"Salam kenal, namaku Cornelius Zii," ucapnya dengan senyum lebar.
Aku spontan mengerutkan kening. Namanya terdengar asing, lidahku terasa kaku mencoba mengucapkannya.
"Corne..."
"Cornelius Zii," ia menyambung cepat. Lalu menambahkan dengan ramah, "Tapi kau bisa panggil aku Zii saja."
Aku tersenyum kecil, kemudian melepaskan jabat tangannya. Setelah situasi dirasa tidak canggung lagi, aku memberanikan diri untuk bicara. "Aku hanya ingin bertanya padamu, benarkah kamu pegawai ELRIS?" Pertanyaan itu membuat Zii tersentak kecil. Ia langsung memandang nametag yang dipakainya. "Oh, pasti gara-gara ini ya?" ucapnya sembari menunjuk nametag tersebut. "Ya, aku memang bekerja di ELRIS. Ada hal yang bikin kamu penasaran waktu dengar nama itu?" tanya Zii, menatap wajahku penuh perhatian.
"Oh, gak kok, aku cuman merasa lebih senang aja. Soalnya, jarang-jarang pegawai ELRIS datang kesini. Biasanya yang kesini itu mahasiswa-mahasiswi yang sedang kesepian, atau sekadar karyawan dari Neo Enigma yang mampir, pesan makanan/minuman ringan, lalu pulang lagi," jelasku pada Zii.
Zii mengangguk pelan. "Ohh, gitu ya. Hehe, yasudah." Ia kemudian mengambil cangkir di meja dan menyeruput kopinya dengan santai. Begitu menaruh cangkir kembali ke meja, ia menoleh padaku. "Menurutmu, ELRIS itu punya dampak gak pada kehidupanmu?"
Aku menaruh lenganku pada meja. "Bagiku, jelas ELRIS memberi dampak besar bagi kehidupanku. Aku sendiri malah tinggal di apartemen subsidinya—ELRIS Public Housing. Kalau gak, ya... mungkin aku harus tinggal di rumah kontrakan murah?" jelasku disertai tawa ringan. Zii ikut tertawa ringan.
"Oh, kamu tinggal di apartemen itu?" tanya Zii yang masih tidak percaya. Aku mengangguk-angguk padanya.
"Kalau boleh tau, di ELRIS biasanya kamu mengerjakan apa?" tanyaku dengan wajah penuh penasaran. "Kebetulan aku supervisor, jadi tugasku hanya mengawas saja untuk beberapa proyek disana." Mataku seketika terbelalak mendengarnya.
"Su-supervisor?" tanyaku yang masih tidak percaya.
"Ya, kurang lebih seperti itulah." Zii mengangguk pelan dengan senyum kecil. Ia kemudian menyeruput kopinya kembali.
Usai menyeruput, ada bintik kecil ampas kopi menempel di atas bibir Zii. Itu membuatnya kocak banget, haha! Aku yang memerhatikan itu langsung mengeluarkan serbet di saku baju seragamku. Lalu, aku mendekati Zii dengan pelan.
"Apa yang kamu-"
"Kok bisa ya, kamu suka mengawasi orang lain, sementara dirimu sendiri kadang masih berantakan dengan hal kecil begini?" potongku pada Zii sembari mengusap ampas kopi di atas bibirnya.
Zii sempat terdiam, lalu tersenyum tipis. "Tapi ini cuma ampas kopi… lagipula, nggak ada hubungannya sama proyek pekerjaanku."
"Hum?" Tanganku mendadak berhenti mengusap bibir atas Zii. "Oh, begitu ya? Yasudah, aku nggak akan lanjutin ini," tambahku sambil tertawa dan menarik tanganku dari wajahnya. Ampas kopi itu masih tersisa sedikit di bibir atasnya
Zii mendadak memegangi lenganku. "Bukan begitu maksudku." Ia menghela nafasnya dengan panjang. "Y-ya... apapun itu, aku mengalah. Tapi tolong bersihkan ini lagi, kumohon," lanjutnya dengan wajah yang agak memerah.
Genggamannya cukup kuat di lenganku. Wajahku juga ikut memerah karenanya. Maksudku, kenapa dia tiba-tiba sekali pegang tanganku?
Aku berdeham kecil, kemudian mencoba berbicara kembali. "Oke-oke, aku lanjutin. Tapi lepaskan dulu tanganmu ini." Zii melepaskan genggamannya dari lenganku. Aku pun kembali membersihkan bibir atas Zii. Suasana mendadak hening untuk sementara waktu.