Woojin terus menceritakan apa yang terjadi pada hari itu.
Hye-ah dan rekan-rekannya juga mendengarkan dengan serius sambil mencatat poin-poin penting.
“Setelah menghantamnya dengan botol itu, aku langsung lari kembali ke rumah, aku terlalu takut untuk pergi bekerja pada hari itu”, jelas Woojin.
Woojin memang mempalsukan bagian akhir dari ceritanya, entah apa yang membuat dia melakukan itu.
“Kau tidak melihat wajahnya?”, tanya Jungseok.
“Kan dia memakai topeng, aku hanya bisa melihat mulutnya saja.
“Apa ada ciri-ciri khusus?”, tanya Taejun.
“Dengan menggunakan botol kaca itu, dia menghantam siswi itu dengan tangan kirinya, kemungkinan dia kidal? Karena cenderung orang akan menggunakan tangan utamanya untuk melakukan segala sesuatu”, jelas Woojin.
“Ah saksi sebelumnya juga mengatakan hal yang sama”, kata Hye-ah sambil mengingat kesaksian Jeongtae pada malam itu.
“Oh iya, dan pada waktu itu, bagian bawah celananya tergulung sedikit, dan aku melihat seperti luka di kakinya, seperti… luka bakar”, jelas Woojin.
“Apa ada ciri lain?”, tanya Taejun lagi sambil mencatat ciri-ciri yang sudah disebutkan Woojin tadi.
“Tidak ada, pakaiannya tertutup sekali, jadi aku hanya bisa melihat mulut dan bagian kakinya saja”, jelas Woojin.
“Lalu, kenapa kau ketakutan saat kami mendatangimu pertama kali?”, tanya Hye-ah.
“Ah itu… aku takut kalau-kalau ternyata dia sedang mengintaiku, lalu melihatku melaporkan kejadian itu pada kalian. Kalau itu sampai terjadi, aku takut adikku juga dalam bahaya”, jelas Woojin.
“Ah begitu…”, jawab Hye-ah.
“Uhm… bagaimana lukamu?”, tanya Woojin dengan wajah khawatirnya sambil memperhatikan luka di wajah Hye-ah.
“Ah ini, iya baik-baik saja kok, terima kasih”, jawab Hye-ah.
“Wah aku merasakan aura-aura cinta”, kata Taejun sambil senyum-senyum memperhatikan Hye-ah dan Woojin.
“Kau ini!”, oceh Hye-ah sambil memukul kepala Taejun.
“Wah hyeong! Selamat!”, kata Wangsoo.
“Kenapa tiba tiba mengucapkan selamat padaku?”, tanya Woojin tidak mengerti.
“Kau suka Hye-ah nuna kan? Baru pertama kali kau menyukai seseorang! Bahkan aku pernah berpikir jangan-jangan kau itu menyukai pria (gay) “, kata Wangsoo kemudian tertawa dan menjauhi kakaknya, karena ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kurang ajar! Sini kau!”, teriak Woojin kemudian mengejar adiknya.
“Kau berani-beraninya!”, oceh Woojin ketika sudah mendapatkan adiknya.
“Lepas lepas! Kau tidak malu dilihat Hye-ah nuna seperti ini?”, teriak Wangsoo sambil meronta-ronta.
“Ah, maaf berlaku seperti ini di depan kalian”, kata Woojin sambil membungkukkan badannya, dan tetap mencengkram lengan baju adiknya.
“Ah… setidaknya lepaskan aku dulu…”, kata Wangsoo sambil cemberut.
“Ahahaha tidak apa-apa, kalau begitu kami pergi dulu, terima kasih banyak sudah memberitahu kami semuanya yang terjadi hari itu, sekali lagi terima kasih banyak”, kata Hye-ah kemudian membungkukkan badannya sebagai tanda terima kasih.
“Ah iya sama-sama”, kata Woojin sambil membungkukkan badannya.
“Kau beraninya berpikir aku gay? Hah?!”, teriak Woojin setelah Hye-ah dan rekan-rekannya sudah keluar dari rumah mereka, kemudian kembali menghajar adiknya.
“Ah hyeong! Lepas! Aku cuma bercanda!”, teriak Wangsoo meronta-ronta.
Sementara itu Hye-ah dan rekan-rekannya dalam perjalanan kembali ke kantor.
“Hahaha, walaupun hanya hidup berdua, mereka itu tetap keluarga yang harmonis”, kata Taejun.
“Iya benar, keluarga yang menyenangkan”, kata Hye-ah.
“Iya, kau kan nanti juga jadi bagian dalam keluarga itu?”, goda Taejun.
“Kau! Mau aku pukul lagi ya?”, ancam Hye-ah.
“Hehehehe, aku hanya bercanda seonbae”, kata Taejun sambil senyum-senyum.
Kemudian mereka terus berjalan menuju kantor.