Malam ini terasa begitu sunyi. Aku bisa mendengar suara-suara dari kejauhan, seperti di desa—suara katak, jangkrik, dan serangga lain yang saling bersahutan. Suara-suara itu mengalun lembut, berpadu dengan hembusan angin yang menembus celah dinding kandang.
Aku masih terbaring, selalu meratapi nasib yang bahkan tak kumengerti setiap saat pada hari ini.
Apakah aku sedang bersama kuda... atau aku sendirilah kudanya? Aku berubah jadi kuda, begitu? Tidak, itu mustahil. Tapi kalau bukan begitu, kenapa semua terasa nyata?
Aku mencoba berpikir, tapi kepala ini berat. Lapar mulai mencengkeram perutku hingga rasanya sakit. Aku belum makan apa pun sejak kemarin, dan sekarang aku bahkan tak punya tenaga untuk sekadar mengangkat kepala.
Dari celah kecil di depan kandang, aku bisa melihat langit yang pekat. Sepertinya sudah hampir tengah malam. Udara malam begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Mataku mulai terasa berat, perlahan menutup entah karena kantuk atau karena tubuhku terlalu lelah untuk bertahan sadar.
Namun, tepat saat aku hendak terlelap, suara itu terdengar. Suara engsel pintu yang berderit pelan, diikuti langkah kaki yang hati-hati di tanah berpasir.
Aku menahan napas. Pintu kandang terbuka. Tapi aku masih tergeletak di tempatku, lemah, tak berdaya, bahkan untuk menoleh pun aku tak sanggup.
(* * *)
Sesaat kemudian, dari balik gelap, muncul sosok seseorang. Ia mengenakan kain serba hitam yang tampak bagus, berkilau samar saat tersapu cahaya obor dari kejauhan. Gerakannya tenang, nyaris tak bersuara, seolah tiap langkahnya sudah diperhitungkan agar tidak menimbulkan gema sedikit pun.
Yang membuatku merinding bukanlah pakaiannya, tapi reaksi sekelilingku. Atau tepatnya, ketiadaan reaksi itu. Tidak ada anjing yang menggonggong, tidak ada kuda yang meringkik gelisah. Padahal biasanya, hewan di kandang ini sangat sensitif terhadap orang asing. Tapi kali ini... semuanya diam. Terlalu diam. Seolah mereka semua tahu siapa sosok itu. Atau... seolah mereka takut.
Aku menelan ludah, jantungku berdegup lambat tapi berat. Ada sesuatu yang menekan dadaku—bukan rasa takut, tapi perasaan aneh, seperti déjà vu.
"Siapa dia?"
Aku berpikir Kenapa langkahnya... terdengar begitu familiar...
Suara kain hitamnya bergesek pelan saat ia berjalan melewati deretan kandang. Ritme langkahnya mantap, tapi terasa sarat beban, seperti seseorang yang sedang membawa pikiran berat atau rasa sesal yang panjang.
Satu langkah, dua langkah... kemudian berhenti. Tepat di depan kandangku.
Aku ingin melihatnya, tapi tubuhku tak mau bekerja sama. Tulang-tulangku serasa beku, ototku seolah kehilangan arah. Aku hanya bisa menggerakkan bola mata sedikit, cukup untuk menangkap bayangan hitam itu di balik pandangan yang mulai buram.
Cahaya obor di kejauhan menari di dinding kandang, memantulkan siluet jubahnya yang berkibar halus. Aku bisa mencium sedikit aroma yang terbawa angin—entah rempah atau minyak wangi kerajaan yang lembut, aroma yang anehnya terasa... hangat.
Tapi tubuhku terlalu lemah untuk menganalisisnya.
"Kau... siapa kau?"
Bisikku pelan padanya. Tapi yang keluar bukan suara manusia. Hanya embusan napas serak, seperti ringkikan kecil yang tertahan.
Tak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, menatapku dalam senyap yang panjang dan berat.
Aku ingin terus menatap balik, mencari wajah di balik kain itu, tapi kelopak mataku kian berat. Tubuhku terasa melayang antara sadar dan tidak. Rasa lapar, haus, dan lelah berpadu jadi satu, seperti menghisap sisa tenagaku yang tinggal sedikit.
Sebelum semuanya benar-benar gelap, aku mendengar sesuatu. Napas seseorang—panjang, dalam, dan stabil. Napas yang tenang, tapi entah kenapa terasa sangat... dekat.
Begitu dekat, hingga aku yakin... aku pernah mendengarnya sebelumnya.
(* * *)