bercucuran air mata. Badannya sampai berguncang-guncang saking emosinya.
Elena terdiam. Prestasinya memang memberinya materi yang berlimpah dan dihormati banyak orang, tetapi jiwanya terasa kosong. Ia tidak tahu apakah orang lain datang mendekatinya karena memang tulus ingin berteman dengan dirinya ataukah sekedar ingin mendompleng prestasinya.
Semua orang tampak berusaha mengambil hatinya, mengundangnya ke acara-acara asuransi untuk menceritakan pengalamannya dan berbagi ilmu. Mereka menyemangatinya untuk bekerja lebih baik lagi dan berprestasi lebih dahsyat dibanding sebelumnya. Aku bagaikan sapi perahan, keluhnya dalam hati.
“Lena mau menikah, Ma….”
Sang ibunda menatapnya nanar.
“Dengan siapa?”
“Thomas. Mama masih ingat?”
Soraya terkejut bukan kepalang. Ingatannya kembali pada masa sepuluh tahun silam…pada seorang pemuda bertubuh tinggi kurus yang kala itu menjadi kekasih anaknya.
“Bukankah kamu sudah lama putus hubungan dengan dia? Mama kira kamu sudah benar-benar melupakannya.”
“Sepuluh tahun yang lalu kami pernah berencana untuk menikah setelah tiga tahun berpacaran. Tapi Lena lalu membatalkannya karena Levi dan Lita masih kuliah dan penghasilan mereka sebagai SPG belum memadai untuk menunjang kehidupan keluarga. Lena mau fokus berkarir dulu di bisnis asuransi. Sayangnya Thomas nggak setuju. Menurutnya pekerjaan ini kalau ditekuni memang bisa menghasilkan banyak uang, tapi juga merampas sebagian besar waktu Lena buat keluarga. Akhirnya kami putus hubungan karena perbedaan visi.…”
“Lalu kenapa sekarang bisa nyambung lagi?”
“Hati Lena sangat hancur sewaktu berpisah dengan Thomas, Ma. Tapi nggak bisa Lena tunjukkan di depan Mama dan adik-adik karenaLena harus bersikap tegar sebagai tulang punggung keluarga. Lena hanya bisa curhat pada Pak Boy, leader Lena. Dari sekedar curhat biasa akhirnya berkembang menjadi hubungan yang lebih mendalam….”