The Curiosity House #2 The Screaming Statue

Noura Publishing
Chapter #1

#1

“Nihil,” kata Max muak sambil beranjak dari jendela. Telapak tangannya meninggalkan jejak di kaca. “Tidak ada pengunjung tolol barang satu pun.”

Pippa mengerang. “Terlalu panas untuk pertunjukan,” katanya. Dia telentang di lantai linoleum sejuk sambil mengipasi diri dengan selembar brosur dari meja informasi, yang mengiklankan objek pameran terbaru di museum itu, yakni gunting kuno yang konon digunakan oleh Delilah untuk memotong rambut Samson.

Saat itu baru pukul sebelas pagi dan suhu udara di New York City sudah mencapai 32 derajat Celcius. Jalan di luar Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey tampak sehening lukisan. Semalam, Max, Sam, Thomas, dan Pipa berkemah di lobi karena loteng tempat mereka tidur bersama para penampil lain serasa bak sauna.

“Pip benar,” kata Sam, sekilas memalingkan pandang dari pipa baja di tangannya yang sedang dia tekuk dan puntir sehingga membentuk lingkaran. “Siapa pun yang punya otak pasti tetap di rumah, di depan kipas angin.”

“Atau berenang di air es,” kata Pippa. “Atau pindah ke Kutub Utara.”

Max mendesah. Apa gunanya menyempurnakan aksi pisaunya—apa gunanya mengerjakan apa pun?—kalau tidak ada hadirin yang menyorakinya? Meski begitu, diambilnya sebutir apel dari keranjang di kakinya dan diseimbangkannya buah itu dengan hati-hati di atas kepala beruang grizzly pajangan. Kemudian, Max mundur kira-kira empat meter, dengan kagok mengikat kain sehingga menutupi matanya, mengangkat pisau, dan melempar.

Selagi melempar, Max membayangkan apel itu sebagai kepala Profesor Nicholas Rattigan: ilmuwan, orang gila, buronan.

Kreator.

Terdengar debuk keras.

“Ih,” kata Pippa. “Ingatkan aku agar jangan pernah menjadi sukarelawan untuk aksimu.”

Max mencabut tutup mata dan melihat bahwa pisau tertancap dalam ke bulu di sela kedua mata kaca beruang. Dia merengut. “Pasti tadi ada angin.”

“Coba kalau ada.” Pippa mulai mengipas-ngipas lebih kencang.

“Menurut kalian bagaimana?” Sam menyodorkan pipa logam yang sedari tadi dia puntir dan belitkan, yang sekarang berbentuk ruwet. “Apa menurut kalian kelihatannya seperti kelinci?”

“Terbalik, ya?” kata Pippa sambil menyipitkan mata.

“Kelihatannya seperti kelinci yang dilindas truk sampah,” kata Max. Hawa panas membuatnya jengkel.

Sam mendesah dan mulai meluruskan pipa lagi. “Andaikan Mr. Dumfrey mengizinkanku memelihara kelinci sungguhan untuk dijadikan model ….”

Pippa mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kaki Sam, menghiburnya. Sam setengah mati ingin memelihara hewan, dan dia selalu saja menjulurkan biskuit asin ke sela-sela jeruji kandang kakaktua peliharaan Mr. Dumfrey serta coba-coba berteman dengan tikus yang tinggal di dalam dinding. Namun, Mr. Dumfrey tidak memperbolehkannya memelihara binatang sendiri karena takut kalau-kalau Sam tidak sengaja meremukkan, meremas, atau menggepengkan hewan tersebut, sebagaimana yang sering dia lakukan pada kenop pintu, susuran tangga, dan punggung kursi. Sam memang tidak salah. Seperti yang kerap Mr. Dumfrey katakan kepadanya, dia adalah anak dua belas tiga perempat tahun terkuat di seluruh negeri—mungkin malah di seluruh dunia.

“Dengarkan ini,” kata Thomas sambil menyugar rambutnya, yang seperti biasa berlumur plester serta debu dan pantang diratakan. Thomas hanya menggunakan tangga jika terpaksa. Dia lazimnya lebih suka mengarungi museum lewat dinding, menyempil ke dalam pipa-pipa dan saluran udara, merayap melalui ruang-ruang sempit yang hanya selebar pot bunga, lantas mencolot keluar dari kisi-kisi logam pada saat yang paling tidak disangka-sangka. “Apa sebutan untuk perempuan yang tidak memiliki seluruh jarinya di satu tangan?”

Lihat selengkapnya