The Crown

Bentang Pustaka
Chapter #3

Chapter 3

“Saya?”

“Kamu.”

“Apa Anda yakin?”

Aku mencengkeram bahu Neena. “Kamu selalu memberitahuku yang sebenarnya, bahkan sekalipun aku tidak senang mendengarnya. Kamu sudah bertahan menghadapi yang terburuk dariku, dan kamu ini terlalu pintar untuk menghabiskan hari-harimu dengan melipat cucian.”

Neena berseri-seri, mengerjap-ngerjapkan matanya. “Seorang Lady Asisten Pribadi ... apa pula artinya itu?”

“Well, itu adalah campuran dari menjadi seorang teman, yang sudah merupakan dirimu, dan membantuku dengan sisi pekerjaanku yang nggak terlalu glamor, seperti menjadwalkan janji-janji dan memastikan aku ingat untuk makan.”

“Saya rasa saya bisa menanganinya,” kata Neena seraya tersenyum.

“Oh, oh, oh, dan”—aku mengangkat kedua tanganku, mempersiapkan Neena untuk bagian yang mungkin paling menarik dari pekerjaan ini—“itu artinya kamu nggak harus memakai seragam itu lagi. Jadi, ganti baju sana.”

Neena tertawa kecil. “Saya tidak tahu apakah saya punya sesuatu yang pantas. Tapi, saya akan mengumpulkan sesuatu untuk besok.”

“Omong kosong. Tinggal cari-cari saja di lemariku.”

Mulut Neena menganga lebar. “Saya tidak bisa.”

“Ummm, kamu bisa dan kamu harus.” Aku menunjuk ke pintu-pintu lemari. “Ganti bajulah, temui aku di kantor, dan kita akan menyelesaikan apa pun yang datang hari ini.”

Neena mengangguk, dan seolah-olah kami sudah melakukannya ribuan kali, Neena merangkulkan kedua lengannya ke tubuhku.

“Terima kasih.”

“Akulah yang berterima kasih,” aku bersikeras.

“Saya tidak akan mengecewakan Anda.”

Aku menarik diriku ke belakang, mengamati Neena. “Aku tahu. Ngomong-ngomong, pekerjaan pertamamu adalah memilihkan pelayan baru untukku.”

“Tidak masalah.”

“Bagus sekali. Sampai ketemu nanti.”

Aku melenggang dari kamarku. Merasa lebih baik karena mengetahui bahwa aku memiliki orang-orang di pihakku. Jenderal Leger akan menjadi penghubungku ke Mom dan Dad, Lady Brice akan menjadi kepala penasihatku, dan Neena akan membantuku memanggul beban kerjaku.

Sekarang ini belum selesai satu hari, dan aku sudah memahami kenapa Mom berpikir aku akan membutuhkan seorang pasangan. Dan, sungguh, aku masih berniat menemukan pasangan. Aku hanya butuh sedikit waktu mencari tahu bagaimana caranya.

Sore itu aku berjalan mondar-mandir dengan cemas saat menunggu Kile di luar Ruang Salon Pria. Dari semua hubunganku dengan para sang Terpilih, hubungan kami terasa yang paling rumit, tapi juga sekaligus yang termudah untuk memulai.

“Hei,” kata Kile seraya mendekat untuk memelukku. Aku tidak sanggup menghentikan senyumku saat berpikir bagaimana kalau dia mencoba melakukan hal itu sebulan yang lalu, aku pasti sudah memanggil para pengawal istana untuk menangkapnya. “Bagaimana keadaanmu?”

Aku terdiam sejenak. “Ini aneh—kamu adalah satu-satunya orang yang bertanya.” Kami melangkah untuk memisahkan diri dari pelukan. “Aku baik-baik saja, kurasa. Paling nggak selama aku sedang sibuk. Begitu segalanya memelan, aku jadi benar-benar gelisah. Dad hancur. Dan, fakta bahwa Ahren belum pulang rasanya seperti membunuhku. Kupikir Ahren akan datang untuk Mom, tapi dia bahkan belum menelepon. Bukankah paling nggak, dia seharusnya sudah melakukan itu?”

Aku menelan ludah, mengetahui aku mulai terlalu emosional.

Kile meraih tanganku. “Ayo kita pikirkan tentang ini. Ahren terbang ke Prancis dan menikah dalam satu hari. Pastinya ada begitu banyak dokumen resmi dan hal-hal lain yang harus diurus. Dan, ada kemungkinan kalau Ahren bahkan belum mendengar apa yang sudah terjadi.”

Lihat selengkapnya