The Crown

Bentang Pustaka
Chapter #2

Chapter 2

Kedua tangan Mom terasa begitu lembut. Nyaris setipis kertas. Sensasi itu membuatku teringat bagaimana air menghaluskan tepian batu. Aku tersenyum, berpikir Mom pastinya adalah sebongkah batu kasar di masa lalu.

“Apa Mom sering melakukan kesalahan?” aku bertanya. “Mengatakan kata-kata yang salah? Melakukan hal-hal yang salah?”

Aku menunggu jawaban, tapi tidak mendapatkan apa pun, kecuali deruman peralatan medis dan denyut monitor jantung.

“Well, Mom dan Dad dulu sering bertengkar, jadi Mom pasti salah kadang-kadang.”

Aku menggenggam tangan Mom lebih kencang, berusaha menghangatkan tangan Mom di tanganku.

“Aku sudah membuat seluruh pengumumannya. Sekarang semua orang tahu Ahren telah menikah dan bahwa Mom sedikit ... sakit. Aku memangkas jumlah kandidat Seleksi hingga enam. Aku tahu itu pangkasan besar, tapi Dad bilang nggak apa-apa. Dad juga bilang dia melakukannya saat menjalani Seleksinya, jadi nggak akan ada seorang pun yang marah.” Aku mendesah. “Tapi, tak peduli apa pun itu, aku punya firasat kalau rakyat masih akan menemukan alasan untuk marah kepadaku.”

Aku mengerjapkan mata menahan air mata, khawatir Mom akan merasakan betapa takut aku sebenarnya. Para dokter percaya, rasa kaget akibat kepergian Ahren adalah katalisator kondisi Mom sekarang ini. Tapi, aku tak bisa menghentikan diriku untuk bertanya-tanya apakah aku berkontribusi menambah tekanan batin Mom setiap hari. Seperti tetesan racun yang begitu kecil hingga seseorang tidak menyadari mereka telah mencerna sesuatu yang berbahaya sampai racun itu mengambil alih tubuh mereka sepenuhnya.

“Dan, ngomong-ngomong, aku akan pergi memimpin rapat dewan penasihat pertamaku setelah Dad kembali. Dad bilang seharusnya itu nggak terlalu sulit. Jujur saja, aku merasa Jenderal Leger memiliki pekerjaan terberat dibandingkan siapa pun hari ini: berusaha memaksa Dad makan karena Dad bersikeras tinggal di sini dengan Mom. Tapi, Jenderal nggak menyerah, Dad pun akhirnya menurut. Aku senang dia ada di sini. Jenderal Leger, maksudku. Rasanya seperti memiliki orang tua pengganti.”

Aku menggenggam tangan Mom lebih kencang dan mencondongkan tubuh, berbisik, “Tapi, kumohon jangan membuatku membutuhkan orang tua pengganti, oke? Aku masih membutuhkanmu, Mom. Kaden dan Osten masih membutuhkanmu. Dan, Dad ... Dad kelihatannya akan hancur kalau Mom pergi. Jadi, saat waktunya bangun tiba, Mom harus kembali sadar, oke?”

Aku menunggu sampai mulut Mom berkedut atau sampai jari-jari tangan Mom bergerak, gerakan apa pun untuk menunjukkan bahwa Mom mendengarku. Tapi, nihil.

Tepat di saat itu, Dad menghambur masuk melewati pintu dengan Jenderal Leger tak jauh di belakangnya. Aku mengusap pipiku, berharap tidak seorang pun melihat air mataku.

“Lihat, kan,” Jenderal Leger berujar. “America stabil. Para dokter akan berlarian ke sini kalau sesuatu berubah.”

“Tetap saja, aku lebih suka berada di sini,” tegas Dad.

“Dad, Dad tadi pergi nggak sampai sepuluh menit. Apa Dad bahkan sempat makan?”

“Aku makan. Beri tahu Eadlyn, Aspen.”

Jenderal Leger mendesah. “Ya sudah, sebut saja itu makan.”

Dad memberi Jenderal Leger tatapan tajam yang pasti terlihat mengancam bagi beberapa orang, tapi tatapan itu hanya membuat sang Jenderal tersenyum. “Aku akan memastikan apakah bisa menyelinapkan makanan ke sini agar kamu nggak harus pergi.”

Dad mengangguk. “Jaga gadis kecilku.”

“Tentu saja.” Jenderal Leger mengedipkan mata kepadaku. Aku pun bangkit berdiri, mengikuti Jenderal Leger keluar ruangan, menolehkan pandangan ke Mom, sekadar memeriksa.

Mom masih tertidur.

Di koridor, Jenderal mengulurkan satu lengan untukku. “Anda siap, ratuku yang belum-terlalu-ratu?”

Aku menerima uluran lengan Jenderal Leger dan tersenyum. “Belum siap. Tapi, ayo kita pergi.”

Saat kami melangkahkan kaki ke ruang rapat, aku nyaris bertanya apakah Jenderal Leger mau membawaku berjalan menyusuri koridor satu putaran lagi. Hari terasa sudah terlalu intens sampai-sampai aku tidak yakin bisa melakukan ini.

Omong kosong, aku memberi tahu diriku sendiri. Kamu sudah duduk di rapat-rapat ini lusinan kali. Kamu hampir selalu memikirkan hal-hal yang sama dengan yang akhirnya Dad katakan. Memang ini kali pertamamu memimpin rapat, tapi rapat ini selalu menunggumu. Dan, nggak ada seorang pun yang akan menyulitkanmu hari ini, ya ampun; ibumu baru saja terkena serangan jantung.

Aku menarik pintu hingga terbuka, Jenderal Leger mengikuti di belakangku. Kuanggukkan kepala kepada para dewan penasihat saat aku lewat. Sir Andrews, Sir Coddly, Mr. Rasmus, dan beberapa laki-laki lain yang sudah kukenal selama bertahun-tahun sedang duduk menata pena-pena dan kertas-kertas mereka. Lady Brice terlihat bangga saat menyaksikanku berbelok ke tempat duduk ayahku, begitu juga dengan Jenderal Leger saat dia duduk di kursi di sebelahku.

“Selamat pagi.” Aku menempatkan diri di kursiku di kepala meja, menatap ke bawah pada berkas tipis di hadapanku. Syukurlah agendanya kelihatan ringan hari ini.

“Bagaimana keadaan ibu Anda?” Lady Brice bertanya dengan nada serius.

Aku seharusnya menuliskan jawaban ini di sebuah papan agar bisa berhenti mengulang-ulangnya. “Ibuku masih tertidur. Aku tidak yakin seberapa serius kondisinya sekarang ini, tapi Dad berada di samping ibuku, dan kami pasti memberikan perkembangan berita terbaru kalau ada perubahan.”

Lady Brice tersenyum sedih. “Saya yakin ibu Anda akan baik-baik saja. Beliau selalu tangguh.”

Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku, tapi aku sungguh tidak menyadari Lady Brice mengenal ibuku sebaik itu. Sebenarnya, aku tidak tahu banyak tentang Lady Brice sendiri, tapi nada bicara Lady Brice begitu sungguh-sungguh. Aku jadi benar-benar senang memiliki Lady Brice di sampingku di momen seperti sekarang.

Lihat selengkapnya