Kaela melayang ke kursi yang tadi diduduki Zii. Ia mengambil sesuatu.
"Stella, ini... bukannya id card Zii, ya?"
Aku dengan sigap mendekatinya, seolah takut Kaela salah lihat. Kupegang id card dari tangan Kaela, lalu kutatap dalam-dalam id card tersebut. Didalamnya, tertulis ada nama 'Cornelius Zii', foto diri terpampang disampingnya, lalu ada alamat tempat tinggal Zii disitu lengkap dengan nomor ruangannya. Kubalikkan kartu tersebut, disitu terpampang besar logo ELRIS.
Entah mengapa aku merasa bahwa ini id card yang sangat penting, dan Zii sepertinya lupa untuk menyimpan kembali di saku jasnya.
"Stella, apa kamu punya kontak Zii? Kalau iya, coba hubungi dia sekarang," pinta Kaela sembari menatap mataku.
Dengan segera aku mengambil ponselku dari saku celana dengan tangan kanan. Kunyalakan ponselku, dan kubuka aplikasi 'kontak'. Kucoba scroll di segmen huruf 'c', namun nihil, tidak ada nama 'Cornelius Zii'. Kuturunkan tangan kananku seraya menghela nafas.
"Astaga... aku lupa buat minta kontak dia. Lagipula, dia orang yang baru kutemuin di tempat kerja dan kebetulan saja pulang bareng," ucapku seraya menatap mata Kaela. Kaela tidak mengucapkan sepatah kata selama beberapa menit dengan ekspresinya yang tampak bingung.
"Lalu bagaimana dong?" tanya Kaela sambil mengangkat alis wajah yang tampak di monitornya. Aku menyentuh daguku dengan satu tangan — berharap mendapatkan ide bagus. Mataku menatap lantai ruangan. Tak lama kemudian, wajahku kembali menatap Kaela. Kusimpan id card Zii disaku celanaku.
"Kenapa malah disimpan disakumu, Stella?" tanya Kaela seraya mengangkat kedua tangan pendeknya. "Untuk sementara ini, kusimpan saja dulu disini biar tidak lupa besok saat aku pergi kerja. Mungkin aja besok pagi atau siangnya Zii akan kembali ke tempat kerjaku, kan?" jelasku pada Kaela. Kaela hanya membalasku dengan senyuman manis.
"Baiklah. Kalau gitu, boleh aku lanjut masak dulu?" Aku mengangguk. "Ya, tapi tolong sekaligus buatkan aku matcha juga ya?" pintaku pada Kaela. "Okie-dokie Stella!" sahut Kaela riang. Ia mengangkat tangan kanannya, jari telunjuk dan jempol bertemu membentuk lingkaran, sementara tiga jarinya yang lain terangkat ringan. Ia langsung melayang pergi ke dapur.
Aku kembali duduk di kursi sofaku sembari menyalakan ponsel. Kubuka aplikasi Xritter. Berita di fyp ku penuh dengan postingan proyek Liminal Gate dari banyak sumber — mulai dari akun ELRIS resmi, maupun postingan ulang dari beberapa akun siaran berita. Kulihat, lalu kutekan salah satu postingannya yang berisi video demonstrasi proyek Liminal Gate.
Videonya hanya berdurasi beberapa detik saja, dan isi videonya hanya ada satu ilmuwan yang menarik tuas dari salah satu meja berisi tombol-tombol rumit, lalu kamera menyorot pada gerbang besar bersinar dengan terang benderang secara bertahap. Video itupun hanya sampai situ. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari caption-nya lagi.
"Stella, ini matcha nya," ucap Kaela seraya meletakkan cangkir berisi matcha hangat di meja. Kuturunkan ponselku, lalu menatap Kaela dengan senyum. "Makasihh matcha-nya." Kunaikkan kembali tangan kananku yang memegang ponsel. Fokusku kini kembali pada ponsel.
"Stella..." Ucapan Kaela dengan nada malu-malu terdengar di telingaku. Kuturunkan lagi ponselku. Wajahku kini terpusat pada wajah Kaela. Dilihat-lihat, dia sangat lucu mengenakan celemek pendek — membuatku ingin tertawa. "Ya, kenapa?" Kaela merapatkan kedua telunjuknya berulang-ulang di depan dada, wajahnya tampak malu-malu.
"Anu... apa kamu punya rencana ingin punya model robot baru?" Pertanyaan itu membuatku sedikit terkejut mendengarnya. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya begitu?" tanyaku dengan penasaran padanya. Ekspresi mulut dia yang tampil di monitor bergetar tipis. Tidak biasanya dia begini. "Aku..." Ucapannya tidak selesai. "Ya, kamu kenapa?" tanyaku yang semakin penasaran. "Aku... kan model lama, apa kamu gak mau berniat ganti? Sekarang kan sudah rilis model-model baru, fiturnya lebih banyak juga," tutur Kaela dengan terbata-bata disertai senyum yang tampak terpaksa.
Ucapannya membuatku mengingat kembali beberapa menit sebelumnya — saat Zii bilang robot kompanion model lama. Kini aku paham dengan sikapnya yang malu-malu itu. Senyum hangat seketika mengembang di wajahku seraya menatap Kaela. Tanganku meraih kepalanya, kemudian mengusapnya dengan lembut.
"Jadi, kamu takut untuk diganti model baru, ya?" ucapku sembari mengusap-usap kepalanya. Kaela hanya mengangguk-angguk sambil menatap lantai. Wajahnya langsung murung, padahal baru saja beberapa menit dia memasang senyum yang terpaksa. "Kamu tau alasanku kenapa milih kamu?" Kaela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah... biar kuceritakan lagi kisahnya."
Pikiranku menerawang masa lalu, jauh saat aku baru saja lulus dari Neural Senior High School. "Saat aku baru aja lulus dulu, aku memutuskan untuk langsung kerja. Aku sangat tidak ingin hidupku bergantung pada orang lain atau menjadi pengangguran. Jadi, aku mencari-cari tempat kerja yang ingin menerimaku. Aku gak punya keahlian, aku gak pintar, dan aku gak punya kenalan. Semua itu karena aku orang yang agak antisosialis dan lebih damai di kesendirian. Saat aku scrolling sosial media, disitu ada lowongan kerja untuk posisi kasir di Alteris Coffee Shop. Dengan cepat, aku segera lamar kerjaan itu."
Aku berhenti sejenak untuk menghela nafasku. Kemudian, mencoba melanjutkan ceritaku kembali pelan-pelan. "Lalu besoknya, dengan cepat pak Jun Ho segera memanggilku ke kantor pusat Neo Enigma untuk wawancara. Tahu gak? Kantornya sangat besarrr banget. Saat aku bertemu dengannya, beberapa menit kemudian aku langsung ditanya segelintir pertanyaan, mengisi formulir, dan tandatangan kontrak selama 4 bulan untuk masa percobaan. Besok harinya, aku langsung kerja. Baru saja selesai hari pertama bekerja, uh, rasanya sangat lelah sekali. Tapi..."