The Crown Princess

AZ Zero Studio
Chapter #4

Kuda yang Sabar Menanti

Setelah malam itu, pangeran tidak datang lagi. Bukan sehari atau dua hari—aku menghitungnya dengan cara yang paling sederhana: dari berapa kali langit berubah gelap dan terang lewat celah-celah papan kandang. Lima malam. Berarti sudah lima hari.

Selama itu, aku bertekad untuk pulih. Aku harus bisa bangkit lagi, setidaknya bisa berdiri tanpa jatuh seperti karung beras. Luka di tubuhku memang belum sepenuhnya sembuh, terutama bagian dada dan rahang yang masih terasa nyut-nyutan setiap kali aku mencoba menggerakkan kepala. Tendangan kuda itu… yah, kalau dipikir lagi, mungkin itu tendangan terberat yang pernah aku rasakan seumur hidup. Dan, yah, semoga juga yang terakhir.

Anehnya, aku mulai terbiasa dengan rutinitas baru di kandang ini. Makanan yang datang setiap hari bukan rumput atau jerami, tapi buah dan sayuran yang tampak segar—bahkan dicuci bersih seperti makanan manusia. Kadang apel, kadang wortel, kadang juga seikat sayuran hijau yang rasanya mirip selada. Airnya pun jernih, dingin, dan benar-benar segar. Entah siapa yang menyiapkannya.

Tubuhku juga terasa aneh sejak hari itu. Aku tidak merasa lapar seperti biasanya, dan entah kenapa, perutku bisa mencerna sayuran mentah tanpa masalah. Organ pencernaanku… berubah? Atau otakku yang rusak karena tendangan itu? Aku tidak tahu. Tapi aku yakin aku masih manusia—setidaknya pikiranku masih utuh. Mungkin aku hanya trauma, atau mungkin… efek dari tendangan keras di rahang itu.

Yang aneh, setiap kali aku memejamkan mata dan hampir tertidur, aku selalu memimpikan hal yang sama. Aku berada di tengah padang hijau luas. Ada seekor kuda putih berdiri di depanku, dengan tatapan yang lembut tapi menusuk. Ia mendekat, lalu menunduk seolah memberi hormat. Dan entah kenapa, di balik semua kebingungan ini, aku tahu… aku pernah menatap mata itu sebelumnya.

(* * *)

Hari ini, siang terasa berbeda—hangat, tapi bukan karena matahari. Mungkin karena aku mulai terbiasa dengan tempat ini, atau karena… aku menunggu seseorang. Cahaya yang masuk lewat celah papan kandang membentuk garis keemasan di udara, berkilau bersama debu-debu kecil yang menari pelan.

Sudah lima hari berlalu sejak terakhir kali aku melihat pangeran itu. Aku mulai menghitung waktu dari berapa kali langit berubah gelap, bukan dari jam atau kalender seperti dulu. Anehnya, setiap malam terasa lebih panjang tanpa kehadirannya. Dan setiap pagi, aku berharap langkah sepatunya terdengar di luar sana.

Hari ini, akhirnya suara itu datang. Langkah mantap, diiringi suara kain berdesir, dan percakapan pelan dua orang laki-laki. Pangeran… dan seseorang yang sepertinya dokter. Aku melihat bayangan mereka dari sela papan, lalu keduanya berhenti di depan kandangku.

Aku menegakkan kepala, berusaha terlihat sopan. Tapi ya, yang bisa kulakukan cuma itu—menegakkan kepala seperti hewan peliharaan yang sedang menunggu nasib. Mereka berbicara dalam bahasa yang mulai sedikit kupahami. Aku menangkap kata “cepat sembuh,” “kaki,” dan “besok.” Sisanya hanya seperti gumaman samar yang ditelan angin.

Pangeran sesekali menunjuk ke arahku, lalu ke arah kandang di sebelah. Aku menatap mereka tanpa berani bersuara, pura-pura tenang padahal jantungku berdebar cepat. Kalau dia tahu aku mengerti sedikit saja, mungkin dia akan sadar kalau aku bukan kuda normal. Tapi, yah… siapa juga yang mau percaya kalau jiwa seorang perempuan Prancis nyangkut di tubuh seekor kuda kerajaan?

Setelah beberapa waktu, pangeran akhirnya melangkah masuk ke dalam kandang. Bau wangi samar dari pakaiannya langsung mengalahkan aroma jerami dan tanah basah. Ia berjongkok di depanku dan mengelus kepalaku pelan. Sentuhannya lembut—terlalu lembut untuk seseorang yang disebut pejuang perang. Aku mendengar suara lirih keluar dari tenggorokanku sendiri. Entah itu suara ringkikan kecil, atau gumaman senang yang tak bisa diucapkan dalam bahasa manusia.

Di sebelahnya, dokter berbicara lagi. Aku menangkap satu kalimat seperti...

“Bisa berdiri lagi, tapi hanya dengan satu kaki belakang.”

Aku terdiam. Lalu, seolah waktu melambat, aku menoleh sedikit—dan benar. Kuda di sebelahku, yang selama ini kupikir hanya hewan biasa yang kebetulan satu kandang, berdiri dengan kaki belakang yang pincang. Ada bekas luka besar di sana, seperti sesuatu yang sudah lama sembuh tapi tak pernah benar-benar hilang.

“Hah? Jadi… yang pincang itu dia?” batinku panik.

Dan semakin kudengar percakapan mereka, semakin jelas bahwa luka itu bukan luka biasa. Kuda itu kehilangan kakinya karena menyelamatkan pangeran di medan perang.

Aku menatap pangeran lagi. Wajahnya berubah lembut, tapi matanya… berat. Ada rasa bersalah di sana. Aku tahu tatapan itu. Itu tatapan seseorang yang berutang nyawa.

Entah kenapa, dadaku ikut terasa sesak. Aku ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkannya. Tapi yang keluar hanya suara lirih yang bahkan tidak mirip bahasa apa pun. Akhirnya aku hanya menunduk, lalu menggoyangkan telingaku pelan, berharap dia mengerti kalau aku… ikut peduli.

Lihat selengkapnya