“Waktu aku pergi ke Jogja minggu lalu, kulihat Mas Toro sedang makan siang berdua dengan perempuan cantik. Saat kusapa, katanya itu kliennya.”
Nanda tersenyum mendengarkan penuturan Yanti. Dia tahu sahabatnya itu sangat menyayangi dirinya bagaikan saudara sendiri.
“Kamu kok bisa tenang begini, Nan? Nggak takut suamimu diambil perempuan lain?”
“Mas Toro itu sudah bertahun-tahun bekerja sebagai marketing tekstil, Yan. Pertemuan dengan klien lawan jenis, apalagi makan siang bersama itu sudah lumrah.”
“Nanda, aku melihat sinar mata wanita itu seperti punya maksud tertentu terhadap suamimu. Dan sepertinya Mas Toro menyambutnya. Karena sebelum aku menyapanya, kuperhatikan terlebih dahulu cara mereka berdua saling menatap, berbincang, dan bercanda satu sama lain. Aku ini pernah diselingkuhi suam, lho. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang nggak beres antara suamimu dengan wanita itu, bukan sekadar hubungan profesional.”
Nanda tercenung.. Rumah tangganya telah berjalan selama dua belas tahun. Riak-riak kecil maupun besar telah dilaluinya pada tahun-tahun awal pernikahan. Pertengkaran-pertengkaran akibat ketidaksamaan visi seringkali terjadi dulu. Bahkan dirinya dan suami sempat berpikir untuk mengakhiri saja biduk rumah tangga yang telah dikaruniai seorang putra itu. Namun kebangkrutan usaha Toro membuatnya mengurungkan niat untuk berpisah. Dirinya tak sampai hati meninggalkan laki-laki itu sendirian terpuruk tak berdaya.
Kemudian mereka sepakat untuk membenahi ketidakharmonisan perkawinan dengan cara belajar ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Suaminya lalu mendapatkan pekerjaan sebagai marketing di sebuah perusahaan tekstil dan kondisi finansial mereka berangsur-angsur membaik. Tujuh tahun terakhir ini kehidupan rumah tangganya cukup harmonis tanpa perselisihan yang berarti.
Toro kerap mendapatkan tugas ke luar kota. Beberapa hari hingga seminggu penuh sudah biasa dilaluinya tanpa keberadaan suaminya di rumah. Dirinya tidak pernah mengecek apakah lelaki yang kini berusia empat puluh lima tahun itu pergi ke luar kota benar-benar untuk bekerja ataukah ada urusan lain. Nanda memang percaya seratus persen pada pasangan hidupnya itu.
“Apa yang akan kamu lakukan kalau berada di posisiku, Yan?”
“Dulu aku langsung bertanya pada suamiku siapakah wanita yang dilihat sepupuku berjalan bergandengan tangan dengannya di mal. Dia bilang itu kliennya. Akhirnya kuperiksa semua percakapan dan foto di ponselnya. Kucari foto wanita yang sama persis mukanya dengan foto yang dikirimkan sepupuku. Setelah kutemukan, kutelepon dia memakai ponsel suamiku dan kudengar sahutan mesra: Halo, Sayang. Langsung dia kuajak untuk bertemu dengan kami di ruangan VIP sebuah kafe. Di sana kubeberkan foto-foto mesra mereka berdua dan kedua makhluk biadab itu diam saja tak mengucapkan sepatah katapun. Kuminta suamiku memilih salah satu diantara kami berdua. Kalau dia memilih perempuan itu, maka aku akan menceraikannya tanpa uang sepeserpun. Dia akan dipecat dari perusahaan ayahku, mobilnya akan disita, dan rekening banknya akan dibekukan. Selain itu jangan harap bisa bertemu dengan kedua anak kami lagi!”
Nanda bergidik ngeri. Tak sanggup rasanya ia melabrak suaminya dan perempuan lain seperti itu. “Lalu selanjutnya bagaimana?” tanyanya penasaran.
“Tentu saja suamiku memilihku! Dia mengucapkan selamat tinggal pada WIL-nya itu di depan mataku dan sejak saat itu kuberi dia nomor ponsel yang baru yang di dalamnya diselipi perangkat GPS. Jadi kemana pun dia pergi selalu dalam pantauanku. Laki-laki pada dasarnya sama, Nan. Gampang tergoda wanita lain kalau nggak ada istri di sampingnya.”
Kepala Nanda tiba-tiba terasa pening. Apakah yang harus kulakukan, Tuhan? batinnya nelangsa.