The Crown Princess

AZ Zero Studio
Chapter #5

Cermin, cermin di dalam kandang.

Hari-hariku berlalu lambat—benar-benar lambat—seperti rumput yang tumbuh di depan kandang ini. Aku hanya makan, tidur, lalu makan lagi. Kadang-kadang berbicara dengan kuda di sebelahku (yang entah kenapa selalu menjawab dengan ringkikan yang pas banget dengan nada omonganku).

Kadang pangeran datang. Ia akan menepuk kepalaku pelan, bicara beberapa hal yang tidak kumengerti, lalu tersenyum dengan cara yang bisa membuat siapa pun… ah, tidak usah dilanjut. Pokoknya, kalau aku benar-benar manusia, mungkin aku sudah sibuk merapikan rambut dan mencari cermin tiap kali dia datang.

Setiap kali dia berbicara, aku berusaha memperhatikan bibirnya. Aku mengikuti gerakan mulutnya, menirukan suaranya pelan, mencoba mengingat satu-dua kata yang bisa kupahami. Kadang gagal total—aku malah mengeluarkan suara aneh yang tak bisa kumengerti sendiri. Tapi lama-lama, aku mulai terbiasa.

Kata “air”, “datang”, “bagus”, “sakit”—semua mulai terasa familiar. Bahkan nada lembutnya saat memanggilku dengan sebutan yang belum terlalu kupahami terdengar semakin jelas.

Mungkin karena dia sering datang. Atau mungkin karena aku memang mulai pulih dari cedera parah akibat tendangan kuda balap di ajang internasional di Jepang. Dan ya... aku masih ingat bagian itu. Tendangan yang seharusnya membunuhku malah mengirimku ke tempat ini. Dunia baru, dengan bahasa asing, dan seorang pangeran tampan yang tampaknya… terlalu baik untuk kenyataan.

Lucunya, semakin hari, aku mulai terbiasa dengan semuanya. Bau jerami, embusan angin yang membawa aroma apel segar dari dapur istana, bahkan suara langkah sepatu pangeran di lantai batu yang bergema pelan setiap kali ia datang.

Rasanya… damai. Mungkin agak membosankan, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak perlu terburu-buru. Tidak ada kompetisi, tidak ada tekanan, tidak ada penonton yang menunggu di tribun. Hanya aku, kuda di sebelahku, dan seorang pangeran yang entah kenapa selalu datang dengan senyum yang terlalu manis untuk dilupakan.

Dan setiap kali dia berbicara, aku berjanji dalam hati.

"Suatu hari nanti, aku akan bisa menjawabmu."

Meskipun sekarang, satu-satunya suara yang bisa keluar dariku masih…

“...Hhhuhhh~.”

Yap, betul sekali. Suara kuda yang ada di sebelahku.

( * * * )

Hari itu udara di luar kandang terasa sedikit lebih hangat. Dari celah papan kayu, aku bisa melihat sinar matahari yang menembus tipis-tipis, menimbulkan bayangan garis di tumpukan jerami. Seandainya aku masih manusia, mungkin aku sudah rebahan santai sambil minum teh dan baca koran. Tapi nyatanya, aku hanya bisa berbaring miring seperti karung beras dan mengeluh dalam hati.

Suara langkah-langkah berat terdengar mendekat. Dua orang—ya, dua—berhenti tepat di depan kandangku. Aku bisa mengenali suara dokter yang sering datang ke sini. Tapi satu lagi terdengar lebih tua, lebih berat, dan dari cara bicaranya… jelas bukan orang biasa.

Dari celah jerami, aku melihat sekilas baju mewah berwarna merah tua, dihiasi rantai emas kecil di pundaknya. Seorang pria tua dengan wajah keriput, tapi auranya tegas, seperti bangsawan tinggi yang sudah kenyang pengalaman hidup.

Mereka berbicara cukup lama. Aku berusaha mendengarkan, tapi bahasa mereka masih terlalu asing untuk kupahami. Hanya beberapa kata yang mulai familiar—“kepala,” “pulih,” dan “berdiri.”

Mereka bilang aku sudah bisa mengangkat kepala.

“Bisa mengangkat kepala katanya…” 

Gumamku pelan, mencoba. Kepalaku terangkat sekitar dua senti, lalu plok! jatuh lagi ke jerami.

“Ya Tuhan, ini bukan kepala manusia, ini batu kali,” 

Keluhku dalam hati sambil mendengus lemah. 

“Boro-boro mengangkat kepala, ngeliat ke belakang aja udah kayak olahraga angkat besi!”

Aku mencoba lagi, tapi cuma berhasil menggoyangkan sedikit telingaku. Dan di situlah aku mulai berpikir absurd.

“…Apa aku jadi besar kepala sungguhan, ya?”

Gumamku yang bahkan aku sendiri hampir ngakak sendiri. Kalau orang lain dengar isi pikiranku sekarang, pasti mereka langsung manggil tabib jiwa.

Beberapa waktu kemudian, langkah kaki lain terdengar dari arah luar. Suaranya berbeda—lebih ringan, lebih cepat, dan agak berisik karena mendorong sesuatu. Seorang penjaga kandang masuk sambil membawa troli besar beroda besi. Troli itu tinggi, berbentuk persegi panjang, dan ditutup kain putih tebal.

Tentu saja aku penasaran. Aku mencoba menegakkan leherku sedikit, tapi cuma bisa melihat ujung troli dari posisi terbaring.

“Hey, itu apa?” 

Tanyaku, yang pasti suara yang keluar dari kuda di sebelahku, tentu saja dan tidak lain hanyalah ringkikan pelan.

Lihat selengkapnya