Banyak hal yang belum kupelajari. Satu kalimat yang sederhana pada dasarnya, tetapi tak semua orang memiliki kesadaran serupa. Aku tengah bersandar di pagar pembatas area parkir mal Tunjungan Plaza. Memandang langit malam dengan kamera yang menggantungkan diri di leher. Baru saja aku dan beberapa temanku melakukan sesi foto dengan cosplayer. Hasilnya cukup memuaskan, namun bagiku ini belum cukup sama sekali.
“Seperti biasa, melamun setelah seharian penuh mengambil foto cosplay.” Jaka kini berdiri di sampingku turut bersandar. “Kepalamu pasti dipenuhi dengan tanda tanya, ‘kan?”
“Bisa dibilang begitu,” balasku singkat. Aku kemudian membalik badanku. “Cukup banyak, dalam waktu semalam tidak mungkin akan beres.”
“Mau ambil foto lagi?”
Aku hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Kakiku sudah pegal, dan hari sudah larut malam. Pemandangan kota di luar sana jauh lebih indah bila dipandang dari atas sini. Ponsel dalam saku bergetar, segera aku merogoh tuk meraih ponel. Sebuah pesan masuk dari nama yang terpampang di layar ponsel bernama Yudha.
“Kelihatannya dia sudah beres mengambil foto.” Aku melepas sandaranku, mengambil lightning yang berdiri tidak jauh dari tempatku. Menyusutkan kaki-kaki mereka. Cukup sederhana sih, hanya mengandalkan tripod kamera sebagai penopang. Aku menggendongnya di pundak.
Kami melangkah menuju pintu masuk mal. Saat melintas, berbagai cosplayer dan fotografer menjadikan lokasi ini sebagai spot foto yang cukup indah, ditambah remang-remang cahaya yang malah membawa kesan sendiri. Melihat peralatan yang dibawa pun kadang membuatku bergidik ngeri. Apa boleh buat, fotografer low budget sepertiku adalah bentuk dari awal yang benar-benar murni, tinggal mode bertahan saja di tengah ramainya fotografer cosplay saat ini.
Tak memiliki komunitas, satu hal yang tergambarkan dalam komunitas fotografer cosplay di Surabaya. Antara aku yang tahu atau memang benar tidak ada. Semua berjalan sendiri-sendiri sebagai pesaing. Hal biasa, kalaupun ada komunitas, persaingan itu masih tetap ada. Yudha sudah berusaha mengumpulkan beberapa fotografer cosplay di Surabaya, dan hasilnya masih sangat minim, jadi belum pasti untuk dibentuk komunitas. Semua berdasarkan individu yang melatih skill sendiri atau membentuk komunitas kecil seperti aku, Yudha, dan Jaka. Aku seperti manusia baru, sebenarnya di antara mereka berdua yang sudah saling mengenal sejak lama, lebih tepatnya saat berada di bangku kuliah. Konon Jaka adalah kakak tingkat Yudha. Itu hanya dugaanku saja.
Lautan manusia semakin memenuhi Convention Hall. Melihatnya saja sudah membuatku menarik napas panjang. “Kenapa juga harus seramai ini di malam hari?”
“Biasanya hari terakhir pasti ramai, apa lagi besok sudah mulai masuk kerja,” balasnya, “mau coba hunting satu lagi?” tanya Jaka.
Kakiku sudah pegal berkeliling seharian. Rasanya ingin sudahan, namun rasa malas masih menghantuiku. Jam-jam segini memang event lagi ramai-ramainya. Semua pengunjung sedang ditarik ke arah panggung untuk bernyanyi bersama. Event Jepang semacam ini hanya dibuat sebagai bentuk pelarian, termasuk aku salah satunya yang mudah jenuh.
Kami memasuki area event, berbagai cosplayer menumpuk di dekat pintu masuk. Namun, saat aku menoleh ke sisi lain. Aku memandang sosok cosplayer perempuan sedang berbicara dengan laki-laki yang lebih tua dariku. Enggak mungkin juga lelaki itu adalah ayah atau kakaknya, namun bisa saja demikian. Karakter yang dikenakan adalah Asuna dari Sword Art Online, dengan rambut warna kastanye dan pakai jirah berwarna putih dengan motif merah. Sepertinya itu kostum Asuna dari seri musim pertama.
Aku menghentikan langkahku dan memandangi mereka. Lelaki itu banyak berbicara sedari tadi, tetapi lawan bicaranya tak membalas sama sekali. Lebih tepatnya berusaha mengabaikannya. Aku memanggil Jaka.
“Jak, kelihatannya aku menemukan buruan satu,” kataku sembari menoleh pada cosplayer Asuna.