Suara derap kaki kuda menggema keras di sepanjang lintasan tanah. Debu beterbangan, bercampur dengan teriakan penonton yang menahan napas. Spanduk berwarna biru dan merah berkibar di tribun. Nama yang mereka serukan berkali-kali adalah milikku.
Aku menunduk sedikit di atas punggung kuda cokelat tua, mataku terkunci pada garis putih di kejauhan. Garis finis yang sudah puluhan kali kulewati sepanjang hidupku. Tapi entah kenapa, kali ini dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut kalah, melainkan karena sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Seolah ada firasat buruk yang menempel di tengkukku.
“Tenang, Lancer. Satu tikungan lagi,”
Kataku lembut sambil menepuk lehernya.
Ia meringkik pelan, kuat dan patuh seperti biasa. Kami melesat, menembus angin yang menampar wajahku hingga mataku berair. Meski begitu, bibirku tetap menahan senyum. Aku tahu betul rasanya ini, hidup di antara kecepatan, risiko, dan kebebasan.
Semua berjalan sempurna.
(* * *)
Sampai sesaat setelah melewati garis finis kaki depan Lancer tiba-tiba terpeleset di tanah yang lembap.
Tubuh besarnya kehilangan keseimbangan. Aku terlempar. Dunia berputar cepat. Suara penonton berubah menjadi jeritan panjang. Lalu...
BRUK!
Tubuhku menghantam tanah keras. Masih sempat kulihat ekor kudaku menendang ke belakang dalam panik. Sebuah hentakan tajam menghantam daguku. Segalanya menjadi putih.
Beberapa menit kemudian, lintasan yang barusan penuh sorak berubah menjadi tempat tragedi. Tim medis berlarian. Seseorang menjerit minta tandu. Darah mengalir di tanah, bercampur dengan debu dan keringat.
Aku bisa merasakannya samar, tubuhku terkulai, mataku terbuka setengah, dan garis finis tampak buram di kejauhan.
Lucu, pikirku. Aku masih melihat ke arah itu, bahkan di saat terakhir.
Aku meninggal di usia empat puluh empat tahun. Tak pernah menikah, tak punya anak, hanya segudang piala dan medali emas dari berbagai kompetisi di seluruh Eropa.
Di pemakaman, orang-orang datang dari jauh. Rekan joki, mantan pelatih, bahkan bangsawan yang dulu jadi sponsor. Mereka memujiku, menyebutku legenda. Tapi tak ada satu pun yang tahu betapa sunyinya hidup yang seluruhnya kuserahkan pada lintasan dan kuda.
“Dia mati di tempat yang paling dia cintai,”
Seseorang berkata di pemakamanku.
Kalimat itu terdengar indah, tapi bagiku justru seperti doa yang belum selesai.
(* * *)
Ketika semuanya usai dan gerimis mulai turun, aku membuka mata.
Aku tidak berada di dalam peti kayu. Bukan di bawah tanah.
Aku berdiri di taman luas yang diterangi sinar matahari sore. Rumput hijau menggelitik sesuatu di bawah tubuhku.
Di kejauhan, seekor kuda putih berdiri diam di tengah taman. Bulunya kusam, tubuhnya kurus, dan kaki belakang kirinya buntung hingga ke lutut. Seekor kuda kerajaan, mungkin. Tapi tampak seolah sudah lama menderita.
Aku menatapnya lama. Ada rasa iba yang aneh, dan sesuatu lagi yang tak bisa kujelaskan.
Kuda itu menatap balik. Tatapannya dalam, seperti menyimpan kehilangan yang panjang.
Entah kenapa, aku merasa ingin meminta maaf.
Padahal aku bahkan tak tahu untuk apa.
“Kasihan sekali,”
Berbisik pelan melihat iba kepada kuda tersebut di suatu taman.
“Seharusnya kuda sekuat itu tidak berakhir seperti ini.”
Kuda putih itu mengerjap, lalu perlahan berbalik. Ia berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkan jejak di antara rumput dan cahaya sore yang memudar. Siluetnya tampak seperti bayangan dari masa lalu.
Dan tepat sebelum pandanganku kabur, jantungku berdetak kencang. Aneh, berat, seolah berpacu lagi di lintasan yang sama.