“Maafkan aku,” kataku, menguatkan diri atas reaksi keras dan tidak menyenangkan yang mungkin segera terjadi. Saat Seleksiku dimulai, aku telah membayangkan acara ini akan berakhir dengan cara seperti ini. Lusinan peminangku pergi bersamaan di satu waktu. Di saat kebanyakan dari mereka, bahkan belum siap kehilangan momen menjadi pusat perhatian. Tapi, beberapa minggu terakhir ini, setelah mengetahui betapa baik hati, cerdas, dan murah hatinya sebagian besar dari mereka, aku mendapati eliminasi besar-besaran ini terlalu menyayat hati.
Mereka sudah bersikap adil kepadaku, dan sekarang aku harus bersikap sangat tidak adil kepada mereka.
“Aku tahu ini tiba-tiba. Tapi, melihat kondisi ibuku, ayahku memintaku memikul lebih banyak tanggung jawab. Dan, aku merasa, satu-satunya cara melaksanakan hal itu adalah dengan memperkecil skala kompetisi ini.”
“Bagaimana keadaan Ratu?” Ivan bertanya, menelan ludah dengan susah payah.
Aku mendesah. “Ibuku kelihatan ... ibuku kelihatan buruk.”
Dari awal Dad sudah ragu-ragu membiarkanku menjenguk Mom. Tapi, akhirnya aku berhasil membuat Dad menyerah. Aku memahami keengganan Dad di detik aku melihat Mom. Tertidur dengan ritme metronom detak jantung yang stabil di monitor. Mom baru saja selesai menjalani operasi. Di mana para dokter harus mencangkok pembuluh vena dari kaki Mom untuk menggantikan pembuluh di dadanya yang telah dipekerjakan hingga mati.
Salah seorang dokter itu mengatakan, mereka sempat kehilangan Mom beberapa saat. Tapi, mereka berhasil menghidupkan Mom kembali. Aku duduk di sana, menggenggam tangan Mom. Sebodoh apa pun kedengarannya, aku telah duduk membungkuk di kursiku, yakin itu akan membuat Mom bangun dan mengoreksi postur dudukku. Nyatanya, tidak ada reaksi apa pun dari Mom.
“Tapi, ibuku masih hidup. Dan, ayahku ... dia ....”
Raoul meletakkan satu tangan yang menenangkan di atas bahuku. “Tidak apa-apa, Yang Mulia. Kami semua mengerti.”
Aku membiarkan mataku melayang cepat ke seputar ruangan. Tatapanku terpaku ke setiap peminangku selama satu tarikan napas saat aku mematri wajah mereka di dalam memoriku.
“Asal tahu saja, aku dulu takut dengan kalian,” aku mengakui. Terdengar beberapa tawa kecil di dalam ruangan. “Terima kasih banyak karena sudah mau mengambil kesempatan ini, dan karena sudah begitu ramah kepadaku.”
Seorang pengawal istana memasuki ruangan, berdeham mengumumkan kehadirannya. “Maafkan saya, my Lady. Sudah hampir waktunya melakukan syuting Berita Ibu Kota Illéa. Para kru ingin mengecek, um”—pengawal itu membuat isyarat meraba-raba dengan tangannya—“rambut dan lain-lain.”
Aku mengangguk. “Terima kasih. Aku akan siap sebentar lagi.”
Setelah pengawal itu pergi, aku mengalihkan perhatianku kembali ke para kandidat Seleksi. “Kuharap kalian akan memaafkan aku atas perpisahan berkelompok ini. Aku harap kalian mendapatkan semua keberuntungan terbaik di masa depan.”
Terdengar paduan suara selamat tinggal yang digumamkan saat aku pergi. Segera setelah ada di luar pintu Ruang Salon Pria, aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diriku untuk yang akan datang. Kamu adalah Eadlyn Schreave dan enggak ada seorang pun—secara harfiah, enggak ada seorang pun—yang sekuat kamu.
Istana terasa senyap dan mengerikan tanpa adanya Mom dengan para pelayannya yang berjalan tergesa-gesa ke sana kemari. Juga tawa Ahren yang memenuhi koridor-koridor. Tidak ada yang lebih membuatmu menyadari keberadaan seseorang selain ketika keberadaan tersebut sudah tak ada lagi.
Aku menegakkan punggungku saat bergerak menuju studio.
“Yang Mulia,” beberapa orang menyambut begitu aku melintasi ambang pintu. Mereka membungkuk memberi hormat dan beringsut menghindar dari jalan. Menghindar agar tidak memandangku langsung. Aku tak yakin apakah itu karena rasa simpati atau karena mereka sudah tahu.
“Oh,” kataku, memandang sekilas ke cermin. “Wajahku sedikit berkilat. Bisakah kalian—”
“Tentu saja, Yang Mulia.” Seorang gadis langsung mengusap-usap wajahku dengan terampil, memolesnya dengan bedak.
Aku meluruskan kerah gaunku yang berenda tinggi. Saat bersiap-siap pagi ini, kupikir gaun berwarna hitam akan cocok dengan suasana hati istana secara keseluruhan. Tapi, kini aku meragukan keputusanku.
“Aku kelihatan terlalu serius,” aku menyuarakan kekhawatiran. “Bukan serius yang terhormat, tapi serius yang cemas. Ini semuanya salah.”
“Anda terlihat cantik, my Lady.” Gadis perias itu menyapukan sepercik warna segar di bibirku. “Seperti ibu Anda.”
“Enggak, aku enggak mirip dengan ibuku,” ratapku. “Setitik bagian rambut, kulit, atau mata ibuku pun enggak.”
“Bukan itu maksud saya.” Gadis itu, hangat dan berwajah bundar, dengan beberapa helai rambut keriting yang jatuh di dahinya. Dia berdiri di sampingku, menatap bayanganku. “Lihatlah itu,” katanya seraya menunjuk ke arah mataku. “Bukan warna yang sama, tapi kebulatan tekad yang sama. Dan, bibir Anda memiliki senyum optimis yang sama. Saya tahu secara fisik, Anda seperti nenek Anda, tapi Anda adalah putri ibu Anda, seutuhnya.”
Aku menatap bayangan diriku. Nyaris bisa melihat apa yang dimaksud gadis itu. Di momen yang paling mengisolasi ini, aku jadi merasa sedikit tidak kesepian.
“Terima kasih. Itu sangat berarti bagiku.”
“Kami semua berdoa untuk Ratu, my Lady. Ratu America adalah ratu yang tangguh.”
Aku tersenyum sekalipun suasana hatiku begitu suram. “Memang begitulah ibuku.”
“Dua menit!” sang Sutradara pengarah lapangan berseru. Aku berjalan ke atas set panggung yang berkarpet, meluruskan gaunku dan menyentuh rambutku. Studio ini terasa lebih dingin dari biasanya, bahkan di bawah lampu-lampu sekalipun. Bulu kudukku meremang saat aku memosisikan diri di belakang satu-satunya podium.