Aku terkejut mendengarnya. Dia tinggal di apartemen mewah itu??!
"K-kamu tinggal di apartemen itu?" tanyaku dengan mulut yang gemetar. Zii menatapku dengan heran.
"Ya, aku memang tinggal disitu. Aneh kah?" Pertanyaannya itu membuatku kikuk, seolah aku menanyakan sesuatu yang aneh padanya.
"Oh, e-enggak aneh, kok... aku cuman terkejut aja mendengarnya," ucapku dengan senyum canggung seraya melambai-lambaikan kedua tangan. Zii hanya tersenyum tipis.
Apaan sih aku ini? Begini saja kok terkejut. Lagipula... emang gak aneh seharusnya mengingat Zii sebagai supervisor. Jelas gajinya lebih tinggi daripada aku yang berdiri seharian dan catat-catat sebagai kasir.
Zii kembali menatap ponselnya lagi. Ia mencoba buka-tutup aplikasi Flying Taxi lagi. Mukanya tampak mulai lelah, tatapannya kosong melihat aplikasi tersebut yang masih tidak berfungsi.
"Kenapa Zii? Aplikasinya masih error, ya?" Zii menghela nafasnya dengan panjang. "Kayanya aku harus jalan kaki malam ini," ucapnya seraya memasukkan ponselnya kedalam saku celana. "Eh, tapi, bukannya katamu jaraknya 28km dari sini?" Zii mengangguk. "Ya... hitung-hitung aku berolahraga tipis-tipis. Lagipula siapa tau nanti aplikasinya berfungsi lagi, kan?" jawabnya dengan mantap. "Begitu, ya? Baiklah..." ucapku dengan lega.
Kami berdua mulai berjalan pelan di jalur trotoar. Disamping kami melintas sedikit pemotor. Sementara mobil-mobil yang biasa penuh beterbangan di langit jumlahnya mulai mengurang. Orang-orang disekeliling kita tidak seramai siang hari. Lampu-lampu setiap rumah dan mall-mall mulai menyala terang — menghiasi transisi senja ke malam dengan lembut.
Baru saja berjalan beberapa langkah, Zii langsung menatap wajahku lagi. "Kamu sendiri gimana? Pulang jalan kaki juga, kah?" tanyanya. "Aku sudah terbiasa pulang berjalan kaki begini," jelasku. Zii hanya tersenyum tipis. Ia kemudian memusatkan kembali pandangannya ke depan.
Suasana pun mulai hening namun, didukung oleh pemandangan malam yang begitu hangat. Mataku begitu rileks melihat pemandangan sekitar. Beberapa toko-toko mulai menyetel musik jazz instrumental. Ada juga yang menyetel lagu pop dengan volume yang kecil — membuat telingaku nyaman mendengarnya. Angin sepoi-sepoi juga mengibas-ngibas rambutku dengan lembut.
Inilah momen yang sangat kutunggu-tunggu setiap malam pulang kerja. Setiap langkah yang kutempuh, pasti di sisi kanan-kiriku selalu ada Uni Shop — minimarket yang menyempil. Di tengah perjalanan, ada mall besar yang beroperasi selama 24 jam dengan plang besar bertuliskan 'Uni Mall'.
Di dalamnya, ada banyak produk-produk beragam dari banyak kategori. Yang sangat ramai dikunjungi orang-orang setiap hari adalah bagian lini hiburannya. Ada EniGame Space sebagai distrik game terbesar disana. Ada NE Cinema sebagai bioskop besar disana. Keduanya biasa dikunjungi anak-anak hingga orang dewasa.
Rasanya... suatu saat aku ingin deh berkunjung ke dalamnya sesekali.
Sesekali aku menatap cara Zii berjalan disampingku. Cara Zii berjalan benar-benar seperti piano yang dimainkan secara berurutan — rapih, mengalun, seolah tiap gerakannya mengikuti nada.
"Aku merasa kok kamu tinggi banget. Memangnya berapa tinggimu, Zii?" tanyaku seraya berjalan disamping Zii. Zii mengernyitkan keningnya. "Terakhir aku cek itu 183 cm kalau tidak salah," jawabnya dengan santai.
Aku tiba-tiba saja ingin tertawa. Zii langsung menatap wajahku dengan aneh. "Kenapa kamu tertawa? Aneh kah?" tanya Zii yang keheranan. Rasa tertawaku tiba-tiba saja mulai pecah disitu. "Aku hanya tiba-tiba terbayang kalau kepalamu yang tinggi itu pasti suka kejedot pintu masuk Uni Shop yang pendek, ya? Ahaha!" Entah kenapa, perutku benar-benar tidak bisa tertahan disitu. Rasanya aku ingin tertawa. Zii ikut tertawa sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Kamu gak salah, sih. Setiap kali aku mau belanja di Uni Shop pasti harus nunduk dulu di pintu masuk. Makanya, aku lebih suka nitip ke temenku untuk beli makanan disana," jelas Zii.
Zii kemudian menatapku dari kepala sampai kaki dengan singkat. "Kamu juga tinggi untuk ukuran cewek. Emangnya, berapa tinggimu?" tanya Zii seraya melihat wajahku lagi yang masih mengusap-usap sisa air mataku selepas tertawa tadi. "Kalau tidak salah, tinggiku 171 cm. Robot kompanion di rumahku yang suka ngeceknya." Setelah mengatakan itu, Zii langsung serius memerhatikanku. "Kamu punya robot kompanion di apartemenmu?" tanyanya yang masih tidak percaya. Aku mengangguk mantap padanya. "Ya, namanya Kaela. Kalau tidak salah, um... tipe modelnya X-10, deh," jelasku.
"Oh, model lama, ya?"
"Iya. Aku dulu beli setelah 4 bulan kerja di Alteris Coffee Shop."
Kita berdua terus mengobrol banyak hal di sepanjang perjalanan. Sesekali, kita berdua berhenti di persimpangan zebra cross karena lampu merah, lalu mulai berjalan kembali setelah lampu berwarna hijau kembali. Beruntungnya, Zii orangnya sangat terbuka, meski dia memiliki profesi yang sangat bergengsi. Dengan wajahnya yang tampan dan badannya yang tinggi itu, bisa saja dia bersikap sok tampan dan menggaet banyak wanita. Tapi tidak, dia tampaknya bukan orang yang seperti itu. Bahkan, dia sendiri bilang kalau dia tidak punya sosial media. Dia lebih senang berpikir, berimajinasi, dan mengisi kesehariannya dengan produktivitas.