The Crown Princess

AZ Zero Studio
Chapter #2

Kendali Tanpa Suara

Hari ini pangeran itu tidak datang. Sejak pagi, hanya suara derit pintu kandang, langkah para pelayan, dan ringkikan kuda lain yang terdengar. Tidak ada suara langkah beratnya, tidak ada bayangan mantel biru yang lewat di depan pintu.

Aku juga masih tidak bisa bergerak sejak membuka mata. Bahkan kemarin, menengok ke arah kuda di belakang saja rasanya seperti disiksa. Leherku sakit, tubuhku berat, dan aku tidak tahu kenapa semua sendiku seperti kehilangan fungsi.

Aku juga belum makan sejak kemarin. Karena makanan yang mereka kasih itu, makanan kuda.

Rumput kering dan biji-bijian yang entah kenapa rasanya sangat asing.

“Otaknya pada di mana sih!” 

Aku mengomel sendiri dengan lirih. 

“Manusia kok dikasih makan makanan kuda. Yang bener aja... Ini pasti cuma mimpi aneh setelah aku jatuh kemarin. Atau aku di rumah sakit dan ini halusinasi?”

Aku menghela napas. 

“Tapi kalau pangeran itu memahami diriku, mungkin dia bakal nyuapin bubur kayak di drama romantis. Atau bahkan kami bisa lebih seperti menikah... Hahaha... Dan ya itu hanya khayalanku saja.”

Aku menunduk. Tumpukan jerami di bawahku terasa dingin dan menusuk kulit. Bau kandang semakin tajam, campuran tanah lembap dan besi dari ember air di pojok. Aku melihat pantulan diriku di permukaan air itu, tapi yang terlihat hanya moncong panjang dan mata besar yang bergerak pelan mengikuti gerakanku.

Aku terdiam beberapa detik. 

“Ah, ini pasti efek jatuh. Aku masih pusing. Lagipula siapa juga yang pas bangun dari mati suri terus langsung tampil cantik karena ditendang sama kuda.”

Aku mencoba tertawa, tapi yang keluar hanya suara aneh dari tenggorokanku.

“Hhhihh...”

Aku mematung sesaat saat mendengar suara kuda itu dari kemarin. 

Aku keheranan karena setiap aku bersuara malah kuda di dekatku yang bersuara. 

“Seriusan? Kok suaraku kayak suara kuda? Apa pita suaraku rusak? Apa kuda ini ganggu setiap gua ngomong ya?”

Aku memejamkan mata. Dulu, tangan ini selalu menggenggam tali kekang dengan percaya diri. Aku tahu betul rasanya berlari di arena, angin menampar wajah, sorak penonton menggema di belakang. Sekarang tubuhku diam, berat, seolah ada beban yang menahanku dari dalam.

“Pangeran… entah siapa kau sebenarnya,” 

Bisikku pelan ditemani oleh si kuda. 

“Kenapa aku malah menunggumu datang?”

Lihat selengkapnya